KAUM SABA DAN BANJIR ‘ARIM
Prasasti yang ditulis menggunakan bahasa kaum Saba.
Saba yang dibangun di selatan jazirah Arab pada abad ke-11 sebelum masehi, adalah sebuah peradaban besar. Al Qur’an memaparkan kisah Ratu Saba dan Nabi Sulaiman secara amat rinci. Namun, terdapat kisah lain dalam Al Qur’an tentang kaum ini, yakni perihal kehancuran dahsyat mereka.
Naskah tertua yang menyatakan keberadaan Kaum Saba adalah catatan tahunan peperangan dari zaman raja Assyria, Sargon II. Menurut prasasti ini, Sargon menyebut Saba sebagai salah satu negeri yang membayar upeti padanya. Ini adalah catatan tertua yang secara pasti memberitakan adanya negeri Saba. Catatan kuno yang memberitakan kaum Saba menyatakan bahwa, sama halnya dengan bangsa Phunisia, mereka adalah negeri yang melakukan kegiatan perniagaan, dan sejumlah jalur perdagangan terpenting di utara Arab ada dalam kekuasaan mereka. Penduduk Saba terkenal dalam sejarah sebagai bangsa berperadaban. Prasasti dari para penguasa Saba seringkali berbicara tentang “perbaikan”, “pembiayaan”, “pembangunan”.
Bendungan Ma’rib, yang reruntuhannya masih tersisa hingga kini, adalah bukti penting kemajuan teknologi kaum Saba. Berkat bendungan ini, sebuah negeri hijau terhampar di tengah gurun pasir. Ibukotanya, Ma’rib, diuntungkan oleh bendungan ini, dan menjadi makmur karena berbagai keuntungan geografisnya. Kota ini terletak dekat sungai Adhanah. Kaum Saba memanfaatkan letak ini dengan mendirikan bendungan seiring dengan pembangunan peradaban mereka, dan mulai mengairi wilayah tersebut. Pertanian menjadi makmur dan mereka pun menikmati kesejahteraan hidup yang tinggi.
Ibukota Ma’rib adalah salah satu kota terindah di zamannya. Penulis Yunani, Pliny, yang berkunjung dan sangat memuji negeri ini, mengatakan dalam karyanya tentang hijaunya negeri tersebut. Bendungan di Ma’rib berketinggian 16 meter dengan lebar 60 meter, dan panjang 620 meter. Perhitungan menunjukkan; dua dataran luas di kedua sisi kota mampu diairi bendungan tersebut. Kedua dataran ini terkadang digambarkan dalam prasasti bangsa Saba sebagai “Ma’rib dan dataran kembar”.
Dengan bendungan Ma’rib yang mereka bangun dengan teknologi sangat maju, kaum Saba memiliki sistem pengairan yang hebat. Tanah yang subur dan penguasaan atas jalur-jalur perdagangan menjadikan mereka memiliki taraf hidup tinggi dan mewah. Akan tetapi mereka berpaling dari Allah, padahal kepada-Nyalah mereka seharusnya bersyukur atas segala kenikmatan tersebut. Karenanya, bendungan mereka jebol, dan banjir ‘Arim menghancurkan segala sesuatu yang mereka miliki.
Ungkapan “Dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri ” dalam Al Qur’an sangat mungkin merujuk pada perkebunan anggur dan kebun-kebun menawan di dua lembah ini. Berkat bendungan dan sarana pengairannya, daerah ini terkenal sebagai yang terbaik pengairan dan kesuburannya di Yaman.
Ketika kita mempelajari ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan temuan sejarah ini, kita dapati kesesuaian besar di antara keduanya. Penemuan arkeologis dan bukti sejarah benar-benar cocok dengan yang tertulis dalam Al Qur’an. Kaum tersebut mengabaikan peringatan nabi yang diutus kepada mereka, dan tidak mensyukuri nikmat Allah, akhirnya mereka dihukum dengan bencana mengerikan. Al Qur’an mengisahkan:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS. Saba, 34:15-17)
Kaum Saba hidup di daerah sangat indah dengan perkebunan anggur dan kebun-kebun subur. Negeri Saba terletak di jalur perniagaan sehingga sangat makmur, dan menjadikannya salah satu kota terkemuka di zamannya. Yang hanya perlu dilakukan kaum Saba dalam kelapangan ini adalah “memakan rezki yang dianugerahkan Tuhan mereka dan bersyukur kepada-Nya.” Tapi mereka tidak melakukannya, malahan, seperti yang dikatakan dalam sebuah ayat, “mereka berpaling dari Allah…”
Reruntuhan bendungan Ma’rib di atas merupakan salah satu karya terpenting kaum Saba (kiri). Bendungin ini jebol oleh banjir ‘Aarim sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, dan semua lahan pertanian diterjang banjir ini. Wilayah Saba hancur karena jebolnya bendungan Ma’rib. Negeri Saba kehilangan pilar-pilar perekonomiannya dalam waktu singkat dan kemudian runtuh sama sekali. Di masa kini, bendungan terkenal kaum Saba tersebut dipergunakan lagi sebagai sarana pengairan. (kanan)
Keangkuhan atas kemakmuran mereka mengakibatkan mereka merugi. Seluruh negeri diratakan oleh banjir dahsyat. Perkebunan anggur dan kebun-kebun kaum Saba tiba-tiba lenyap terbenam air. Azab yang menimpa kaum Saba dilukiskan dalam Al Qur’an dengan ungkapan, “Sailul ‘Arim,” atau Banjir ‘Arim. Istilah Al Qur’an ini juga mengisahkan pada kita bagaimana bencana ini terjadi. Kata “‘Arim” berarti “bendungan” atau “tanggul”. “Sailul ‘Arim” menjelaskan bagaimana banjir berlangsung setelah jebolnya bendungan.
Arkeolog Kristen, Werner Keller sepakat bahwa Banjir ‘Arim sesuai dengan gambaran Al Qur’an, ia menulis:
Selama 1500 tahun perkebunan rempah-rempah ini tumbuh subur di sekitar Ma’rib. Ini berlangsung sampai tahun 542 sebelum masehi—yakni saat bendungan itu jebol. Gurun pasir tandus perlahan menutupi negeri subur ini dan mengancurkan segalanya. Al Qur’an mengisahkan “Kaum Saba memiliki kebun-kebun indah dengan buah-buahan termahal yang ranum.” Namun kaum tersebut berpaling dari Tuhan, sehingga Dia menghukum mereka dengan jebolnya bendungan. Setelah itu tak ada yang tumbuh di kebun-kebun negeri Saba, kecuali pohon berbuah pahit. (Werner Keller, The Bible as History, William Morrow and Company, Inc., New York, 1981, hlm. 216)
Al Qur’an memberitakan kepada kita bahwa Ratu Saba dan kaumnya menyembah matahari sebelum mereka tunduk dan mengikuti Nabi Sulaiman. Berita yang tertera pada prasasti menegaskan kebenaran ini. Dalam prasasti disebutkan bahwa mereka menyembah matahari dan bulan di tempat-tempat peribadatan mereka.
Bendungan, yang dapat dianggap sebagai sumber utama kemakmuran dan kesejahteraan Kaum Saba, juga menjadi jalan kehancuran kaum yang tak bersyukur itu. Setelah bencana Banjir ‘Arim, daerah ini berubah menjadi gurun pasir, dan bersamaan dengan lenyapnya lahan pertanian, kaum Saba kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Kaum Saba mendustakan seruan agar beriman dan bersyukur kepada Tuhan, dan mereka pun diazab. Setelah kerusakan parah akibat banjir, kaum Saba mulai bercerai-berai. Mereka tinggalkan rumah-rumah mereka dan mengungsi ke wilayah utara Arabia, Mekkah dan Syria. Ma’rib, yang dahulunya didiami Kaum Saba, kini hanyalah reruntuhan tak berpenghuni, dan sungguh menjadi peringatan bagi siapa pun yang melakukan kesalahan serupa Kaum Saba.
(sumber Harun Yahya-Insight Magazine.com/indo)
www.fadhilza.com/2009/02/tadabbur/kaum-saba-dan-banjir-‘arim.html
Sailul Arim, Luapan Banjir Bandang
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (15) فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16) ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ (17) [سبأ/15-17[
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”. tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS. Saba’ 15-17)
Siapakah Saba’ itu?
Diriwayatkan dari Abu Kurab, ia bercerita dari Waki’ dari Abu Hayyan al Kalabi dari Yahya bin Nahi’ dari Urwah al Murodi dari seorang laki-laki yang disebut dengan Farwah bin Musaik dia berkata : Ya Rasulullah, berceritalah kepada kami tentang Saba’? Apakah ia adalah laki-laki atau perempuan, nama gunung atau hewan? Rasulullah Saw berkata : Tidak demikian, Saba’ ada seorang laki-laki dari Bangsa Arab kuno yang memiliki sepuluh orang anak. Enam darinya menetap di Yaman dan yang empat menetapat di Syam. Adapun yang bertempat di Yaman adalah Kindah, Himyar, Azed, Asy’ariyun, Madhij dan Anmar. Adapun yang berempat di Syam adalah Amilah, Lakhm, Judzam, dan Ghossan. Riwayat yang sama juga diceritakan oleh Imam Ahmad, Al Hafidz Ibnu Abdil Bar dalam kitab Al Qosdhu wal Umam bi Ma’rifati Ushuli Ansabil Arabi wal Ajam, Abu Dawud, At Thobroni juga At Tirmidzi dalam Jamius Shoheh, beliau berkata Hadis ini Hasan Ghorib.
Ulama Ahli Nasab, diantaranya Muhammad bin Ishaq berkata : Nama asli Saba’ adalah Abdu Syams bin Yasjub bin Ya’rub bin Qohthon. Dikenal dengan nama Saba’ karena ia adalah orang yang pertama kali membuat arak di tanah Arab. Ia juga dikenal dengan nama ar Roisy, karena dia adalah orang yang pertama kali mengambil jarahan perang kemudian memberikannya kepada kaumnya. Para ahli nasab juga menuturkan bahwa Saba’ ini telah memberikan kabar tentang hadirnya Nabi Muhammad Saw di akhir masa dalam sebuah Syair : Setelah Qohthon seorang Nabi yang bertaqwa, rendah hati dan sebaik-baiknya manusia akan berkuasa, ia diberi nama Ahmad, andaikan saja aku masih diberi usia panjang setelah diutusnya nabi tersebut setahun saja, maka aku akan membantunya dan memberinya kecintaan atas pertolonganku dengan berbagai senjata, kapanpun ida hadir maka jadilah kalian orang yang membantunya, dan bagi orang yang bertemu dengannya sampaikan salamku padanya. Syair ini disebutkan oleh Al Hamdani dalam kitab Al Iklil (Tafsir At Thobari 20/375, Ibnu Katsir 6/505, Atlas Hadits An Nabawi 211)
Dibangunnya Bendungan Ma’rib
Saba’ sendiri kemudian dikenal sebagai nama negeri yang memiliki peradaban gemilang di Yaman (950-115 SM) yang mewarisi negeri Mu’in dan beribukotakan Ma’rib. nama Ma’rib sendiri memiliki arti Air yang melimpah ruah. Bukan hanya itu Negeri Saba’ juga merupakan negeri yang sangat makmur dengan hasil pertanian melimpah ruah, bahkan diriwayatkan di Negeri Saba’ tidak ditemukan lalat, nyamuk dan serangga-serangga sejenisnya, karena memang sejuknya udara yang tidak memungkinkan untuk hewan tersebut hidup, juga adalah memang anugrah Allah kepada Kaum Negeri Saba’ untuk terus meng-Esa-kan Allah.
Di Negeri Saba’ sendiri terdapat sebuah bendungan yang sangat terkenal. Bendungan ini dibangun pada masa Ratu Balqis, sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad bin Ibrahim ad Dauroqi, ia bercerita dari Wahb bin Harir dari Ayahnya, ayahnya berkata Aku mendengan Al Mughiroh bin Hakim berkata : Ketika Ratu Balqis menjadi penguasa Saba’ para kaumnya saling berebut air yang ada dilembah. Ratu Balqis kemudian mengeluarkan larangan saling berebut, namun oleh kaumnya tidak diindahkan. Ratu Balqis pun marah dan pergi meninggalkan negeri dan kaumnya menuju istananya sendiri. Ketika kejelekan semakin merajalela diantara penduduk negeri, merekapun menyesal dan akhirnya mencari Ratu Balqis serta memintanya untuk kembali memimpin kerajaaan. Awal mula Ratu Balqis menolak, namun ia dihadapkan dua pilihan antara mau kembali memimpin atau dibunuh. Akhirnya Ratu Balqis mengambil pilihan mau kembali memimpin negeri dengan syarat para penduduk mau tunduk dan patuh terhadap perintahnya. Akhirnya ketika Ratu Balqis kembali memimpin dibangunlan bendungan besar yang memiliki pintu kanal untuk mengatur aliran air di Ma’rib yang berjarak 3 marhalah dari Shon’a. Kehidupan pun kembali teratur dan penuh berkah (Tafsir At Thobari 20/379, Ibnu Katsir 6/504)
Jebolnya Bendungan Ma’rib
Namun seiring lamanya perjalanan hidup, penduduk Negeri Saba’ pun berpaling. Asal mula merela meng-Esa-kan Allah dan bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah. Mereka kemudian berpaling menyembah Matahari. Allah pun mengirim beberapa nabi kepada mereka untuk mengingatkan dan mengajak kembali meng-Esa-kan Allah. Muhammad bin Ishaq dari Wahb bin Munabbih meriwatkan Allah mengirim tiga belas orang nabi. Imam As Sudi meriwayatkan Allah mengirimkan 12.000 nabi. Mereka pun mendustakan para nabi utusan Allah. Ketika Allah akan menurunkan siksa berupa banjir bandang kepada mereka, Allah mengirimkan hewan yang disebut al Jurodz yang menjadi sebab jebolnya bendungan Ma’rib, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Wahb bin Munabbih. Akhirnya bendungan pun jebol dan terjadilah banjir bendang besar yang menghancurkan Negeri Saba’. Inilah yang disebut dengan Sailul Arim dalam ayat sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid. Ada juga yang mengatakan Arim adalah nama lembah tempat dibangunnya bendungan. Peristiwa ini terjadi kira-kira empat ratus tahun sebelum munculnya Islam. Setelah peristiwa ini kemakmuran pun berubah dari yang melimpah ruah, buah-buahan yang ramun berubah diganti Allah dengan pohon Arok, Turfa’ dan pohon Sidr (sejenis bidara) yang memiliki banyak duri dan buah sedikit. Siksa seperti ini adalah akibat kekufuran mereka sendiri, tidak mematuhi aturan dan ajaran-ajaran Allah yang disampaikan lewat para nabi-Nya. (Tafsir Ibni Katsir 6/507, At Thobari 20/378, Atlas Alquran 147)
majalahlangitan.com › Kajian › Qur'an
Pra
Kaum Saba Dan Banjir ‘Arim
sasti yang ditulis menggunakan bahasa kaum Saba.
Saba yang dibangun di selatan jazirah Arab pada abad ke-11 sebelum masehi, adalah sebuah peradaban besar. Al Qur’an memaparkan kisah Ratu Saba dan Nabi Sulaiman secara amat rinci. Namun, terdapat kisah lain dalam Al Qur’an tentang kaum ini, yakni perihal kehancuran dahsyat mereka.
Naskah tertua yang menyatakan keberadaan Kaum Saba adalah catatan tahunan peperangan dari zaman raja Assyria, Sargon II. Menurut prasasti ini, Sargon menyebut Saba sebagai salah satu negeri yang membayar upeti padanya. Ini adalah catatan tertua yang secara pasti memberitakan adanya negeri Saba. Catatan kuno yang memberitakan kaum Saba menyatakan bahwa, sama halnya dengan bangsa Phunisia, mereka adalah negeri yang melakukan kegiatan perniagaan, dan sejumlah jalur perdagangan terpenting di utara Arab ada dalam kekuasaan mereka. Penduduk Saba terkenal dalam sejarah sebagai bangsa berperadaban. Prasasti dari para penguasa Saba seringkali berbicara tentang “perbaikan”, “pembiayaan”, “pembangunan”.
Bendungan Ma’rib, yang reruntuhannya masih tersisa hingga kini, adalah bukti penting kemajuan teknologi kaum Saba. Berkat bendungan ini, sebuah negeri hijau terhampar di tengah gurun pasir. Ibukotanya, Ma’rib, diuntungkan oleh bendungan ini, dan menjadi makmur karena berbagai keuntungan geografisnya. Kota ini terletak dekat sungai Adhanah. Kaum Saba memanfaatkan letak ini dengan mendirikan bendungan seiring dengan pembangunan peradaban mereka, dan mulai mengairi wilayah tersebut. Pertanian menjadi makmur dan mereka pun menikmati kesejahteraan hidup yang tinggi.
Ibukota Ma’rib adalah salah satu kota terindah di zamannya. Penulis Yunani, Pliny, yang berkunjung dan sangat memuji negeri ini, mengatakan dalam karyanya tentang hijaunya negeri tersebut. Bendungan di Ma’rib berketinggian 16 meter dengan lebar 60 meter, dan panjang 620 meter. Perhitungan menunjukkan; dua dataran luas di kedua sisi kota mampu diairi bendungan tersebut. Kedua dataran ini terkadang digambarkan dalam prasasti bangsa Saba sebagai “Ma’rib dan dataran kembar”.
Ungkapan “Dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri ” dalam Al Qur’an sangat mungkin merujuk pada perkebunan anggur dan kebun-kebun menawan di dua lembah ini. Berkat bendungan dan sarana pengairannya, daerah ini terkenal sebagai yang terbaik pengairan dan kesuburannya di Yaman.
Ketika kita mempelajari ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan temuan sejarah ini, kita dapati kesesuaian besar di antara keduanya. Penemuan arkeologis dan bukti sejarah benar-benar cocok dengan yang tertulis dalam Al Qur’an. Kaum tersebut mengabaikan peringatan nabi yang diutus kepada mereka, dan tidak mensyukuri nikmat Allah, akhirnya mereka dihukum dengan bencana mengerikan. Al Qur’an mengisahkan:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS. Saba, 34:15-17)
Kaum Saba hidup di daerah sangat indah dengan perkebunan anggur dan kebun-kebun subur. Negeri Saba terletak di jalur perniagaan sehingga sangat makmur, dan menjadikannya salah satu kota terkemuka di zamannya. Yang hanya perlu dilakukan kaum Saba dalam kelapangan ini adalah “memakan rezki yang dianugerahkan Tuhan mereka dan bersyukur kepada-Nya.” Tapi mereka tidak melakukannya, malahan, seperti yang dikatakan dalam sebuah ayat, “mereka berpaling dari Allah…”
Reruntuhan bendungan Ma’rib di atas merupakan salah satu karya terpenting kaum Saba (kiri). Bendungin ini jebol oleh banjir ‘Aarim sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, dan semua lahan pertanian diterjang banjir ini. Wilayah Saba hancur karena jebolnya bendungan Ma’rib. Negeri Saba kehilangan pilar-pilar perekonomiannya dalam waktu singkat dan kemudian runtuh sama sekali. Di masa kini, bendungan terkenal kaum Saba tersebut dipergunakan lagi sebagai sarana pengairan. (kanan)
|
Keangkuhan atas kemakmuran mereka mengakibatkan mereka merugi. Seluruh negeri diratakan oleh banjir dahsyat. Perkebunan anggur dan kebun-kebun kaum Saba tiba-tiba lenyap terbenam air. Azab yang menimpa kaum Saba dilukiskan dalam Al Qur’an dengan ungkapan, “Sailul ‘Arim,” atau Banjir ‘Arim. Istilah Al Qur’an ini juga mengisahkan pada kita bagaimana bencana ini terjadi. Kata “‘Arim” berarti “bendungan” atau “tanggul”. “Sailul ‘Arim” menjelaskan bagaimana banjir berlangsung setelah jebolnya bendungan.
Arkeolog Kristen, Werner Keller sepakat bahwa Banjir ‘Arim sesuai dengan gambaran Al Qur’an, ia menulis:
Selama 1500 tahun perkebunan rempah-rempah ini tumbuh subur di sekitar Ma’rib. Ini berlangsung sampai tahun 542 sebelum masehi—yakni saat bendungan itu jebol. Gurun pasir tandus perlahan menutupi negeri subur ini dan mengancurkan segalanya. Al Qur’an mengisahkan “Kaum Saba memiliki kebun-kebun indah dengan buah-buahan termahal yang ranum.” Namun kaum tersebut berpaling dari Tuhan, sehingga Dia menghukum mereka dengan jebolnya bendungan. Setelah itu tak ada yang tumbuh di kebun-kebun negeri Saba, kecuali pohon berbuah pahit. (Werner Keller, The Bible as History, William Morrow and Company, Inc., New York, 1981, hlm. 216)
Al Qur’an memberitakan kepada kita bahwa Ratu Saba dan kaumnya menyembah matahari sebelum mereka tunduk dan mengikuti Nabi Sulaiman. Berita yang tertera pada prasasti menegaskan kebenaran ini. Dalam prasasti disebutkan bahwa mereka menyembah matahari dan bulan di tempat-tempat peribadatan mereka.
|
Bendungan, yang dapat dianggap sebagai sumber utama kemakmuran dan kesejahteraan Kaum Saba, juga menjadi jalan kehancuran kaum yang tak bersyukur itu. Setelah bencana Banjir ‘Arim, daerah ini berubah menjadi gurun pasir, dan bersamaan dengan lenyapnya lahan pertanian, kaum Saba kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Kaum Saba mendustakan seruan agar beriman dan bersyukur kepada Tuhan, dan mereka pun diazab. Setelah kerusakan parah akibat banjir, kaum Saba mulai bercerai-berai. Mereka tinggalkan rumah-rumah mereka dan mengungsi ke wilayah utara Arabia, Mekkah dan Syria. Ma’rib, yang dahulunya didiami Kaum Saba, kini hanyalah reruntuhan tak berpenghuni, dan sungguh menjadi peringatan bagi siapa pun yang melakukan kesalahan serupa Kaum Saba.
(sumber Harun Yahya-Insight Magazine.com/indo)
wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/07/kaum-saba-dan-banjir-arim.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar