Al Qur'an Surah :Az-Zukhruf Ayat 31
وَقَالُوا لَوْلا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ
"Dan mereka berkata: 'Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada
seorang besar, dari salah-satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?'." – (QS.43:31)https://islamagamauniversal.wordpress.com/
INI DIA KISAH TAFSIRNYA :
BAB - 04. ISTIQAMAH (Keteguhan Hati)
Dihadang oleh kekecewaan dan frustrasi di segala arah, Nabi Muhammad s.a.w. memutuskan untuk pergi ke kota Taif dalam rangka mengundang orang-orang yang tinggal di sana untuk memeluk Islam. Taif adalah kota terkenal, jaraknya kira-kira 40 mil dari Mekah ke arah tenggara. Itu adalah kampung halaman Bani Ṭaqif. Kota saingan Mekah dan banyak orang kaya yang berpengaruh tinggal di sana. Orang Mekah mengakui pentingnya kota itu. Hal ini dikuatkan oleh Alquran sbb:
Wa qālū lau lā nuzzila hāżal-Qur’ānu ’alā rajulim minal-qaryataini ’aẓīm. ”Dan mereka berkata, “Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada orang besar dari kedua kota besar itu, Mekah atau Taif”?’ (az-Zukhruf: 32)
Dalam perjalanan ke Taif, beliau ditemani oleh Zaid bin Hariṭa r.a. Beliau menyeru semua orang yang berpengaruh di kota itu satu demi satu, namun semua orang menolak beliau dan mempermainkannya. Beliau tinggal di Taif kira-kira 10 hari. Akhirnya beliau menyeru orang paling terkenal yaitu pemimpin kota yang bernama Abdul Yalil dan mengundangnya untuk memeluk Islam. Tapi ia juga menolak dan melakukan penyelidikan yang sinis kepada beliau, seraya berkata: ”Jika kamu benar aku tidak berani melawanmu; jika kamu berdusta maka tidak ada gunanya bicara denganmu.”
Ia menyuruh beliau meninggalkan kotanya karena tak ada yang mau menerimanya. Lalu ia menghasut gerombolan perusuh kota agar mengusir beliau ke luar dari kota. Mereka melempari Nabi Muhammad s.a.w. dan Zaid r.a. dengan batu-batu dan mengejek mereka sampai sejauh tiga mil di luar kota. Darah becucuran dari kedua kaki beliau, dan kepala Zaid r.a. mengalami luka-luka karena berupaya keras untuk melindungi beliau.
Gerombolan
itu mengusir mereka sampai melewati dataran berpasir dan mendesaknya ke
kaki bukit di sekitar wilayah itu. Di sana, dengan lelah dan perasaan
terluka, beliau berhenti di salah satu kebun buah, dan beristirahat di bawah pohon anggur. Di kejauhan terlihat kebun anggur milik dua orang Quraisy yaitu Uṭba dan Syaiba, penduduk kaya Mekah dan memiliki kebun yang luas di Taif, bahkan orang yang hidup di zaman sekarang pun melakukan hal yang serupa.
Melihat keadaan Nabi Muhammad s.a.w. yang seperti itu dan tersentuh rasa iba, lalu mereka mengirim seorang pelayan yang bernama Addas dengan nampan penuh buah anggur untuk menyegarkan beliau. Pelayan itu adalah seorang budak Kristen dari Niniweh, yang mengagumi pengembara lelah penerima buah anggur yang berdoa dengan saleh: ”Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang.”
Melalui percakapan pendek dengan beliau setelah mengetahui bahwa pelayan itu berasal dari Niniweh, beliau menerangkan bahwa Nabi Yunus a.s. yang mutaqi putra Mattai dari Niniweh adalah seorang nabi sebagaimana beliau sendiri. Akibatnya, Addas langsung mengambil Bai’at di tangan Nabi Muhammad s.a.w. yang telah menjadi amat terhibur dengan pengabdian tulus dari seorang budak ketimbang kiriman buah anggurnya.
Setelah istirahat sejenak, menenangkan diri dan telah merasa segar kembali, beliau melakukan Ibadah dengan permohonan sbb: ”Ya Allah, hamba mengadu kepada-Mu atas tidak-berdayanya, lemahnya dan remehnya hamba di hadapan orang-orang. Engkau
adalah Tuhan orang-orang miskin dan lemah, Engkaulah Tuhanku. Ke dalam
tangan siapakah Engkau akan menyerahkan hamba? Apakah ke dalam tangan
orang asing yang menyerang hamba, atau kepada musuh yang mengalahkan
hamba di rumah sendiri? Jika kemarahan Engkau bukan kepada hamba, hamba
menerima karena kehendak Engkau lebih penting bagi hamba. Hamba mencari
lindungan dalam cahaya wajah-Mu. Engkau yang menghilangkan kegelapan,
dan menurunkan kedamaian, di sini dan di alam sana; janganlah amarah dan
murka Engkau terkena pada hamba. Hanya Engkau yang bisa menampakkan
kemarahan sampai Engkau puas; dan tidak ada tuhan lain selain Engkau.”
Permohonan yang dilakukan dalam keadaan sangat sedih dan tak berdaya itu, merupakan bukti kuat atas keteguhan iman Nabi Muhammad s.a.w. terhadap Allah SWT di dalam kejujuran, ketulusan dan ketakwaan beliau. Nyaman dengan permohonan itu, beliau kembali pulang menuju Mekah. Selanjutnya beliau berhenti di Nakhla dan tinggal di sana selama beberapa hari.
Pada suatu malam ketika beliau tilawah Alquran, suatu kelompok terdiri dari 7 orang yang mungkin berasal dari Nasibain lewat dekat beliau dan mendengar tilawah-nya,
mereka amat terkesan. Ketika kembali ke rumahnya, mereka menyampaikan
apa yang telah mereka dengar kepada orang-orangnya. Peristiwa ini
dijelaskan dalam Alquran di dua tempat yaitu Surah al-Ahqāf: 30-33 dan Surah al-Jin: 2-20, dan mereka diterangkan sebagai golongan jin sebab mereka datang di malam hari dan asing di tempat itu.
Wa
iż ṣarafnā ilaika nafaram minal-jinni yastami’ūnal-Qur’ān, fa lammā
haḍarūhu qālū anṣitū, fa lammā quḍiya wallau ilā qaumihim munżirīn. Qālū
yā qaumanā innā sami’nā kitāban unzila mim ba’di Mūsā muṣadiqqal limā
baina yadaihi yahdī ilal-haqqi wa ilā ṭarīqim mustaqīm. Yā qaumanā ajībū
dā’iyallāhi wa āminū bihī yagfir lakum min żunūbikum wa yujirkum
min’ażābin alīm. ”Dan
ingatlah ketika Kami hadapkan kepada engkau segolongan dari jin yang
ingin mendengarkan Alquran, maka ketika mereka hadir kepadanya mereka
berkata, “Diamlah dan dengarkanlah!” Dan tatkala telah selesai, mereka kembali kepada kaum mereka untuk
memberi peringatan. Mereka berkata, ”Hai kaum kami, sesungguhnya kami
telah mendengar suatu Kitab, yang telah diturunkan sesudah Musa
membenarkan apa yang ada sebelumnya, serta memimpin kepada kebenaran dan
kepada jalan yang lurus.” Hai kaum kami, sambutlah penyeru Allah, Muhammad, dan berimanlah kepadanya, Dia akan mengampuni dosa-dosamu, dan akan melindungi kamu dari adzab yang pedih.” (al-Ahqāf: 30-33)
lalu ayat yang berikut:
Qul
ūḥiya ilayya annahustama’a nafarum minal-jinni fa qālū innā sami’nā
Qur’ānan ’ajabā, yahdī ilar-rusydi fa āmannā bih, wa lannusyrika bi
rabbinā aḥadā, wa annahū ta’ālā jaddu rabbinā mattakhaża ṣāḥibataw wa lā
waladā. Wa annahũ kāna yaqūlu safīhunā ’alallāhi syaṭaṭā, wa annā
ẓanannā al lam taqūlal-insu wal-jinnu ’alallāhi każibā, wa annahũ kāna
rijālum minal-insi ya’ũżũna bi rijālim minal jinni fa zādūhum rahaqā, wa
annahum ẓannũ kamā ẓanantum allay yab’aṡallāhu aḥadā, wa annā
lamasnas-samā’a fa wajadnāhā muli’at harasan syadīdaw wa syuhubā, wa
annā kunnā naq’udu minhā maqā’ida lis-sam’, fa may yastami’il-āna yajid
lahũ syihābar raṣadā, wa annā lā nadri asyarrun urīda bi man fil-arḍi am
arāda bihim rabbuhum rasyadā, wa annā minaṣ-ṣāliḥūna wa minnā dūna
żalik, kunnā ṭarā’iqa qidadā, wa annā ẓanannā al lan nu’jizallāha
fil-arḍi wa lan nu’jizahū harabā. Wa
annā lammā sami’nal-hudā āmannā bih, fa may yu’mim bi rabbihī fa lā
yakhāfu bakhsaw wa lā rahaqā, wa annā minal-muslimūna wa minnal qāsiṭun,
fa man aslama fa ulā’ika taharrau rasyadā. Wa ammal-qāsiṭūna fa kānu li
Jahannama ḥaṭabã. Wa al lawistaqāmū ‘alaṭ ṭarīqati la asqaināhum mā’an
gadaqā, li naftinahum fīh, wa may yu’rid ‘an żikri rabbihī yasluk-hu
‘ażāban ṣa’adã, wa annal-masājida lillāhi fa lā tad’ū ma’allāhi aḥadā,
wa annahū lammā qāma ‘abdullāhi yad’ūhu kādū yakūnūna ‘alaihi libadā. ’Katakanlah, ”Telah diwahyukan kepadaku, bahwa serombongan jin mendengar Alquran,” maka mereka berkata, ”Sesungguhnya, kami telah mendengar Alquran yang ajaib sekali.’ Alquran
itu memberi petunjuk kepada kebenaran, maka kami telah beriman
kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan menyekutukan seseorang dengan
Tuhan kami. Dan sesungguhnya Maha Luhur Keagungan Tuhan kami. Dia tidak
beristri dan tidak pula beranak. Dan sesungguhnya orang-orang bodoh di
antara kami berkata dusta berlebihan terhadap Allah, Dan sesungguhnya,
kami menyangka manusia dan jin sekali-kali tidak akan berkata dusta
terhadap Allah. Dan, sesungguhnya ada beberapa orang dari manusia yang
meminta perlindungan kepada beberapa orang dari jin, maka dengan
demikian meningkatkan mereka dalam kesombongan. Dan, sesungguhnya mereka
yakin, sebagaimana kamu juga yakin, bahwa sekali-kali Allah tidak akan
membangkitkan seorang rasul.
Dan, sesungguhnya kami telah berusaha menyentuh langit, namun kami
mendapatkannya penuh dengan para penjaga yang kuat dan nyala api. Dan
sesungguhnya kami biasa menduduki beberapa tempat duduknya untuk
mendengarkan. Tetapi
barangsiapa sekarang berusaha mendengarkan, niscaya ia akan mendapatkan
di sana bintang menyala yang mengintai. Dan, sesungguhnya kami tidak
mengetahui apakah keburukkan dikehendaki untuk orang di bumi, atau
apakah Tuhan mereka menghendaki petunjuk kepada mereka. Dan,
sesungguhnya di antara kami sebagian ada orang-orang shaleh dan sebagian
dari kami sebaliknya. Kami mengikuti jalan-jalan yang berbeda. Dan,
sesungguhnya kami yakin bahwa kami pasti tidak dapat menggagalkan Allah
di Bumi, dan kami tidak akan dapat menggagalkannya dengan melarikan
diri. Dan sesungguhnya ketika kami mendengar petunjuk, kami beriman
kepadanya. Dan barangsiapa beriman kepada Tuhan-nya, maka ia tidak takut
kerugian dan tidak pula takut keaniayaan. Dan
di antara kami sebagian ada yang menyerahkan diri dan sebagian dari
kami ada yang menyimpang dari kebenaran. Dan barangsiapa menyerahkan
diri, maka mereka itulah yang mencari jalan lurus. Dan, adapun
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka itu menjadi
bahan bakar Jahannam. Dan sekiranya mereka, kaum kafir Mekkah, tetap teguh di atas jalan lurus,
niscaya Kami akan memberi mereka minum air yang berlimpah-limpah.
Supaya Kami menguji mereka di dalamnya. Dan barangsiapa berpaling dari
mengingat Tuhan-nya, Dia akan menghalaunya kepada adzab yang terus
berkobar. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah, maka
janganlah kamu menyeru kepada siapa pun selain Allah. Dan sesungguhnya
apabila hamba Allah berdiri untuk berdo’a kepada-Nya, mereka
mengelilinginya sehingga hampir mencekiknya.’ (al-Jin: 2-20)
Nabi Muhammad s.a.w. telah diberitahu tentang peristiwa ini melalui wahyu tersebut di atas. Lalu beliau meneruskan perjalanannya ke Mekah namun sebelum masuk kota dimana sekarang tidak ada lagi pelindung, beliau memutar menuju jalur utara menuju tempat yang sering dikunjungi dulu di Gunung Hira. Lalu beliau mengirim berita 2x untuk meminta perlindungan dari pemimpin Quraisy tertentu yang berpengaruh, namun gagal.
Akhirnya terkenanglah tentang Mut’am bin Adi, dan beliau mengirim berita untuk meminta perlindungannya agar bisa masuk ke kota. Mut’am setuju, dan setelah memanggil anak-anaknya, mereka memakai baju-zirah dan senjatanya serta berjaga-jaga di Ka’bah. Puas dengan jaminannya, Nabi Muhammad s.a.w. dan Zaid r.a. masuk kembali ke kota Mekah. Ketika tiba di Ka’bah, Mut’am berdiri di punggung ontanya dan berteriak: ”Wahai
Quraisy, sesungguhnya aku telah berjanji untuk melindungi Muhammad,
karenanya, tidak boleh ada seorang pun dari kalian yang mengganggunya.”
Nabi Muhammad s.a.w. pulang ke rumahnya dengan dikawal oleh Mut’am bin Adi dan pasukannya.
Para penulis Barat mengagumi perjalanan beliau ke Taif sebagai sesuatu yang berani, sendirian, dikucilkan dan diusir oleh orang-orangnya sendiri, benar-benar taat pada perintah Allah SWT, dan memanggil penyembah-berhala untuk bertobat dan mendukung misinya, opini mereka, bahwa beliau telah memancarkan cahaya yang amat kuat dalam intensitas keimanannya pada perintah Allah SWT yang harus disebarkan oleh beliau.
Walau pun Nabi Muhammad s.a.w. telah kembali ke rumah beliau di Mekah, namun beliau belum dapat memikirkan satu pun rencana yang tepat untuk menyebar keimanannya. Pada suatu hari, Tufail bin Amr seorang pemimpin Daus yang dihormati dan juga seorang penyair, telah tiba di Mekah. Mendengar kedatangannya sebagian dari pemimpin suku Quraisy -- yang khawatir ia akan sulit menghadapi Nabi Muhammad s.a.w. dan menjadi Muslim -- telah menemuinya dan memberi peringatan agar jangan tertipu oleh beliau
yang pandai menyihir, karena melalui propagandanya yang menipu, ia
dapat memisahkan saudara dari saudaranya dan suami dari istrinya. Tufail mengerti bahwa pihak Quraisy menasihatinya berkali-kali sehingga karena saking takutnya dan untuk menjaga dirinya terhadap tipu-muslihat beliau,
ia menutup kedua lubang telinganya dengan kapas, sehingga ucapan tukang
sihir akan sulit masuk ke pikirannya yang mungkin akan membuatnya
menjadi susah.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ia berangkat ke pelataran Ka’bah dan melihat beliau sedang Ibadah di suatu sudut. Pemandangan itu menarik hatinya dan ia mendekati beliau. Lubang kupingnya masih dipenuhi kapas, namun ia mendengar satu dua kata aneh. Lalu ia berkata: ”Aku
pintar dan bisa membedakan yang benar dari yang salah. Apa bahayanya
jika aku mendengar orang ini dan memutuskan apakah perkataannya benar
atau tidak?”
Setelah berpikir seperti itu, ia membuang semua kapas dari lobang telinganya dan mendengarkan tilawah Alquran yang dialunkan oleh beliau. Ketika beliau selesai beribadah dan mulai akan bergerak pulang, Tufail mendatanginya dan meminta beliau untuk menjelaskan tentang tugasnya. Nabi Muhammad s.a.w. melakukan tilawah ayat-ayat Alquran baginya dan mengundangnya untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Tufail tersentuh dalam sekali, sehingga ia segera memeluk Islam. Lalu ia berkata kepada beliau: “Saya dihormati oleh suku saya sendiri, dan mereka akan mendengar saya. Kumohon engkau berdoa agar Allah SWT membimbing mereka lewat saya.”
Beliau berdoa seperti yang diinginkan. Ketika Tufail tiba di rumahnya, ia menerangkan kepada istrinya dan kepada ayahnya tentang apa yang telah terjadi di Mekah dan mengundang mereka masuk Islam. Mereka setuju pada undangannya dan langsung memeluk Islam. Kemudian Tufail mengundang seluruh anggota sukunya untuk masuk Islam, namun ditolak dan perilaku mereka menjadi kasar. Tufail kembali lagi kepada beliau dan melaporkan bahwa rakyatnya menolak masuk Islam serta perilakunya berubah menjadi kasar sehingga ia meminta beliau untuk mengutuk mereka.
Nabi Muhammad mengangkat kedua tangannya dalam posisi berdoa lalu memohon: “Allah pasti membimbingmu Daus.” Beliau menyuruh Tufail pulang dan memberi pesan agar ia memanggil orang-orang masuk Islam dengan sopan dan penuh kasih-sayang. Tufail pulang dan mentaati arahan beliau memanggil orang-orangnya masuk Islam, yang berhasil setelah beberapa tahun.
Di kemudian hari Tufail diikuti 70 keluarga sukunya melakukan hijrah ke Madinah. Hal itu terjadi ketika beliau melakukan ekspedisi militer di Khaibar. Dan Abu Hurairah r.a., yang menjadi sangat terkenal dengan Hadis-hadisnya adalah keluarga Daus yang tiba di Madinah bersama mereka.
Ketika kembali dari Taif, Nabi Muhammad s.a.w. menjalani hidup sendirian. Beliau memohon teman hidup kepada Allah SWT, dan memohon dapat memilih pasangan secara benar dan bijaksana. Kemudian, beliau melihat malaikat Jibril dalam mimpi dan membawa saputangan sutra warna hijau lalu berkata: “Inilah istrimu di dunia ini dan juga di alam sana.” Beliau ingat bahwa saputangan itu mirip benar dengan saputangan milik Siti Aisyah r.a. putri Sayidina Abu Bakar r.a.
Di belakang hari, Khulah binti Hakim istri Usman bin Maz’un r.a., menemui dan bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah, mengapa engkau belum menikah juga?”
Beliau balik bertanya: ”Siapa yang harus aku nikahi?”
Khulah menjawab: ”Jika engkau bersedia, nikahilah perawan, tapi jika engkau mau, nikahilah janda.”
Beliau bertanya: ”Siapakah mereka?”
Khulah menjawab: ”Yang
perawan anak sahabat engkau, Sayidina Abu Bakar r.a., sedangkan yang
sudah menjanda namanya Saodah binti Zamā, dan ia adalah janda Sakran bin
Amr.”
Lalu beliau meminta keterangan yang lebih jelas lagi tentang kedua perempuan itu. Pertama-tama Khulah menemui Sayidina Abu Bakar r.a. dan istrinya Umi Ruman r.a., lalu memberitahu maksudnya kepada mereka berdua. Mereka menjadi kaget dan bingung apakah pernikahan itu diizinkan, karena beliau sudah dianggap saudara oleh Sayidina Abu Bakar r.a. Ketika perkara itu dilaporkan kepada beliau, lalu beliau menjelaskan bahwa hubungan rohani tidak menjadi halangan untuk pernikahan. Setelah permasalahannya jelas, orang-tua Siti Aisyah r.a. menyetujui dengan senang hati.
Lalu, Khulah pergi ke rumah Saodah binti Zamā dan mengajukan lamaran kepadanya, dimana ia dan kerabatnya menerima lamaran tersebut dengan amat senang hati. Pernikahan Nabi Muhammad s.a.w. dilaksanakan dengan kedua pasangannya yaitu Sayidah Saodah r.a. dan Sayidah Siti Aisyah r.a., pada bulan Sawal tahun ke-10 kenabian beliau. Mas kawin untuk setiap pengantin perempuan adalah masing-masing 400 dirham. Saodah r.a. langsung tinggal bersama beliau, namun Sayidah Aisyah r.a. yang pada saat itu masih berumur 9 - 10 tahun dan walimah-nya ditunda beberapa tahun sampai setelah Hijrah dari Mekah ke Madinah.
Di dalam pandangan kritikan pihak Barat terhadap konsep pernikahan Islam, kami mohon izin untuk menjelaskan subyek tersebut yang mungkin akan sangat menolong dalam menghargai perilaku Islam pada pernikahan. Islam
menganggap bahwa pernikahan adalah suatu norma, dimana pernikahan itu
amat penting guna menyempurnakan sebuah kehidupan. Hidup selibat, jelas
dilarang. Poligami diizinkan dalam keadaan tertentu, namun dengan syarat
harus memperlakukan para istri dengan adil tanpa diskriminasi. Seorang
laki-laki yang di dalam segala hal tidak mampu memenuhi standar ketat
yang dibutuhkan untuk hal itu, dilarang menikah dengan lebih dari satu
istri.
Wa
in khiftum allā tuqṣitū fil-yatāmā fankiḥū mā ṭāba lakum minan-nisā’i
maṡnā wa ṡulāṡa wa rubā, fa in khiftum allā ta’dilū fa wāḥidatan au mā
malakat aimānukum, żālika adnā allā ta’ūlū. ”Dan jika kamu khawatir bahwa kamu tak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lainnya yang kamu sukai; dua atau tiga, atau empat; akan tetapi, jika kamu khawatir kamu tak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang perempuan saja, atau kawinilah yang dimiliki tangan kananmu. Cara demikian itu lebih dekat untuk kamu supaya tidak berbuat aniaya.” (an-Nisā’: 4)
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah agar para pihak dapat menjalani hidupnya pada tingkat ketakwaan yang tertinggi. Di dalam pernikahan, Islam
melarang tindakan yang memanjakan-diri-sendiri, mengumbar nafsu, serta
melarang perbuatan cabul dan inilah yang disebut dengan menjaga kesucian farji.
Pasangan suami istri harus saling membantu dalam menegakkan akhlak dan nilai-nilai kerohanian yang tertinggi. Seorang Muslim yang tidak mampu menjaga standar pernikahan tersebut, baik monogami atau pun poligami,
maka ia menjadi tidak memenuhi syarat, dan tidak dapat mencapai
kehidupan yang penuh kebajikan. Memanjakan-diri-sendiri di dalam semua
bentuknya, baik pada hubungan pernikahan, makanan, minuman atau pada hal
lainnya, adalah berlawanan dengan semangat Islam.
Orang Barat sangat kritis pada perilaku Islam dan Muslim baik pernikahan atau pun hubungan di dalam suatu pernikahan. Sejauh terkait Islam, kritikan Barat didasarkan pada salah-pengertian yang parah terhadap semangat yang ditanamkan oleh Islam. Sayangnya sejauh terkait Islam, banyak orang-orang Barat yang tidak mengerti standar ajaran Islam,
demikian juga banyak dari mereka yang tidak memenuhi syarat, misalnya
mereka yang kecanduan minuman keras, suka berjudi dan lain-lain
sebagainya.
Adalah tidak adil jika cacat seorang Muslim dianggap cacatnya Islam, sebagaimana jika dianggap bahwa tingkah-asusila yang buruk yang sayangnya telah lazim terjadi di Barat, dianggap sebagai buruknya Kristen. Sejauh terkait Judaisme dan agama Kristen, orang-orang mutaqi yang hidup di zaman dahulu, misalnya segenap Nabi-Nabi yang diterangkan dalam Perjanjian Lama memiliki lebih dari satu istri, dan hal itu membuktikan bahwa poligami tidak berlawanan dengan standar tertinggi kerohanian.
Yang benar adalah di zaman modern ini pikiran Barat pada poligami telah sangat kacau, begitu kacaunya sehingga saat ini hampir seluruh nilai-nilai Barat hanya memikirkan perkara sex yang nampaknya menjadi pegangan utama kaum laki-laki dan perempuan dalam segenap kehidupan mereka, akibatnya standar Islam dan Barat dalam hal ini menjadi berlawanan dengan menyatakan bahwa Islam telah memaksakan nilai-nilai kesucian, penegakan akhlak dan rohani, melawan pilihan Barat akan lambang monogami dan hubungan sex bebas.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. menikahi Sayidah Saodah binti Zamā r.a. ia sudah dalam keadaan hidup menjanda dan telah memiliki usia yang lanjut. Motif utama beliau menikahinya adalah
untuk mendapat teman-hidup yang tepat dengan seorang perempuan,
melindungi dan memberi kenyamanan kepada orang yang menderita karena
keimanannya, serta untuk menghargai kesabarannya. Tak ada satu pun
pernikahan beliau yang terjadi hanya atas keinginan pribadi belaka.
Ketika Sayidah Siti Aisyah r.a. ditikah oleh Nabi Muhammad s.a.w., beliau baru berumur 9 - 10 tahun tapi walimah-nya belum dilaksanakan. Syaidah Siti Aisyah r.a. adalah putri seorang Sahabat beliau yang paling karib dan mengabdi, dan ia dibesarkan dalam suasana yang saleh dan takwa. Dan di bawah asuhan Nabi Muhammad s.a.w. pikiran Sayidah Siti Aisyah r.a. dapat dibentuk menjadi penuh kebajikan, selain ia dapat siap berhubungan intim dengan beliau karena istri sangat diperlukan di dalam Islam.
Sayidah Siti Aisyah r.a. juga dapat membimbing kaum perempuan Muslim baik dengan ucapan mau pun dengan perbuatan di sepanjang jalan yang mutaqi; dan ia diharapkan dapat mendampingi beliau dalam suatu waktu yang panjang dan dapat bertindak sebagai suatu sumber perintah bagi seluruh masyarakat Muslim,
sebagaimana hal itu telah dibuktikan dengan fakta yang ada. Bagian
terbesar ilmu pengetahuan tentang cara-cara dan praktek-praktek dalam
kehidupan beliau, telah diturunkan kepada generasi mendatang ummat Muslim melalui Sayidah Siti Aisyah r.a.
Pernikahan-pernikahan beliau
yang selanjutnya adalah dengan janda-janda atau perempuan-perempuan
yang diceraikan, dimana keinginan pribadi selaku motif di belakangnya,
sama-sekali tidak ada. Sindiran pada beliau mulai timbul pada pernikahan dengan keponakan sepupu beliau yaitu Sayidah Zainab binti Jahsy r.a. setelah ia dicerai oleh Zaid bin Hariṭa r.a.. Namun kenyataan yang ada tidak mendukung kebenaran sindiran tersebut.
Beliau sudah mengenal dengan baik keponakan sepupunya yaitu sejak Sayidah Zainab r.a. dilahirkan, dan jika jatuh hati kepadanya maka beliau dapat menikahinya setelah istri beliau Sayidah Khadijah r.a. wafat. Justru beliau menikahkan Zainab r.a. kepada Zaid bin Hariṭa r.a. yang dibebaskan dan diadopsi serta disayang seperti anak beliau sendiri.
Ketika Zaid r.a. berniat mencerai Zainab r.a. dan tidak mengikuti nasihat beliau agar ia tetap lekat dengan istrinya, maka beliau merasa berkewajiban untuk menghibur dan melindungi Sayidah Zainab r.a., namun sulit melamarnya karena menurut adat-istiadat Arab bahwa perkawinan dengan janda dari anak angkatnya dianggap tidak sah dan dilarang. Beliau khawatir jika pernikahan itu menimbulkan tentangan keras kepadanya.
Ketika masih dalam keadaan menimbang-nimbang, beliau
menerima wahyu bahwa tindakan adopsi tidak mendirikan hubungan hukum
antara ayah angkat dengan anak angkatnya, sehingga keengganan beliau
untuk melamar Zainab r.a. harus dihilangkan. Ketika menikah dengan beliau, usia Sayidah Zainab r.a. sudah mencapai 38 tahun, dan menurut adat Arab di zaman itu maka perempuan yang berumur sekian telah mencapai usia yang lanjut.
Jadi,
berdasarkan keadaan yang telah diterangkan di atas maka dalam
pernikahan itu, tidak ada tindakan yang bisa dinilai bahwa hal itu
dilakukan hanya berdasar nafsu dan keinginan pribadi saja. Peristiwa ini dijelaskan di dalam Alquran sbb:
Wa
iż taqūlu lil-lażī an’amallāhu ‘alaihi wa an’amta ‘alaihi amsik ‘alaika
zaujaka wattaqillāha wa tukhfī fī nafsika mallāhu mubdīhi wa takhsyan
nās, wallāhu aḥaqqu an takhsyāh, fa lammā qaḍā Zaidum minhā waṭarā,
zawwajnākahā li kai lā yakūna ‘alal-mu’minīna ḥarajun fî azwāji
ad’iyā’ihim iżā qaḍau minhunna waṭarā, wa kāna amrullāhi maf’ūlā. ”Dan, ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat dan engkau pun
telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah istrimu pada dirimu sendiri
dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan dalam hatimu
apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia,
padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala
Zaid menyempurnakan keperluannya terhadap ia, Kami menikahkan engkau
dengannya, supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang mu’min untuk
menikahi
mantan istri anak-anak angkat mereka, apabila mereka telah
menyempurnakan kehendak mereka mengenai mereka. Dan keputusan Allah
pasti akan terlaksana.” (al-Aḥzāb: 38)
Kira-kira pada waktu yang bersamaan, Nabi Muhammad s.a.w. mengalami dua peristiwa yang amat luar biasa dan dengan tingkat yang paling tinggi. Yang satu adalah Isrā’ yaitu perjalanan rohani di malam hari dari Mekah ke Yerusalem dimana beliau bertemu dengan beberapa orang nabi-nabi a.s. yang terdahulu dan mengalami berbagai pengalaman yang telah memberi petunjuk teramat kuat atas kemenangan dan keunggulan Islam. Perjalanan di malam hari itu dinyatakan dalam Alquran sbb:
Subhānal-lażī
asrā bi’abdihī lailam minal-Masjidil-Ḥarāmi ilal-Masjidil-Aqṣal-lażī
bāraknā ḥaulahū li nuriyahū min āyātinā, innahū huwas-samī’ul baṣīr. ”Maha
Suci Dia, Yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari Masjid
Haram ke Masjid Aqṣa, yang telah Kami berkati sekelilingnya, supaya
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari Tanda-tanda Kami. Sesungguhnya
Dia, Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Bani Israil – al-Iṣrā’: 2)
Perjalanan yang kedua adalah Mi’raj ketika rohani beliau naik ke langit dimana dalam perjalanan itu juga bertemu beberapa orang nabi-nabi yang terdahulu, dan terus naik sampai mencapai tempat yang dekat sekali dengan Khalik-nya. Perjalanan ini diterangkan juga di dalam Alquran.
Wa
huwa bil-ufuqil-alā. Ṡumma danā fa tadallā, fa kāna qāba qausaini au
adnā. Fa auḥā ilā ’abdihī mā auḥā. Mā każabal-fu’ādu mā ra’ā. A fa
tumārūnahū ’alā mā yarā. Wa laqad ra’āhu nazlatan ukhrā, ’inda
Sidratil-Muntahā. ’Indahā jannatul-ma’wā. Iż yagsyas-sidrata mā yagsyā.
Mā zāgal-baṣaru wa mā ṭagā. Laqad ra’ā min āyāti rabbihil kubrā. A fa
ra’aitumul-Latā wal-’Uzzā. ”Dan, ketika ia berada di atas ufuk tertinggi, Kemudian ia, Rasulullah mendekati Allah, lalu Dia, Allah kian dekat kepadanya, Maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua ujung busur, atau lebih dekat lagi, Kemudian Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan, Hati Rasulullah
tidak berdusta apa yang ia lihat. Maka, apakah kamu membantahnya
tentang apa yang telah ia lihat? Dan, sesungguhnya, ia melihat-Nya kedua
kali. Dekat pohon Sidrah tertinggi, yang tak seorang pun mampu
melewatinya. Yang di dekatnya ada surga, tempat tinggal. Ketika pohon Sidrah ditutupi oleh sesuatu yang menutupi. Penglihatannya tidak menyimpang dan tidak pula melantur. Sesungguhnya, ia melihat satu Tanda besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. Apakah patut kamu menganggap al-Lata dan al-’Uzza.” (an-Najm: 8-20)
Selama perjalanannya, Nabi Muhammad s.a.w. menjelajahi berbagai tingkat rohani dan akhirnya beliau
tiba di puncak tertinggi kemenangan. Ketika perjalanan itu diceritakan,
musuh-musuhnya mengejek dan mentertawakan. Terkait dengan perjalanan
itu, sebagian dari mereka yang pernah ke Yerusalem bertanya tentang ciri-ciri khas tertentu dari kota itu, dan mereka terkaget-kaget karena beliau dapat menjelaskan dengan sangat tepat. Namun hal ini pun tidak mampu meyakinkan mereka bahwa beliau telah menerima wahyu Allah dan benar-benar seorang Rasulullah.
Dalam perjalanan yang kedua itulah Ṣalat farḍu
diberikan dan telah menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan 5x sehari
pada jam tertentu dengan berjamaah. Pembagian waktunya adalah: Ufuk pertama muncul sampai sebelum matahari terbit – Subuh. Tengah hari sampai ke setengah-sore – Zuhur. Setengah sore sampai sinar matahari mulai condong – Asyar. Matahari terbenam sampai akhir senja – Magrib. Akhir senja sampai dengan lewat tengah malam - Isya. Bahkan jika hanya ada dua orang pun dapat berjamaah. Namun seorang Muslim yang tidak punya kesempatan berkumpul dengan Muslim yang lain untuk berjamaah tetap harus melaksanakan Ṣalat sendirian pada jam-jam yang telah ditentukan. Dalam hal-hal tertentu, Zuhur dan Asyar dapat digabungkan atau di jama, Magrib dan Isya juga dapat digabungkan.
Yang paling baik Ṣalat dilakukan di dalam mesjid dan dipimpin Imam, namun dapat juga dilakukan dimana saja asalkan tempatnya bersih. Sebelum melakukan Ṣalat orang yang beribadah harus wuḍu terlebih dahulu yaitu mencuci jari tangan, mulut, hidung, wajah, telinga, sebagian rambu di kepala, lengan dan kaki. Ṣalat adalah suatu bentuk ibadah yang paling utama di dalam Islam. Dan Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda bahwa Ṣalat adalah kenaikan rohani orang yang beriman dan saat itu ia sedang melakukan perjumpaan dengan Allah SWT. Tidak diragukan lagi bahwa jika Ṣalat dilakukan dengan konsentrasi dan sesuai syarat-syarat yang ditetapkan, maka Ṣalat menjadi sebuah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Artinya, Ṣalat menggabungkan tubuh dengan jiwa dalam ibadah kepada Allah SWT,
dan sesuai fakta bahwa di situ terdapat hubungan yang erat antara tubuh
dengan jiwa, dimana akibat dari itu masing-masingnya akan ber-reaksi
terhadap kondisi yang lainnya. Selama Ṣalat maka keduanya akan bersatu dalam ibadah untuk memuja Allah SWT.
Posisi tubuh yang berbeda menunjukkan adanya kerendahan hati dari tubuh
dan juga kerendahan hati dari jiwa kita. Bacaan doa kepada Allah dalam setiap posisi tubuh sudah disesuaikan dengan posisi itu. Contohnya, selama bersujud orang yang beribadah memuja Allah dengan bacaan: ”Maha Suci Allah, Maha Tinggi, aku memuji-Nya.”
Di sana tubuh dan jiwa merasakan dan mengakui dengan segala kerendahan hatinya ke hadapan Allah SWT. Dalam semua ibadah, Islam
mengharuskan jiwa bersatu dengan tubuhnya. Jika hanya gerakan pisik
saja walau telah sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan hal itu
tidak berarti, dan akan dihukum keras.
Contohnya telah dikatakan:
Allażīna hum ‘an ṣalātihim sāhūn, allażīna hum yurā’ūn. ”Orang-orang yang dari Ṣalat mereka lalai. Orang-orang yang berbuat ria.” (al-Mā’ūn: 6-7)
Cara serupa yang terkait pengorbanan dinyatakan dalam ayat:
Lay
yanālallāha luḥūmuhā wa lā dimā’uhā wa lākiy yanāluhut-taqwā minkum,
każālika sakhkharahā lakum li tukabbirullāha ’alā mā hadākum, wa
basysyiril-muḥsinīn. ”Sekali-kali
tidak akan sampai kepada Allah, dagingnya dan tidak pula darahnya, akan
tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu. Demikianlah Dia
menundukkan mereka untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah sesuai
petunjuk kepadamu. Dan berikan khabar suka kepada orang-orang yang
berbuat kebaikan.” (al-Hajj: 38)
Tentang Puasa ditunjukkan di dalam ayat:
Ya ayyuhal-lażīna āmanū kutiba ’alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ’alal-lażīna min qablikum ’la’allakum tattaqūn. “Hai
orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelummu, supaya kamu terpelihara dari keburukan rohani dan jasmani.” (al-Baqarah: 184)
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Dia
yang terus berucap dusta dan berbuat tercela dan terus makan minum
selama waktu puasa, maka Allah tidak hanya membutuhkan tindakan pisik
semata-mata darinya.”
Jadi jelas terasa bahwa Islam
menginginkan agar tubuh dan jiwa bergabung bersama dalam semua bentuk
ibadah. Sesungguhnya, tidak hanya menginginkan perbuatan pisik dan
rohani saja, namun memprioritaskan perbuatan rohani, karena walau pun
mungkin saja perbuatan pisik sulit atau tidak menyenangkan, namun ia
bisa dibentuk atau dibagi, tapi perbuatan rohani harus dilakukan
sepenuhnya dalam segala kondisi dan situasi. Di dalam Islam, sistem ibadah kepada Tuhan dengan segenap aspeknya adalah bukti kuat lainnya yang didirikan di bawah perintah Allah SWT dan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. hanya atas keinginan beliau sendiri saja.
Pada tiga tahun terakhir beliau tinggal di Mekah, prospek penyebaran Islam di Mekah tetap dalam keadaan suram dan tidak menggembirakan. Penentangan pihak Quraisy dan ejekan mereka terhadap beliau dan ummat Muslim setiap harinya semakin meningkat. Perjalanannya ke Taif juga sama halnya dan mengecewakan beliau. Namun beliau memperoleh jaminan bahwa puncak kemenangan Islam dengan wahyu yang diturunkan kepada beliau sampai saat itu, telah menjadi petunjuk kuat bahwa kemenangan sudah mendekat.
Itulah sebabnya beliau menjadi cemas karena perjuangan di jalan Allah SWT dan penyebaran Islam tidak boleh kendor. Akibatnya, perhatian beliau dibelokkan dan lebih diarahkan kepada suku-suku Arab. Jalan terbaik untuk menyampaikan khabar suka pada mereka adalah menemui mereka ketika tiba di Mekah dan Mina dalam musim ziarah haji, atau ketika mereka berkumpul di saat-saat bazar dilaksanakan yaitu di Okaz, Majannah dan Żul Majaz.
Supaya dapat berhasil dalam memanfaatkan kesempatan itu, maka beliau sering mengunjungi mereka. Terkadang beliau ditemani Sayidina Abu Bakar r.a., Sayidina Ali r.a., atau Zaid bin Hariṭa r.a. Namun, pihak Quraisy terus menerus menghalanginya dengan segala cara. Misalnya, Abu Lahab pamannya sendiri yang terus mengikutinya kemana pun juga dan memberitahu semua orang agar tidak percaya, karena beliau dianggapnya pengkhianat dan berniat menjerumuskan mereka.
Ketika
mereka tahu bahwa kerabat dekatnya saja menganggapnya berdusta, mereka
jadi menjauh dan kadang-kadang mengejek serta mentertawakan beliau. Abu Jahal juga menghalangi beliau dengan cara yang serupa. Ia mengikutinya, melemparkan kotoran dan memperingati orang-orang agar tidak terperdaya, karena beliau selalu melarang mereka menyembah al-Lata dan al-‘Uzza.
Pada suatu hari Nabi Muhammad s.a.w. berangkat sendirian menuju ke kemah Bani Aamir bin Sa’s’a. Sayangnya, saat itu tak ada seorang pun dari suku Quraisy yang mengikuti beliau. Dan di sana beliau mengajarkan Tauhid kepada mereka dan mengajak masuk Islam.
Ketika selesai, Buhariah bin Faras salah seorang dari mereka berteriak: ”Andaikan orang ini mendukungku, maka aku bisa menjajah seluruh Arabia.”
Lalu ia berbicara kepada beliau, dan ia mengajukan pertanyaan: “Jika
kami mendukung, dan mungkin kamu menang atas musuh-musuhmu, lalu
setelah kamu wafat apakah kami punya saham dalam pemerintahan itu?”
Beliau menjawab: “Kerajaan berada di tangan Allah SWT, Dia menganugerahkan kepada siapa saja yang Dia sukai.”
Buhairah berteriak: “Kamu
mengajak kami mendukungmu untuk melawan seluruh Arabia, tapi setelah
berhasil maka buahnya kamu berikan kepada orang lain. Pergilah. Kami
tidak membutuhkanmu.”
Selanjutnya, beliau berkeliling menuju suku-suku lainnya yaitu Bani Maharab, Fazarah, Gassan, Marrah, Hanifah, Suldim, Abas, Kandah, Kalib, Hariṭ, Azrah, Haḍramah dan menyeru mereka masuk Islam, namun semuanya menolak. Bani Hanifah dari Yamamah memperlakukan beliau dengan kejamnya. Musailmah Kazzab, yang belakangan mengaku nabi adalah kepala-suku Bani Hanifah.
Perkara ini adalah suatu peristiwa yang sangat aneh. Rasulullah s.a.w.
yang dengan khabar sukanya setelah beberapa tahun ke depan telah
diterima di daerah yang teramat luas di dunia, akan tetapi di zaman itu
terlihat berjalan sendirian dari kemah ke kemah milik para kepala suku
yang berbeda-beda, dan mengajarkan firman Allah
kepada mereka, dan memohon dengan sungguh-sungguh agar mereka menerima
karena akan bermanfaat bagi mereka, namun setiap upayanya selalu
tertutup dan jawaban yang diterima dari kemah-kemah itu adalah: “Pergi, kami tidak membutuhkanmu.”
Namun beliau
tidak berkecil hati dan berjalan dari satu kemah ke kemah lainnya walau
jawaban yang diterima sama saja. Sementara itu wahyu yang diturunkan
kepada beliau semakin memperluas cakrawala pandangan bagi beliau dan pengikutnya. Mereka diajak untuk membuka mata agar bisa mengerti sejak dari penduduk menjadi suku, terus menjadi bangsa, dan dari bangsa menuju ke tahapan antar-bangsa atau internasional.
Dua negara adi-kuasa di zaman itu adalah Persia dan Bizantin. Wilayah mereka dekat dengan Arabia. Imperium Persia menjajah timur-laut Arabia, dan Bizantin menjajah di barat-dayanya. Karena perbatasannya terletak di utara Arabia, maka di sanalah mereka berseteru antara satu dengan lainnya.
Suatu hari tentara Persia menyerbu Bizantin dengan garang dan merebut sebagian besar wilayah mereka yang saat ini dikenal dengan Timur Tengah. Lalu Bizantin kalah lagi di zaman yang sedang kita bicarakan ini. Ketika berita kekalahan pihak Bizantin sampai ke Mekah, suku Quraisy yang menyukai Persia dan tidak begitu mengenal Bizantin dengan baik, telah menerima kemenangan Persia sebagai nubuatan bahwa mereka juga akan menang dari ummat Muslim sebagaimana Persia berhasil mengalahkan Bizantin.
Pada peristiwa ini Nabi Muhammad s.a.w. telah menerima wahyu:
Gulibatir-Rūm,
fī adnal-arḍi wa hum mim ba’di galabihim sayaglibūn, fĩ biḍ’i sinīn,
lillāhil-amru min qablu wa min ba’d, wa yauma’iziy yafraḥul-mu’minūn, bi
naṣrillāh, yanṣuru may yasyā’, wa huwal-‘azīzur-raḥīm. Wa’dallāh, lā
yukhlifullāhu wa’dahū wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya’lamūn. “Telah
dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang dekat dan mereka sesudah
kekalahan mereka, akan memperoleh kemenangan. Dalam beberapa tahun, bagi
Allah kedaulatan sebelum dan sesudah-nya,
dan pada hari itu akan bergembira orang-orang mu’min. Dengan
pertolongan Allah, Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya; dan Dia Maha
Perkasa, Maha Penyayang. Ingatlah janji Allah; Allah tidak menyalahi janji-Nya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (ar-Rūm: 3-7)
Ini adalah nubuatan yang bukan saja dimaksudkan untuk kemenangan Bizantin
dalam beberapa tahun ke depan, namun juga kemenangan orang-orang mu’min
atas musuh mereka pada waktu yang sama, dan hal itu terjadi dalam
perang Badar. Berita kemenangan Bizantin terhadap Persia diterima pada waktu yang sama dan sangat menggembirakan ummat Muslim. Wahyu yang meramalkan kemenangan ganda ini, dan diterima ketika Nabi Muhammad s.a.w. dan sedikit sahabatnya yaitu orang-orang mu’min di Mekah sedang diperkirakan oleh orang-orang Quraisy
bahwa mereka akan segera hancur, keduanya adalah sumber yang meyakinkan
mereka, yang menguatkan iman mereka, dan merupakan bukti kuat lainnya
terhadap kebenaran beliau.
Keadaan di Bizantin ketika wahyu ini diterima dianggap oleh Quraisy sedang berada dalam keadaan lemah, sehingga salah satu dari mereka bertaruh kepada Sayidina Abu Bakar r.a. bahwa nubuatan itu tidak akan terpenuhi. Namun semua harapan Quraisy pada Bizantin mau pun pada ummat Muslim telah dihancurkan dan dikecewakan oleh kemenangan berturut-turut tentara Bizantin, dan dengan kalahnya serta dipukul mundurnya Quraisy dalam perang Badar.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu yang mengabarkan bahwa beliau akan hijrah dari Mekah, lalu Allah SWT akan mengembalikannya ke Mekah dalam suatu kemenangan agung. Firman dari wahyu itu adalah:
Innallażī faraḍa ‘alaikal-Qur’āna larādduka ilā ma’ād. “Sesungguhnya Dia yang telah mewajibkan Alquran atasmu, pasti akan mengembalikanmu ke tempat kembali yang telah ditetapkan.” (al-Qaṣaṣ: 86)
Ini
juga merupakan nubuatan berarti ganda dari suatu wahyu yang agung, yang
telah terpenuhi dalam cara yang sangat luar-biasa. Kekalahan mutlak Quraisy yang amat kuat, yang sombong dan haus kekuasaan itu di tangan sekumpulan kecil ummat Muslim yang berjuang keras dalam perang Badar yang telah merubah seluruh perjalanan sejarah manusia, merupakan sebuah peristiwa yang amat luar biasa.
Hal ini juga telah dinubuatkan di dalam wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad s.a.w. pada waktu yang hampir bersamaan di Mekah, ketika keberuntungan ummat Muslim berada di batas yang paling bawah. Firman nubuatan itu diterangkan dalam ayat-ayat:
Am yaqūlūna naḥnu jamī’um muntaṣir. Sayuhzamul-jam’u wa yuwallūnad-dubur. Balis-sā’atu mau’iduhum was-sā’atu ad’hā wa amarr. ”Apakah
mereka berkata, “Kami golongan yang bersatu, yang menang?” Golongan itu
akan segera dikalahkan dan akan membalikkan punggung mereka, melarikan diri. Bahkan Saat itu telah dijanjikan kepada mereka; dan Saat itu paling mengerikan dan paling pahit.” (al-Qamar: 45-47)
Kaum Quraisy juga mendengar nubuatan-nubuatan itu namun mengingkari dan mentertawakan beliau dan ummat Muslim, serta menyatakan bahwa wahyu itu hanyalah racauan orang gila. Melihat keadaan tanpa harapan yang dialami oleh beliau dan beberapa Sahabat pada saat itu, dan rasa frustrasi yang terus menerus menimpa mereka, adalah menjadi tidak mengherankan jika suku Quraisy menganggap wahyu-wahyu itu hanyalah sebagai racauan orang gila semata. Tidak ada petunjuk walau sekecil apa pun bahwa beliau
dan sejumlah kecil orang-orang yang beriman akan mampu selamat dari
kekejian yang dihadapi mereka di segala arah. Namun mereka percaya bahwa
Allah, Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, telah menjanjikan keselamatan dan kemenangan mereka akan terjadi sebagaimana janji-Nya.
Penulis biografi Nabi Muhammad s.a.w. dari Barat telah berkata (Sir William Muir, Life of Mahomet, hal.126):
”Muhammad
telah dapat mengendalikan pengikutnya yang menunggu dalam sebuah
harapan akan kemenangan, walau di luarnya terlihat lemah; dengan
kelompok kecil anggota dan berada di mulut singa; namun keimanan kepada
Allah Yang Utusan-Nya mereka percayai tetap teguh tak tergoyahkan. Hal
itu menyajikan sebuah pemandangan akan suatu kemuliaan luar-biasa yang
hanya bisa disejajarkan dengan pemandangan dalam rekaman sakral Nabi
Bani Israel ketika melakukan protes kepada Tuhan-Nya: ”Aku, walau hanya
aku yang tersisa. Tidak, pemandangan itu malahan jauh lebih mengagumkan
lagi....” Inilah yang membuatnya tetap dalam sikap tegas, kepercayaan
diri yang mengagumkan dan semangat tinggi sehingga menjadikan Muhammad
bertahan di haluannya.
Wa qul lil-lażīnā lā yu’minūna ’malū ‘alā makānatikum, innā ‘āmilūn, wantaẓirū, innā muntaẓirūn. ”Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman, “Beramallah menurut kemampuan-mu, sesungguhnya kami pun beramal. “Dan kamu tunggulah, kami pun sedang menunggu.” (Hūd: 122-123)
Dan ada lagi:
Qul kullum mutarabbiṣun fa tarabbaṣū, fa sata’lamūna man aṣhābuṣ-ṣirāṭiṣ-ṣawiyyi wa manihtadā. ’Katakan,
“Setiap orang sedang menunggu, maka tunggulah, dan segera kamu akan
mengetahui siapa yang ada di jalan yang lurus dan siapa yang mengikuti
petunjuk”.’ (Ṭā Hā: 136)
Perhatian
Muhammad kepada pengikutnya tidak lebih kurang dibandingkan kepada
penentangnya, senantiasa menjamin sebagai wakil Tuhan dan menjadi
lambang kehendak-Nya.”
Sekilas harapan terbit dari arah utara. Pada jarak kira-kira 250 mil dari Mekah terdapat sebuah kota yaitu Yaṭrib. Penduduknya terbagi menjadi dua bagian yaitu kaum Yahudi dan orang Arab Penyembah-berhala. Kaum Yahudi terbagi ke dalam tiga suku utama, yaitu Bani Qainuqa, Bani Nażir dan Bani Quraiża. Golongan Penyembah-berhala terbagi dalam dua bagian yaitu Aus dan Khazraj. Kedua jenis penduduk itu pada umumnya selalu bertikai antara satu dan lainnya.
Ketika itu mereka sedang mempersiapkan diri untuk melakukan perang yang amat mengerikan yang disebut perang Bu’aṭ. Di dalam perang tersebut, terdapat banyak orang-orang penting yang tewas. Karena kaum Yahudi lebih berpendidikan, beragama, lebih kaya dan lebih berpengaruh dibanding suku-suku Arab, maka mereka amat dipandang tinggi oleh suku-suku Arab. Jika membicarakan anak laki-laki, ia akan bersumpah bahwa anak sulung laki-laki akan ditawarkan kepada kaum Yahudi supaya dibesarkan oleh mereka dan memeluk agamanya. Suku Aus dan Khazraj yang tinggal di sekitar wilayah kaum Yahudi telah memperoleh cahaya dari Alkitab dan Kenabian. Mereka juga menjadi tahu dari Alkitab itu, bahwa kaum Yahudi sedang menunggu turunnya seorang nabi, yang akan memimpin dan menghancurkan penyembah-berhala dan akan menjadi penguasa besar.
Karena Nabi Muhammad s.a.w., telah mengunjungi setiap suku demi suku, maka beliau mengetahui bahwa orang terkenal Yaṭrib, bernama Suwaib bin Ṭamat, telah tiba di Mekah. Suwaib terkenal karena keberaniannya, turunan ningrat dan memiliki sifat-sifat baik lainnya, dikenal sebagai Kamil (sempurna), dan juga dikenal sebagai penyair. Kemudian beliau mengunjunginya dan mengundangnya untuk memeluk Islam. Ketika mendengar tilawah Alquran, Suwaib menyampaikan penghormatannya, dan walau pun ia tidak masuk Islam, namun ia menyatakan setuju kepada beliau dan tidak menolaknya. Setelah kembali ke Yaṭrib, ia langsung tewas dalam huru-hara setempat. Hal itu terjadi sebelum perang Bu’aṭ.
Setelah peristiwa tersebut namun masih sebelum perang Bu’aṭ berlangsung, dalam kesempatan ziarah haji ke Ka’bah, telah mengintai sekelompok orang dari suku Aus, dan telah tiba di Mekah dalam rangka mencari bantuan suku Quraisy untuk melawan suku Khazraj. Beliau mengundang mereka agar memeluk Islam, dan seorang muda bernama Ayas berteriak: “Demi Allah, kalimat undangan dari orang ini jauh lebih baik dari tujuan kita datang ke sini.”
Namun pemimpin kelompoknya memungut segenggam kerikil dan melempar Ayas sambil bergumam: “Tutup mulutmu. Kita datang ke sini bukan untuk itu.”
Setelah perang Bu’aṭ, dalam bulan Rajab pada tahun ke-11 Kenabian, beliau melihat sekelompok kecil orang Yaṭrib, yang dikenal sebagai suku Khazraj. Dengan sopannya beliau menyampaikan apakah mereka sudi mendengar tentang apa yang akan beliau sampaikan. Atas persetujuan mereka, beliau duduk di antara mereka, dan mengundang masuk Islam serta menilawahkan ayat-ayat Alquran. Ketika tilawah selesai, mereka saling melirik kemudian menyatakan kesiapan mereka menerima Islam, namun sayang bahwa kaum Yahudi mengancam akan menumpas mereka.
Mereka ada 6 orang, yaitu:
(1) Asad bin Zararah r.a. (Abu Amamah) dari Bani Najjar, yang paling bersemangat dalam menerima Islam.
(2) Auf bin Hariṭ r.a., juga dari Bani Najjar, dimana Hasyim ayah Abdul Muṭalib telah menikahi Salmah yang berasal dari kaum ini.
(3) Raf’i bin Malik r.a. dari Bani Zariq. Dan beliau menghadiahkan Alquran yang diturunkan sampai saat itu kepadanya.
(4) Qutbah bin Aamir r.a. dari Bani Salmah.
(5) Uqbah bin Aamir r.a. dari Bani Haram.
(6) Jabir bin Abdullah bin Rayan r.a. dari Bani Ubed.
Ketika akan berpisah dengan beliau,
mereka menyampaikan bahwa mereka amat diperlemah oleh konflik
antar-suku karena ada perbedaan yang besar antara mereka, namun mereka
akan menyampaikan kabar suka tentang Islam pada saudara-saudaranya, dan mengharap agar Allah SWT menyatukan mereka melalui beliau, sehingga dapat bergabung membantunya. Ketika mereka tiba di kampung-halamannya, Islam mulai dikumandangkan di Yaṭrib.
Ketika itu di Mekah, ummat Muslim dan Nabi Muhammad s.a.w. sedang mengalami suatu situasi sebagaimana dijelaskan oleh Sir William Muir di atas tadi. Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menemui ke-6 orang Muslimin pertama asal Yaṭrib, beliau menunggu petunjuk yang akan diperoleh tentang sejauh apa usaha mereka dalam menyebarkan Islam di kotanya. Beliau ragu apakah Yaṭrib akan menolaknya sebagaimana Mekah dan Taif, atau apakah Allah SWT dengan Berkat-Nya akan membuka jalan lebar bagi ummat Muslim melalui penyebaran Islam di Yaṭrib.
Ketika musim ziarah haji tiba, beliau dengan tergopoh-gopoh keluar dari rumahnya dan tiba di Aqabah, arah jalan ke Mina, kemudian ketika beliau memandang, tiba-tiba terlihatlah serombongan kecil orang Yaṭrib, yang di antara mereka terdapat 5 orang Muslimin
pertama yang juga segera mengenali beliau dan menyalaminya dengan
hangat serta penuh kasih sayang. Kelompok ini terdiri dari 12 orang
termasuk 5 orang Muslimin pertama.
Nabi Muhammad s.a.w. bergabung dalam barisan itu dimana mereka melaporkan bahwa Islam telah mulai berjalan di Yaṭrib dan ke-12 orang itu kemudian secara resmi mengambil Bai’at di tangan beliau. Bai’at pun dikukuhkan kembali dan mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
tidak menyekutukan sesuatu terhadap-Nya, dilarang mencuri, berzinah,
membunuh, dilarang memfitnah seseorang, dan selalu mentaati beliau dalam segala keadaannya. Beliau bersabda bahwa jika mereka mentaati Bai’at
dengan setulus hati maka mereka akan dianugerahkan sorga, namun jika
mereka menunjukkan kelemahan apa pun maka mereka akan dihisab oleh Allah. Bai’at itu dikenal dengan Bai’at Pertama di Aqabah.
Sebelum meninggalkan Mekah mereka memohon agar beliau mengirim seseorang kepada mereka dan membimbing mereka dalam ajaran Islam dan menyebar Islam di seluruh suku-suku yang ada. Beliau mengutus Mus’ab bin Umair r.a. dari Bani Abdud Dar, pemuda yang tulus hati. Setibanya di Yaṭrib, Mus’ab r.a. tinggal bersama Asad bin Zararah r.a. yang pertama kali menerima Islam di antara orang-orang Yaṭrib, dan merupakan orang yang amat tulus dan berpengaruh.
Karena ummat Muslim saat itu telah membentuk masyarakat kecil, maka beliau berdasarkan anjuran dari Asad bin Zararah r.a., memerintahkan Mus’ab r.a. untuk memulai Ṣalat Jumat. Jadi, ummat Muslim di Yaṭrib mulai membentuk kehidupan bermasyarakat atas izin Allah, dan Islam mulai disebarkan di antara suku Aus dan Khazraj dengan cepat.
Terkadang seluruh anggota suku menerima Islam di hari yang sama, sebagaimana terjadi pada kasus Bani Abdul Aṣhal, suku Aus. Kepala-sukunya bernama S’ad bin Mu’az, juga menjadi kepala seluruh suku Aus. Ketika Islam mulai tersebar di Yaṭrib, S’ad menyesalkannya dan menganggap bahwa ia bisa menghentikan hal itu.
S’ad bin Mu’az adalah kemenakan Asad bin Zararah r.a. yang telah menjadi Muslim, dan S’ad
enggan berbicara kepadanya secara langsung, karena peristiwa itu dapat
menimbulkan salah mengerti di antara mereka. Kemudian ia meminta
kerabatnya yang bernama Usyad bin Huḍair untuk mempengaruhi agar Mus’ab r.a. menghentikan tugas menyebar Islam dan menyampaikan kepada Asad r.a. bahwa kegiatannya tidak dikehendaki.
Usyad bin Huḍair juga seorang kepala-suku Bani Abdul Aṣhal yang berpengaruh dan atas anjuran S’ad ia memanggil Mus’ab bin Umair r.a. dan Asad bin Zararah r.a., kemudian dengan nada keras ia berbicara pada Mus’ab r.a. bahwa ia harus menghentikan kegiatannya yang tidak diinginkan itu, atau mengalami kesulitan.
Asad r.a. berbisik kepada Mus’ab r.a. agar bertindak lembut pada Usyad bin Huḍair karena ia adalah orang yang disegani di kalangan sukunya. Mus’ab r.a. berbicara sopan dan penuh kasih sayang kepada Usyad, serta memintanya untuk mendengarkan apa-apa yang diucapkannya, sebelum ia mengambil tindakan. Usyad menganggap permintaan itu wajar saja, dan ia pun duduk. Mus’ab r.a. menilawahkan beberapa ayat-ayat Alquran padanya dan menerangkan ajaran Islam dengan lembut kepadanya.
Usyad bin Huḍair terpengaruh secara mendalam dan segera memeluk Islam. Kemudian ia berkata bahwa ia disuruh oleh seseorang yang amat dihormati di kalangan sukunya, sehingga jika ia percaya kepada Islam maka seluruh suku akan mengikutinya. Ia berkata bahwa ia akan mengantarkan segera kepada mereka.
S’ad bin Mu’az tiba dengan nafsu amarah dan berkata kepada Asad r.a.: “Kamu telah memanfaatkan hubunganku denganmu, dan itu tidak benar.” Mus’ab r.a. segera menghampiri beliau dengan cara yang sama sebagaimana ia mendekati Usyad, dan S’ad setuju mendengarkannya.
Dalam waktu singkat, S’ad bin Mu’az r.a. juga jadi memeluk Islam. Kemudian S’ad r.a. dan Usyad r.a. pergi bersama-sama menuju suku mereka dan S’ad bin Mu’az r.a. berkata: ”Bani Abdul Aṣhal, apakah engkau masih menghormatiku?”
Mereka secara serentak menghamininya: “Engkau kepala-suku kami dan putra dari kepala-suku yang kami percaya penuh.”
Mendengar itu, S’ad bin Mu’az r.a. berkata pada mereka: ”Aku tidak ada hubungan dengan kalian kecuali kalian percaya kepada Allah dan Utusan-Nya.”
Kemudian ia menyampaikan ajaran Islam kepada mereka, sehingga sebelum matahari terbenam semua anggota suku telah memeluk Islam; S’ad r.a. dan Usyad r.a. menghancurkan berhala-berhala yang dimiliki oleh sukunya dengan tangan mereka sendiri.
Mereka berdua mencapai posisi istimewa di antara para Sahabat, dan S’ad bin Mu’az r.a. memperoleh posisi tinggi di antara golongan Anṣar sebagaimana Sayidina Abu Bakar r.a. memperolehnya dari para Muhajirin di Mekah. S’ad r.a. menjadi seorang Muslim yang amat tulus dan taat serta amat mencintai Nabi Muhammad s.a.w.
S’ad bin Mu’az r.a. adalah orang pandai dan mulai diperhitungkan di antara para Sahabat yang terdekat. Ketika S’ad r.a. wafat, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dengan seksama: ”Wafatnya S’ad bin Mu’az bahkan telah menyentuh mahkota Yang Rahman.”
Kemudian Islam menyebar dengan cepatnya di suku-suku Aus dan Khazraj sehingga pemimpin Yahudi dan Khazraj mulai menanggapi situasi yang mungkin berkembang.
Prospek Islam dan Muslim di Yaṭrib kelihatan sangat memberi harapan, namun di Mekah, beliau dan ummat Muslim mengalami bahaya dan gangguan yang luar-biasa. Sesudah mempelajari pertumbuhan Islam di Yaṭrib, suku Quraisy meningkatkan permusuhan terhadap Muslim dan membuat hidup mereka lebih sengsara.
Pada musim ziarah haji tahun ke-13 kenabian, beberapa ratus orang dari suku Aus dan Khazraj telah tiba di Mekah; dan di antaranya ada 70 orang yang telah memeluk Islam, atau telah siap untuk itu, dan mereka datang ke Mekah untuk mengunjungi Nabi Muhammad s.a.w. Mus’ab bin Umair r.a.
ada bersama mereka. Ibunya seorang penyembah berhala namun amat sayang
kepadanya. Ketika tahu anaknya telah tiba, ia mengirim kabar padanya
agar segera menemuinya, dan Mus’ab r.a. mengirim kabar balik bahwa ia akan segera menemui ibunya setelah mengunjungi Nabi Muhammad s.a.w. terlebih dahulu. Kemudian, ketika ia menghadap ibunya ia melihat bahwa ibunya sangat marah dan kecewa terhadapnya. Mus’ab r.a. berbicara dengan lembut padanya dan mengajak ibunya memeluk Islam. Tapi ibunya memberi reaksi kasar pada anjuran itu dan memberi tanda pada kerabat laki-lakinya untuk menahan Mus’ab r.a., namun ia berhasil meloloskan diri.
Beliau diberitahu Mus’ab r.a., lalu beberapa orang Muslim Yaṭrib mengunjungi secara diam-diam dan dilakukan bergiliran satu atau dua orang. Beliau mengirim kabar bahwa mereka semua harus menemuinya pada tengah malam beberapa hari kemudian, di tempat yang sama ketika beliau bertemu dengan sebahagian dari mereka di tahun lalu, sehingga beliau dapat berbicara dengan mereka secara pribadi. Beliau
mengarahkan agar mereka tidak berangkat sekaligus ke pertemuan tapi
hanya satu atau dua orang saja, dan harus lebih hati-hati agar maksud
mereka tidak diketahui musuh.
Nabi Muhammad s.a.w. berangkat dari rumah sebelum tengah malam dan di tengah jalan bertemu pamannya Abbas, kepala-suku Bani Hasyim dan masih menyembah berhala namun amat menyayanginya, dan terus diajak serta. Setibanya di tempat pertemuan, dan Muslim dari Yaṭrib juga sudah tiba seperti yang telah diperintahkan, maka Abbas membuka pembicaraannya: ”Wahai
orang Khazraj, Muhammad itu dihormati dan dicintai oleh Bani Hasyim
yang menjadi penjamin bagi keselamatannya dan telah menjaganya dari
segala mara-bahaya. Sekarang ia bermaksud untuk pindah dari Mekah dan
akan pergi bersama. Jika kalian ingin ia pergi bersamamu, maka kalian
harus menjaganya dari segala musuh-musuhnya. Jika kalian menerima
tanggungjawab ini, maka itu baik dan bagus, jika tidak bisa, kalian
harus berkata terus terang.”
Brā bin Ma’rūr yang telah tua dan berpengaruh di lingkungan Muslim Yaṭrib, menjawab pertanyaan Abbas: ”Wahai
Abbas kami telah mendengar, namun kami ingin agar Rasulullah s.a.w.
berbicara sendiri kepada kami, dan memberitahu apa tanggungjawab yang
beliau harapkan dari kami.”
Kemudian beliau sebagaimana biasanya, menilawahkan beberapa ayat-ayat Alquran dan menjelaskan dengan singkat tentang ajaran Islam dan kewajiban-kewajiban kepada Allah dan kepada sesama ummat manusia, yang diakhiri dengan kalimat: ”Bagiku
pribadi, semua yang dibutuhkan adalah, bahwa jika terjadi suatu maka
kalian akan bersikap dalam cara yang sama kepadaku, sebagaimana kalian
bersikap kepada kerabatmu sendiri.”
Ketika beliau selesai bersabda, Brā bin Ma’rūr memegang kedua tangannya sesuai dengan adat-istiadat Arab dan berkata: ”Wahai
Rasulullah, kami bersaksi terhadap Allah Yang telah mengirimmu dengan
kebenaran dan taqwa, bahwa kami akan menjaga dirimu sebagaimana kami
menjaga nyawa kami sendiri. Kami tumbuh dan dewasa dalam kilatan
pedang….”
Tiba-tiba pembicaraannya dipotong oleh Abul Haiṭam bin Tihan, yang berkata: ”Wahai
Rasulullah, kami berhubungan erat dengan kaum Yahudi Yaṭrib sejak lama
sekali. Jika kami memihak kepadamu, maka hubungan itu jelas akan pecah.
Kami sedikit khawatir jika Allah memberi kemenangan kepadamu maka engkau
akan meninggalkan kami dan kembali ke Mekah, serta kami akan kecewa.”
Nabi Muhammad s.a.w. tersenyum dan berkata: ”Tidak,
hal itu tidak akan terjadi. Darahmu akan menjadi darahku, teman-temanmu
adalah teman-temanku, dan musuh-musuhmu adalah musuhku.”
Kemudian, S’ad bin Ubadah r.a. berpaling pada para sahabatnya dan berkata: ”Apakah
kamu sadar pada apa-apa yang tercakup oleh perjanjian ini? Itu berarti
bahwa sekarang kalian harus siap untuk menerima segenap putih-hitamnya
dan siap berkorban untuk menjalankannya.”
Mereka menjawab: ”Ya kami mengerti akan hal itu. Namun, wahai Rasulullah, apa yang kami peroleh sebagai imbalannya?”
Beliau bersabda: ”Kalian akan diterima di kebun-kebun Allah yang menyenangkan, dan itu adalah anugerah yang paling tinggi.”
Mereka semuanya setuju: ”Kami puas dengan perundingan ini. Ya Rasulullah berikanlah tanganmu.”
Beliau mengulurkan tangannya dan seluruh kelompok 70 orang yang taat itu mengambil Bai’at di tangan beliau. Peristiwa ini dikenal sebagai Bai’at Kedua di Aqabah.
Pada akhirnya, beliau bersabda kepada mereka: ”Musa
telah memilih 12 pemimpin dari antara orang-orangnya yang akan memimpin
atas nama Musa. Dengan cara yang serupa aku bermaksud menunjuk 12
pemimpin di antara kalian yang akan memimpin. Mereka akan menjadi
seperti keturunan Isa Almasih bagiku, dan bertanggungjawab kepadaku atas
pengikutnya. Aku mengharapkan kalian mengusulkan nama-nama itu.”
Ketika pemilihan berlangsung, beliau menerangkan tugas-tugas mereka kepada masing-masing pemimpinnya. Mereka adalah:
1. Asad bin Zararah r.a. dari Bani Najjar, yang telah dijelaskan di atas. Ialah yang memulai Ṣalat Jumat di Yaṭrib. Assad memperoleh peringkat pertama sebagai Sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Assad r.a. wafat setelah beliau tiba di Yaṭrib dan sebelum perang Badar terjadi.
2. Usyad bin Huḍair r.a. dari Bani Abdul Aṣhal. Ini juga telah dijelaskan di atas. Beliau terhitung berada di antara para Sahabat yang utama. Ayahnya adalah panglima suku Aus di dalam perang Bu’aṭ. Orangnya sangat tulus dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Beliau wafat di zaman Khalīfah Sayidina Umar r.a.
3. Abul Haiṭam Malik bin Tihan, yang juga telah diterangkan di atas. Beliau wafat di perang Siffin, bertempur bahu membahu dengan Sayidina Ali r.a.
4. S’ad bin Ubadah r.a. dari Bani Sa’edah, cabang suku Khazraj. Beliau adalah kepala-suku Khazraj dan terhitung orang penting di Anṣar. Ketika beliau wafat, sebagian anggota Anṣar mengajukan namanya untuk dipilih dalam Khilāfat. Beliau wafat di zaman Sayidina Umar r.a.
5. Brā bin Ma’rūr r.a. dari Bani Salmah, cabang suku Khazraj. Ia juga telah diterangkan di atas. Telah berusia lanjut dan amat dihormati. Beliau wafat sebelum beliau tiba di Yaṭrib.
6. Abdullah bin Rawaha r.a. dari Bani Hariṭ, cabang suku Khazraj. Penyair terkenal dan orang beriman yang amat taat. Abdullah wafat dalam perang Mutah, ketika menjadi panglima pasukan Muslim.
7. Ubadah bin Ṭamat dari Bani Auf, cabang suku Khazraj. Terhitung dalam lingkungan para Sahabat yang cendekiawan. Beliau wafat di zaman Sayidina Usman r.a.
8. S’ad bin Rabi’ r.a. dari Bani Ṭa’labah, cabang suku Khazraj. Orangnya amat tulus dan merupakan Sahabat yang terhormat. S’ad r.a. syahid di perang Uhud.
9. Rafi’ bin Malik r.a. dari Bani Zariq, cabang suku Khazraj. Telah diterangkan di atas. Ketika Rafi’ mulai memeluk Islam, beliau telah memberikan salinan Alquran kepadanya yang telah diturunkan sampai saat itu. Rafi’ r.a. syahid di dalam perang Uhud.
10. Abdullah bin Amar dari Bani Salamah, cabang suku Khazraj. Beliau syahid di perang Uhud. Beliau menghibur putranya yaitu Jabir bin Abdullah, dan menyampaikan bahwa Allah telah berbicara kepada ayahnya dan berfirman kepadanya: “Wahai hamba-Ku, aku senang kepadamu. Mintalah pada-Ku yang kamu ingini dan mungkin akan dikabulkan.” Ia menyampaikan: ”Ya Allah, keinginan hamba hanyalah agar hamba dihidupkan kembali untuk mempertahankan Islam.” Kemudian Allah SWT menetapkan: ”Andai Aku tidak menentukan bahwa tak seorang pun yang mati dapat hidup kembali, maka Aku akan mengabulkan permintaanmu.”
11. S’ad bin Khaiṭamah r.a. dari Bani Hariṭa, cabang suku Aus. Ia syahid di perang Badar. Ketika ia mau berangkat, ayahnya mencoba membujuknya agar ia tinggal di rumah dan diganti olehnya. Karena ia memaksa maka mereka setuju untuk melempar undian. Namanya muncul dan ia berangkat menuju medan perang.
12. Munḍar bin Amar dari Bani Sa’idah, cabang suku Khazraj. Memiliki temperamen seorang Sufi. Munḍar syahid dalam musibah di B’ir Ma’ūna.
Para pimpinan telah ditunjuk, kemudian Abbas paman Nabi Muhammad s.a.w. menasihati Anṣar agar berhati-hati ketika mereka kembali ke kemahnya, dan waspada agar pihak Quraisy tidak mencurigai mereka telah bertemu dengan beliau, kalau tidak, pertemuan malam itu akan diketahui dan menimbulkan masalah.
Nabi Muhammad s.a.w. juga mengarahkan agar mereka kembali ke kemahnya masing-masing secara sendiri-sendiri atau berdua-dua. Kemudian Abbas bin Naḍalah Ansari menyampaikan: ”Wahai
Rasulullah, kami tidak takut kepada siapa pun. Jika diizinkan, besok
pagi kami akan menyerang suku Quraisy dan menghukumnya atas penyiksaan
pada ummat Muslim.”
Namun beliau melarang dan menyuruh kembali diam-diam ke kemah masing-masing, seperti ketika mereka datang. Kemudian mereka menghilang dan beliau kembali ke Mekah bersama-sama dengan pamannya Abbas.
Pihak suku Quraisy mendengar desas-desus bahwa ada pertemuan rahasia pada malam itu. Pagi-pagi sekali, sebuah delegasi Quraisy tiba di kemah orang Yaṭrib dan menanyakan kepada mereka: “Kami
memiliki hubungan baik dengan kalian selama masa yang panjang, dan kami
tidak ingin terjadi sesuatu yang mungkin akan menimbulkan salah-faham
di antara kita. Kami mendengar bahwa tadi malam kalian mengadakan
perjanjian rahasia dengan Muhammad dan kami harus mengetahui apakah
kabar itu benar.”
Karena dewan utama suku Aus dan Khazraj tidak faham pertemuan rahasia itu, maka mereka meyakinkan delegasi tersebut bahwa tidak ada rapat seperti itu. Abdullah bin Ubayy ada di antara mereka dan berkata: “Adalah tidak mungkin bahwa orang Yaṭrib melakukan sesuatu yang penting tanpa sepengetahuan saya.”
Delegasi tadi pulang dengan puas hati dan setelah itu orang-orang Yaṭrib mulai menyiapkan kepulangan mereka. Setelah mereka berangkat ternyata pihak Quraisy menerima informasi akurat tentang rapat rahasia itu dan mereka mengirim beberapa orang untuk memburu orang-orang Yaṭrib.
Mereka gagal menemukan dewan utama namun berhasil menangkap S’ad bin Ubadah r.a. yang tertinggal dan menyiksanya. Akhirnya, Jubair bin Mut’am dan Hariṭ bin Harab yang tahu tentang S’ad r.a., mendapat berita tentang hal yang terjadi, dan mereka tiba serta menyelamatkan S’ad r.a.
Ketika orang-orang Yaṭrib telah tiba di kampungnya, Nbi Muhammad s.a.w. langsung memerintahkan semua orang Muslim yang mampu dan berada di Mekah harus segera melaksanakan Hijrah ke Yaṭrib. Kemudian, dalam waktu yang amat singkat dan tanpa memperdulikan penentang Quraisy, kebanyakan orang-orang Muslim Mekah berhasil hijrah ke Yaṭrib dan banyak rumah di Mekah yang ditinggal kosong.
Akhirnya hanya tinggal Nabi Muhammad s.a.w., Sayidina Abu Bakar r.a., Sayidina Ali r.a.
dan anggota keluarganya, ditambah orang-orang lemah dan orang miskin
yang tidak mampu berangkat, atau mereka yang dicegah oleh pihak Quraisy untuk hijrah.
Sebagai Muhajirin yang tiba di Yaṭrib, mereka diterima oleh Bani Anṣar di rumahnya masing-masing sebagai tamu sampai beliau tiba, dimana secara perlahan-lahan mereka mampu menyediakan akomodasi bagi keperluan mereka sendiri. Para pengungsi dari Mekah telah dihibur dengan tulus dan diterima dengan hangat oleh Anṣar, dan ketika beliau sendiri tiba di Yaṭrib, para pengungsi itu menyampaikan penghargaan yang tinggi atas kebaikan Anṣar kepada mereka.
Perilaku Bani Anṣar itu diterangkan dengan amat tinggi dalam Alquran sbb:
Wal-lażīna
tabawwa’ud-dāra wal imāna min qablihim yuḥibbūna man hājara ilaihim wa
lā yajidūna fī ṣudūrihim ḥājatam mimmā ūtū wa yu’ṡirūna’alā anfusihim wa
lau kāna bihim khāṣaṣah, wa may yūqa syuḥḥa nafsihī fa ulā’ika
humul-mufliḥūn. ”Dan untuk mereka yang telah mendirikan rumah di Medinah dan sudah beriman (Anṣar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan
mereka tidak menaruh keinginan dalam dada mereka mengenai apa yang
diberikan kepada mereka itu, tetapi mereka mengutamakan (Muhajirin)
di atas diri mereka sendiri, walaupun kemiskinan menyertai mereka. Dan
barangsiapa dapat mengatasi kekiriran dirinya, maka mereka itulah yang
akan berhasil.” (al-Hasyr: 10)
Ketika bagian terbesar ummat Muslim telah meninggalkan Mekah, Quraisy mulai menyadari bahwa kemungkinan sedang terjadi pertumbuhan di Yaṭrib
yang akan menjadi sumber kegelisahannya. Mereka juga merasa frustrasi
karena orang-orang yang telah mereka siksa sedemikian lamanya telah
mampu keluar dari kendalinya. Mereka mulai memikirkan berbagai cara-cara
yang mungkin bisa mereka lakukan untuk melakukan balas dendam pada
tindakan ummat Muslim dari Yaṭrib. Mereka berpikir bahwa pada saat itu Nabi Muhammad hampir sendirian di Mekah, dan mereka harus melakukan berbagai cara untuk menghilangkannya sama sekali.
Untuk maksud tersebut para pemimpin mereka berkumpul bersama di Gedung Dewan di Mekah dan berunding bersama. Kira-kira 100 orang yang hadir pada peristiwa itu dan di sana hadir juga seorang Sheikh berumur lanjut dari Nejed. Sesudah diskusi awal, maka diperoleh beberapa rencana yang akan dilakukan. Telah diusulkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. harus dirantai dan disekap di ruang bawah-tanah serta dibiarkan kelaparan sampai mati. Sheikh dari Nejed itu menyatakan bahwa rencana itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, karena hal itu akan diketahui oleh Bani Abdul Manaf yang akan menyelamatkan beliau dan pasti membalas dendam.
Usulan lainnya adalah bahwa beliau harus dikucilkan, sehingga pihak Quraisy tidak perlu berbuat apa pun terhadapnya, dan Mekah akan menjadi aman dari kekacauan yang telah dilakukan olehnya. Lagi-lagi Sheikh dari Nejed itu menyatakan bahwa beliau pandai membujuk dan memiliki lidah yang fasih berbicara. Jika ia keluar dari Mekah, ia mampu membujuk berbagai suku atau lainnya untuk mendukungnya dan ia mampu melawan untuk membalas dendam pada pihak Quraisy.
Setelah diskusinya berlangsung dengan baik, Abu Jahal berbicara: ”Aku mengusulkan agar kita memilih satu pemuda dari setiap suku dan mempersenjatai mereka dengan pedang. Mereka harus secara khusus
memburu Muhammad dan menghilangkannya. Dengan cara ini, semua suku
Quraisy akan menjadi bertanggungjawab atas kematiannya. Bani Abdul Manaf
tidak akan berani menghadapi semua suku Quraisy dan hal itu dapat
diganti dengan memberikan uang-darah bagi Muhammad, yang jumlahnya harus
kita sediakan bersama.”
Usul ini disetujui. Rencana keji tersebut telah dijelaskan di dalam Alquran sebagai berikut:
Wa iż yamkuru bikal-lażīna kafarū li yuṡbitūka au yaqtulūka au yukhrijūk, wa yamkurūna wa yamkurullāh, wallāhu khairul-mākirīn. ”Dan ingatlah
ketika orang-orang ingkar merencanakan tipu-daya terhadapmu, supaya
mereka dapat menangkap kamu atau membunuhmu atau mengusirmu. Dan, mereka
membuat rencana dan Allah pun membuat rencana, dan Allah itu Perencana Yang sebaik-baiknya.” (al-Anfāl: 31).
Allah SWT mengungkap rencana mereka kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan memerintahkan beliau untuk segera hijrah ke Yaṭrib dan meninggalkan Mekah.
Nabi Muhammad s.a.w. telah diberitahu terlebih dahulu oleh Allah SWT bahwa pada suatu hari beliau akan hijrah dari Mekah,
dan juga dalam kasyafnya telah diperlihatkan tempat dimana beliau harus
berhijrah. Itu adalah sebuah tempat yang penuh dengan kebun buah-buahan
yang bertumbuh dengan sedemikian subur. Di belakang hari beliau menerangkan tentang kasyaf tersebut, dan bersabda bahwa di awalnya beliau telah membayangkan untuk pergi berhijrah ke Yamamah atau ke Hajar, namun ternyata tempat yang dimaksudkan itu adalah Yaṭrib.
ray-kn.blogspot.com/2011/07/bab-04-istiqamah-keteguhan-hati.html
ASBABUN NUZUL TURUNNYA
SURAH 43 - AZ ZUKHRUF AYAT 31, SURAH 74 AL MUDATSTSIR AYAT 18-23
Kisah Al Walid ibn Al Mughirah – Berandai-andai menjadi Nabi
Sejak Islam memancarkan cahayanya, masyarakat Mekkah terguncang. Beberapa
penduduk Mekkah yang memiliki pikiran dan kesadaran yang lurus segera merapat
masuk Islam, sebaliknya para pemuka Mekkah, merasa kewibawaan dan kemuliaannya
diruntuhkan dan kurban bagi berhala-berhala semakin berkurang. Sejak saat itu
pula Mekkah berubah menjadi medan perseteruan antara dua kekuatan yang berbeda,
yaitu Muhammad dengan pengikutnya dan Pemuka Quraisy.
Upaya menghalangi perkembangan ajaran Muhammad mulai dilakukan, mereka
meminta Abu Tholib ibn Abd. Muthalib, paman dan pelindung Muhammad untuk
menghentikan da’wah Muhammad, namun tidak dituruti Muhammad. Upaya menyiksa
pengikutnya dan menghina Muhammad tidak membuat mereka goyah dan kembali ke
agama nenek moyangnya. Upaya pendekatan kepada Muhammad dengan menawarkan
harta, kemuliaan, pangkat dan wanita, tidak membuat Muhammad tertarik.
Allah SWT menyatakan keadaan itu dalam surah 25 - Al Furqon ayat 31:
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari
golongan orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan
penolong”.
Salah seorang pentolan Quraisy yang sangat memusuhi Rasulullah adalah Al
Walid ibn Al Mughirah. Ia dikenal kaya raya dan kafilah dagang. Kendati
demikian, sebetulnya dalam diri Al Walid timbul kekaguman, ta’jub dan mengakui
keindahan Al Qur’an serta meyakininya bahwa ayat-ayat itu bukanlah syair, tapi
betul-betul Firman Allah. Namun ia sangat membenci Muhammad, karena menurut
pikirannya seharusnya dirinyalah yang pantas untuk mendapat wahyu dan risalah
Tuhan. Sebagai pemuka Mekkah yang kaya raya, terhormat, seharusnya ia yang
menjadi Nabi...!! Bukan Muhammad yang seorang yatim piatu...??
Allah SWT memberitahu RasulNya atas pikiran Al Walid ini dengan turunnya
ayat:
“Wa qaaluu lawlaa nuzzila haadzal qur’aanu ‘alaa rajulim minal qaryataini
‘adhiim”
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang
besar dari salah satu dua negeri (Mekkah dan Thaif) ini?” ~ QS 43 – Az Zukhruf : Ayat 31 ~
Kekaguman
dan pengakuan Al Walid pada ayat-ayat Al Qur’an ini sempat membuat para pemuka
kafir Quraisy berang, namun setelah dijelaskan alasannya mereka percaya
meskipun tetap mengawasi Al Walid.
Suatu
hari para pemuka Quraisy termasuk Al Walid berkumpul membicarakan strategi yang
tepat untuk menghina Muhammad. Mereka sadar Muhammad tidak pernah menyihir,
tidak pernah menjadi dukun, bukan seorang penyair dan bukan pula orang gila.
Yang
jelas dia orang jujur, bijaksana, amanah dan tidak ada keburukan sedikitpun
dalam dirinya. Akhirnya Al Walid memperoleh kata-kata yang dirasakan tepat
untuk menghina Muhammad, yaitu: ‘Muhammad adalah seorang yang memperdaya banyak
orang dan memecah belah keluarga’.
Atas
kelakuan mereka ini Allah memberitahu RasulNya melalui ayat-ayat:
“Innahuu
fakkara wa qaddar. Faqutila kaifa qaddar. Tsumma qutila kaifa qaddar. Tsumma
nadhar. Tsumma ‘abasa wa basar”
“Sesungguhnya
dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya), maka celakalah
dia! Bagaimana dia menetapkan?, kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia
menetapkan?, kemudian dia memikirkan, sesudah itu dia bermasam muka dan
merengut, kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri” ~ QS 74 – Al Muddaththir : Ayat 18-23 ~
Mereka mulai menyebar berita kepada setiap jemaah haji dari luar Mekkah
untuk berhati-hati dengan da’wah Muhammad, karena ia ingin memperdaya dan
memecah belah keluarga mereka.
Namun apa yang mereka lakukan itu tidak menggoyahkan keinginan para jamaah
yang ingin masuk Islam.
Strategi menyebar berita bohong ini menemui kegagalan. Akhirnya Al Walid
mengusulkan gagasan yang sangat gila kepada Abu Thalib, yaitu akan menukarkan
puteranya yang bernama Ammarah ibn Al Walid dengan Muhammad. Tentu saja Abu
Thalib yang masih berpikiran waras menolaknya: ‘Bagaimana mungkin aku
menyerahkan anakku untuk kalian bunuh, sementara aku ambil anak kalian untuk
aku asuh...??!!’
Semestinya kekaguman dan meyakini akan ayat-ayat Al Qur’an, membuat Al
Walid mengimani ajaran Muhammad. Namun syetan telah membuatnya lupa akan
kebenaran. Dirinya semakin geram dengan masuknya Hamzah ibn Abd. Muthalib dan
Umar ibn Khathab mengikuti ajaran Muhammad. Kebencian kepada Muhammad yang
tiada henti-hentinya ini menggerogoti hatinya hingga ajal menjemputnya sebelum
Rasulullah berhijrah ke Yatsrib.
Demikian kisah seorang manusia yang bercita-cita menjadi Nabi mati dalam
kekafiran.
http://risalahmutiaratauhid.blogspot.com/2015/06/asbabun-nuzul-ke-21.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar