Sabtu, 18 April 2015

Sejarah Kaligrafi


Sejarah Kaligrafi

Secara bahasa "kaligrafi" merupakan penyederhanaan dari calligraphy (kosakata dari bahasa Inggris).

Kata ini diadopsi dari bahasa Yunani yang diambil dari kata kallos yang berarti beauty(indah) dan graphein yang artinya to write (menulis) berarti tulisan atau aksara, yang berarti "tulisan yang indah atau seni tulisan indah. Dalam bahasa Arab kaligrafi disebut khat yang berarti garis.

Secara istilah dapat diungkapkan, "calligraphy is hanwriting as an art, to some calligraphy will mean formal penmanship, distinguish from writing only by its exellents guality" (kaligrafi adalah tulisan tangan sebagai karya seni, dalam beberapa hal yang dimaksud kaligrafi adalah tulisan formal yang indah, perbedaannya dengan tulisan biasa adalah kualitas keindahannya). Ada juga ungkapan lain, seperti Hakim al-Rum mengatakan : Kaligrafi adalah geometri spiritual dan diekspresikan dengan perangkat fisik. Sementara Hakim al-Arab menuturkan kaligrafi adalah pokok dalam jiwa dan diekspresikan dengan indra indrawi. Batasan-batasan tersebut seiring pula dengan yang diungkapkan oleh Yaqut al-Musta'shimi bahwa kaligrafi adalah geometri rohaniah yang dilahirkan dengan alat-alat jasmaniah. Sementara Ubaidillah bin Abbas mengistilahkan kaligrafi dengan lisan al-yadd atau lidahnya tangan serta masih banyak lagi terminologi kaligrafi yang senada dengan yang telah disebutkan. Namun terminologi kaligrafi yang lebih lengkap diungkapkan oleh Syaikh Syamsuddin al-Akfani sebagai berikut:kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun atau apa yang ditulis diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.

I. Sejarah Perkembangan Kaligrafi di Dunia Islam

Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca:khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria denganFonogram/Tulisan Paku dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komunikasi dari mulut ke mulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anati huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemanjangan al-Mu'alaqot (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka'bah).

Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati, yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar, tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arah.


  A. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)

Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar),mutsallats (segitiga) dan Ti'im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya muqawwarberciri lembut, lentur dan gaya mabsut berciri kaku dan terdiri dari goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya ini pun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi yang diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq danNaskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi  pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba' (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam),Mutarabith Mu'aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi , baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunaannya. Dalam hal ini penyalinan al-Qur'an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.


Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang paling termashyur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf danTsuluts. Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.


Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena khalifah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar peninggalan-peninggalan demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu'awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.


   B. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)

Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn 'Ajlan yang hidup pada masaKhalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M) dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775) dan al-Mahdi (775-786). Ishaq memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.

Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu: titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa' dan Tauqi' yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.

Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranyaMuhammad ibn as-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur'an dan fragmen duniawi saja.

Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta'simi yang memperkenalkan metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur tersebut. Yaqut adalah kaligrafer besar dimasa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.

Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Ummayah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Ummayah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengarih kebudayaan Hellenisme dan Sasania.


   C. Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut

Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang disebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya keligrafi yang berkembang dominan adalahKufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.

Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol sibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytujuga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur'an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Qur'an dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.

Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai abad ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian istimewa. Ia mempunya perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur-an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra'Iyang menyalin al-Qur'an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan  menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.

Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun 1736. Pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut Ta'liq yang sekarang dikenal Khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan Ta'liq adalah Nasta'liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta'liq akhirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.

Di kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. GayaBehari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikal yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gayaShini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.

Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintaholeh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman saja, tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman. Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani dan Diwani JaliSyikastah(bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta'liq dan Nasta'liq awal. Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta'liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya.



II. Sejarah Perkembangan Kaligrafi di Indonesia

Di Indonesia, kaligrafi merupakan bentuk seni budaya Islam yang pertama kali ditemukan, bahkan ia menandai masuknya Islam di Indonesia. Ungkapan rasa ini bukan tanpa alasan karena berdasarkan hasil penelitian tentang data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan olehProf. Dr. Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya kufi telah berkembang pada abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/ 1082 M) dan beberapa makam lainnya dari abad-abad ke-15. Bahkan diakui pula sejak kedatangannya ke Asia Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai untuk penulisan batu nisan [ada makam-makam, huruf arab tersebut (baca: kaligrafi) memang juga banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan pribadi, undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam mata uang logam, stempel, kepala surat dan sebagainya. Huruf Arab yang dipakai dalam bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab Melayu, Arab Jawa atau Arab Pegon.

Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi kegiatan kreasi seniman Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti kayu, kertas, logam, kaca dan media lainnya. Termasuk juga untuk penulisan mushaf-mushaf al-Qur'an tua dengan bahan kertas deluang dan kertas murni yang diimpor. Kebiasaan menulis al-Qur'an telah banyak dirintis oleh para ulama besar di pesantren-pesantren smenjak abad ke-16, meskipun tidak semua ulama dan santri yang piawai menulis kaligrafi dengan indah dan benar. Amat sulit mencari seorang khattatyang ditokohkan di penghujung abad ke-19 atau awal abad ke-20, karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi. Buku pelajaran tentang kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar 1961 karanganMuhammad Abdur Muhili berjudul "Tulisan Indah" serta karangan Drs. Abdul Karim Husein berjudul "Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab" tahun 1971.

Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan sosoknya lebih nyata dalam kitab-kitab atau buku-buku agama hasil goresan tangan mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H. Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim bakary, H.M. Salim Fachry dan K.H. Rofi'i Karim. Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling muda dapat disebutkan antara lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K. Mahfudz dari Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq danMuhammad Wasi' Abdur Razaq, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis buku-buku kaligrafi dan mengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.

Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art.Dalam konteks ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para seniman lukis yang ragu untuk menggambar mahluk hidup. Dalam aspek kesenirupaan, kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta lengkungan ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi secara terus-menerus.

Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa Islam se-Dunia tahun 1980 di Balai Sidang Jakarta dan pameran MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran Kaligrafi islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Yahun Baru Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.

Para pelukis yang mempelopori kaligrafi lukis adalah Prof. Ahmad Sadali (Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung asal Aceh), Drs. H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal Palembang) dan H. Amang Rahman (Surabaya) dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkan dari kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan. Kehadiran seni lujkis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan reaksi itu seringkali keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapin hasil dari reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam media dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak. Kekurangan mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah karya mereka adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau hanya dimiliki para pelukis.

Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia adalah dimasukkan seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even MTQ. Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983. Sayembara tersebut pada akhirnya dipandang kurang memuaskan karena sistemnya adalah mengirimkan hasil karya khat langsung kepada panitia MTQ, sedangkan penulisannya di tempat masing-masing peserta. MTQ Nasional XIV di Pontianak meniadakan sayembara dan MTQ tahun selanjutnya kaligrafi dilombakan di MTQ.
kaligraficenter.jimdo.com/sejarah-kaligrafi/


SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB


Secara bahasa perkataan kaligrafi merupakan penyederhanaan dari “calligraphy (kosa kata bahasa Inggris). Kata ini diadopsi dari bahasa Yunani, yang diambil dari kata kallos berarti beauty (indah) dan graphein : to write (menulis) berarti tulisan atau aksara, yang berarti: tulisan yang indah atau seni tulisan indah. Dalam bahasa Arab kaligrafi disebut khat yang berarti garis.
Secara istilah dapat diungkapkan, “calligraphy is handwriting as an art, to some calligraphy will mean formal penmanship, distinguish from writing only by its exellents quality (kaligrafi adalah tulisan tangan sebagai karya seni, dalam beberapa hal yang dimaksud kaligrafi adalah tulisan formal yang indah, perbedaannya dengan tulisan biasa adalah kualitas keindahannya).
Kaligrafi Menurut Para Ahli :
·   Hakim al-Rum mengatakan : Kaligrafi adalah geometri spiritual dan diekspresikan dengan perangkat fisik.
·   Hakim al-Arab menuturkan kaligrafi adalah pokok dalam jiwa dan diekspresikan dengan indra indrawi.
·   Yaqut al-Musta’shimi bahwa kaligrafi adalah geometri rohaniah yang dilahirkan dengan alat-alat jasmaniah.
·   Ubaidillah ibn Abbas mengistilahkan kaligrafi dengan lisan al-yadd atau lidahnya tangan.
·   Syaikh Syamsuddin al-Akfani sebagai berikut: kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun atau apa yang ditulis diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.
·   Manja Mohd Ludin dan Ahmad Suhaimi J. Mohd Nor mengungkapkan pengertian kaligrafi itu suatu coretan atau tulisan yang membawa maksud tulisan yang indah, dalam arti kata tulisan tersebut mempunyai kehalusan dan kesenian.
·   Syeikh Syam al-Din al-Afghani menyatakan:Kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun di atas garis dan bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana menggubahnya.
·   Muhammad Thahir ibn ‘Abd al-Qadir al-Kurdi dalam karyanya Tarikh al-Khat al-‘Arabi wa Adabihi, pernah mengumpulkan sekitar tujuh macam pengertian kaligrafi atau khath, dan kemudian menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kaligrafi adalah suatu kepandaian untuk mengatur gerakan ujung jari dengan memanfaatkan pena dalam tata cara tertentu. Adapun yang dimaksud dengan pena di sini adalah pusat gerakan-gerakan ujung jari, sementara tata cara tertentu menunjukkan pada semua jenis kaidah penulisan.

Menurut Perkataan Sahabat Rosulullah SAW yaitu Ali Bin Abi Thalib Karromallohu Wajhah berkata :
·   Sepantasnya kalian menulis dngan baik, karena tulisan yang baik adalah pintu rizki
·   Khot atau tulisan indah itu selalu akan terkenang walaupun setelah ditinggalkan oleh penulisnya bahkan sampai meninggal dunia.
·   Khot atau tulisan indah itu adalah perhiasn yang tidak ternilai harganya
·   Tulisan indah itu selalu tersembunyi dalam pengajaran sang guru, tegak dan terus menerus pengajarannya dalam menulis.
·   Khot atau tulisan indah itu merupakan kepandaian hati yang ditampakkan oleh alat-alat jasmaniah, jika kalian memperbaiki penamu berarti engkau memperbaiki tulisannmu. Dan jika kalian mengabaikan penamu berarti kalian mengabaikan tulisanmu.
·   Khot atau tulisan indah merupakan ucapan  atau bahasa tangan dan kebanggaan yang tidak nampak dan dapat menajamkan akal pikiran, dan menjadi inspirasi pikirang dan juga senjata ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk memindahkan informasi, dan sebagai pemelihara peninggalan-peninggalan sejarah .
·   Memang sesungguhnya gambarannya tulisan indah itu tidak nampak akan tetapi artinya sangat jelas, barangkali tulisan itu tidak tampak oleh pandangan atau mata akan tetapi dia memenuhi khazanah keilmuan.
Kaligrafi melahirkan suatu ilmu tersendiri tentang tata cara menulis, meneliti tentang tanda-tanda bahasa yang bisa dikomunikasikan, yang dibuat secara propesional dan harmonis yang dapat dilihat secara kasat mata dan diakui sebagaimana susunan yang dihasilkan lewat kerja kesenian. Di samping itu ada juga yang mengungkapkan bahwa kaligrafi itu sebagai suatu kepandaian untuk mengatur gerakan ujung jari dengan memanfaatkan pena atau kalam dengan metode atau tata cara tertentu.
Meskipun bermacam-macam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun pada dasarnya tujuan ungkapan tersebut mengarah kepada arti tulisan yang indah. Dapat juga dikatakan suatu tulisan yang dirangkai dengan nilai estetika yang bersumber pada pikiran atau ide dan diwujudkan melalui benda materi (alat tulis) yang diikat oleh aturan dan tata cara tertentu. Jadi seni kaligrafi itu sebuah kepandaian menulis tulisan indah dengan mengikuti metode-metode tertentu untuk mempelajarinya.
Pemakaian istilah kaligrafi ini sering juga disebut orang kepada dua istilah. Ada yang menyebut dengan kaligrafi Arab dan ada juga yang menyebutnya dengan kaligrafi Islam. Mengenai istilah kaligrafi Arab
Istilah tersebut sama benarnya, sebab apabila ditinjau dari sejarah, seni kaligrafi itu memang lahir dari ide “menggambar” atau apa lukisan yang dipahat atau dicoretkan dalam benda-benda tertentu, seperti daun-daun, kulit kayu, tanah dan batu. Akar dari tulisan Arab itu dari Mesir (Kan’an Semit atau Turnesia), dari tulisan Hierogrhaph.
Lalu tulisan tersebut terpecah menjadi khath Feniqi (Funisia), dengan cabang-cabang (Arami): Nabati di Hirah atau Hurun dan Sataranjih-Suryani di Irak dan Musnad: Safawi, Samudi, Lihyani, (Utara Jazirah Arabia) dan Humeri; selatannya. Sedangkan Kamil al-Baba mengatakan bahwa pendapat yang paling dipercaya kaligrafi Arab itu diadopsi dari tulisan suku Nabati, ras Arab yang menempatkan wilayah Utara jazirah Arabia, di negeri Yordan dengan ibu kota Puetra.
Hal ini berdasarkan bukti-bukti nyata arkeologi (Dinas Purbakala) yang pernah mengadakan penelitian tentang pertumbuhan tulisan. Dalam perkembangan tulisan ini, tulisan musnad yang disebar luaskan oleh suku Maniyah (Minneni) di Yaman yang berpindah ke Arabia Utara. Kemudian dari Musnad ini lalu pindah ke Nabati sampai kedatangan Islam. Untung orang Nabatea meninggalkan sejumlah inskripsi yang tersebar di daerah yang mewakili tahap peralihan yang maju menuju perkembangan huruf Arab.


Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India denganDevanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara.
Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.

2.     Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)

Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats(segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif).
Gaya Masyq dan Naskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad(terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts. Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena khilafah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar peninggalan-peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.

3.     Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)

Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf alif, danlingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar).
Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
Kaligrafi merupakan salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk huruf yang telah dimodifikasi atau digayakan sehingga mempunyai nilai estetika. Keindahan bentuk ini mempunyai pengertian yang umum, artinya bentuk huruf tersebut tidak hanya berlaku untuk huruf-huruf tertentu atau asal dari jenis huruf tertentu. Salah satu contoh, misalnya kaligrafi tidak hanya berlaku untuk bentuk atau jenis huruf Arab (Hijaiyyah) saja, tetapi dapat juga berlaku untuk jenis-jenis huruf yang lain.
Sehingga kata kaligrafi berlaku untuk umum, keindahan hurufnya bersifat umum, universal dan global. Kaligrafi tidak hanya untuk mengungkapkan secara visual ayat atau surat-surat yang ada di Al Quran dan Al Hadits saja, tetapi juga bisa untuk mengungkapkan kalimat-kalimat sastra yang berbentuk huruf Latin, huruf China, huruf Jepang, huruf India, huruf Sansekerta maupun huruf Jawa.
Pengertian masyarakat umum memang mempunyai pandangan dan pengertian yang kurang tepat, yang mengartikan bahwa kaligrafi adalah modifikasi keindahan pada bentuk-bentuk huruf Arab saja. Walaupun hal itu juga tidak dapat dipungkiri lagi karena yang berkembang pesat di wilayah kita (Indonesia) adalah banyaknya kreasi-kreasi kaligrafi yang ada merupakan bentuk keindahan huruf Arab.
Hal ini memang sangat erat kaitannya dengan mayoritas seniman kaligrafi yang ada di Indonesia kebanyakan hanya mengembangkan kaligrafi Arabic. Memang tidak dapat dipungkiri seniman berkarya juga terikat dengan penikmat seni yang ada di suatu wilayah. Penikmat kaligrafi Indonesia karena kebanyakan kaum muslimin, senimanpun menciptakanya disesuaikan dengan keadaan tersebut. Kalau kita mau melihat lebih luas, sebenarnya banyak juga ditemukan keindahan bentuk huruf ini yang berbentuk huruf selain huruf Arab.
Keindahan bentuk huruf Jawa, sebelum pada tahun 70 an masih sering ditemukan di wilayah Jawa. Di pedesaan banyak pula anak-anak muda dan orang dewasa berkarya memodifikasi/menggayakan huruf Jawa sedemikian indahnya pada era sebelum tahun 70 an. Contoh yang pernah penulis lihat adalah di daerah Kunden Langenharjo Kendal pada masa lalu, yang sekarang sudah mulai jarang ditemukan lagi atau mungkin malah sudah tak ada lagi karena generasi sekarang banyak yang tidak mengenal huruf Jawa.
Tapi, Alhamdulillah pemerintah sekarang sudah mulai menyadari pentingnya bahasa daerah, dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum di SD, SMP maupun SMA. Hal itu hanyalah salah satu contoh saja bahwa kaligrafi bukanlah khusus untuk huruf Arab. Dalam perkembangannya kaligrafi dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis kaligrafi. Kaligrafi tersebut antara lain, Kaligrafi Tradisional, Kaligrafi Klasik, Kaligrafi Modern, Kaligrafi Ekspresif dan Kaligrafi Kontemporer.
 Semua jenis kaligrafi tersebut mempunyai kelebihan dan keunikan tersendiri tergantung dari jenisnya. Kekhasan yang sama pada seni kaligrafi adalah kreatifitas seniman di dalam memvisualisasikan bentuk karya ciptanya.
Ada yang mempunyai kecenderungan kretifitas pada objek utamanya saja, ada pula hurufnya masih manual tetapi dipadukan latar belakangnya yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kreatifitasnya lebih diutamakan pada backgroundnya, adapula yang keduanya dipadukan artinya baik huruf maupun latar belakangnya digayakan sedemikian rupa, sehingga daya cipta bentuk kaligrafi betul-betul dimaksimalkan.
Semuanya memang tergantung dari pencipta karya tersebut, lebih fokus dan lebih enjoy yang mana atau lebih cocok yang mana. Atau mungkin tergantung yang diinginkan oleh nilai pasar (tergantung dari nilai fungsinya). Fungsi kaligrafi tersebut sebagai seni murni (fine art) atau seni terapan (applied art).
C.  Perkembangan Kaligrafi
Proses menuju kesempurnaan perkembangan kaligrafi Arab sebelum Islam menuju kesempurnaan pada abad ke-3 M, diperkirakan seabad sebelum kedatangan Islam orang Hijaz sudah ada yang mengenal tulisan. Hal ini terjadi karena ada hubungan dagang mereka dengan Arabia Utara dengan Arabia Selatan yang sudah mengenal huruf seperti suku Hunain di Yaman.
Mereka ini melakukan perjalanan sambil belajar tulis baca di Syria begitu juga yang lainnya di Ambar Irak. Menurut catatan sejarah di Hijaz hanya ada beberapa orang yang pandai tulis baca yang terdiri dari orang Quraish dan orang Madinah khususnya orang Yahudi.Kemudian pada abad ke-7 M, terjadi sedikit perkembangan penulisan di kalangan masyarakat Jazirah Arabia.
Tulisan sederhana (belum sempurna) telah ada, seperti yang dibuktikan oleh temuan arkeologis (prasasti pada batu, pilar dan seterusnya) di Jazirah Arab. Selain itu sisa-sisa paleorafis (tulisan pada material seperti papyrus dan kertas kulit) dapat juga sebagai tanda untuk membuktikan bahwa orang Arab pada zaman itu sudah mempunyai pengetahuan menulis.
Keterlambatan perkembangan ini karena bangsa Arab ini dikenal sebagai masyarakat yang suka berpindah-pindah (nomaden). Mereka tidak terbiasa menulis peristiwa. Jadi sangatlah sulit untuk mencari data tertulis atau prasasti yang membuktikan peta perjalanan sejarah sebuah kemajuan di Jazirah Arab.
Mereka dikenal sebagai bangsa yang kuat daya hafalnya. Jadi tidak diperlukan tulisan untuk menyampaikannya, karena menurut pandangan mereka orang yang menulis itu adalah orang yang mempunyai hafalan yang kurang kuat.Yang menjadi kebanggaan bagi bangsa Arab pada waktu itu adalah syair. Syair merupakan penalaran paling berharga dalam mengungkapkan makna-makna perasaan hati dan gejolak pikiran. Hal ini karena kehidupan mereka terbiasa di alam bebas, padang pasir yang membentang luas dan terbiasa di alam bebas, padang pasir yang membentang luas dan terbebas dari pengaruh budaya asing, yang menjadikan mereka leluasa dan terlatih untuk menghayalkan apa saja yang mereka alami dalam kehidupan.
Kemudian syair-syair tersebut mereka hafal agar mudah disampaikan kapan saja dikehendakinya.Kebanggaan mereka terhadap syair memang luar biasa. Mereka akan merasa lebih bangga apabila salah seorang dari anggota keluarga atau kebilahnya ada seorang penyair dibanding mempunyai seorang panglima perang.
 Apabila syair atau pantun itu mendapat nilai paling bagus, maka syair tersebut langsung ditempelkan di dinding ka’bah, sebagai tanda suatu penghormatan yang luar biasa. Menurut literatur Arab, hanya pernah ada tujuh jenis syair pujaan yang disebut al-Mu’allaqat (gantungan) sebagai hasil karya seni sastra maha paling indah dan paling sempurna yang mempunyai nama terhormat, karena ditulis dengan tinta emas.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan tulis menulis itu sudah ada, tetapi masih sangat langka, kecuali saat-saat dibutuhkan.Itulah sebabnya pada bangsa Arab sebelum Islam datang seni kaligrafi itu berkembang, perjalanannya agak tersendat, lebih dari seribu tahun tidak melahirkan keanekaan, karena mereka tidak membudayakan menulis. Apabila ada syair yang pantas untuk dibanggakan maka barulah orang Arab tersebut menulisnya dan menggantungkannya pada dinding Ka’bah. Memang pada saat itu juga tidak disebutkan mereka menggunakan jenis khath apa dalam menulis tersebut.
 Tetapi dapatlah dipastikan bahwa kaligrafi Islam tersebut berasal dari tulisan Arab karena tulisannya menggunakan tulisan Arab. Dan tulisan-tulisan yang berkembang di daerah Arab sebelum Islam datang dapatlah dikategorikan sebagai kaligrafi Arab.Setelah Islam datang tulisan Arab ini mulai berkembang, karena mereka juga dianjurkan menulis dan membaca.
Mereka sudah mulai menulis tentang ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.Apalagi yang mereka tulis itu adalah wahyu allah. Setiap ayat yang telah diturunkan Allah dan mereka terima dari Rasulullah lalu mereka tulis agar lebih mudah mengingatnya. Mereka yang menulis ini biasa sudah ada ditunjuk oleh Zaid bin Tsabit. Bukan itu saja yang menunjang mereke untuk menulis, ternyata ayat yang pertama kali diturunkan itu adalah ayat mengenai perintah untuk membaca dan menulis, sebagaimana yang tertulis dalam surat al-Alaq ayat 1-5
1)       Bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan
2)       Menciptakan manusia dari segumpal darah
3)       Bacalah…Dan Tuhan mu Maha Pemurah
4)       Yang mengajarkan manusia menulis dengan kalam
5)       Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya
Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa membaca dan menulis itu memang dianjurkan. Semenjak turunnya al-Quran merupakan perkembangan awal kaligrafi ini dimulai. Keperluan untuk merekam al-Quran memaksa mereka untuk memperbaharui tulisan mereka dan memperindahnya sehingga ia pantas menjadi wahyu Allah. Kemudian ayat tersebut disebarkan oleh Rasulullah secara lisan dan kemudian dihafal oleh para hafiz untuk dapat dibaca dalam hati.
Tetapi setelah Nabi wafat tahun 633 M, sejumlah hafiz tersebut banyak yang gugur dalam peperangan.Umar bin Khattab memperingatkan hal tersebut kepada Abu Bakar sebagai khalifah pada masa itu . Pada waktu itu Abu Bakar masih ragu, sebab hal ini belum pernah dilakukan pada masa Rasul. Setelah didesak oleh Umar karena banyak pula terdapat perbedaan dialek bacaan tentang ayat al-Quran ini, lalu Abu Bakar membentuk sebuah panitia dalam penulisan ini yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit yang merupakan juru tulis Nabi sebelum Nabi wafat.
Zaid bin Tsabit menyusun dan mengumpulkan wahyu ke dalam bentuk mushaf. Penyusunan ini baru terlaksana setelah masa kekhalifahan Usman bin Affan pada tahun 651 M. Penyusunan yang disucikan ini kemudian disalin ke dalam empat atau lima dalam bentuk edisi yang serupa, kemudian dikirim ke wilayah-wilayah Islam yang penting untuk digunakan sebagai naskah yang penting sebagai kitab buku.
Dari sanalah dimulai semua salinan al-Quran dibuat, mula-mula dalam tulisan Mekah dan Madinah, yang merupakan ragam setempat tulisan Jazm, kemudian dalam tulisan Kufah dan selanjutnya dalam sebagian besar ragam tulisan Arab yang berkembang di negeri-negeri muslim.
Selain dari adanya kaitan dengan al-Quran, perkembangan seni kaligrafi ini berkembang dengan pesat juga disebabkan oleh beberapa factor lainnya, sehingga dapat merata di seluruh dunia Islam diantaranya:
1)       Karena pengaruh ekspansi kekuasaan Islam, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Islam telah meluas sampai keluar jazirah Arab. Dengan penyebaran tersebut terjadilah urbanisasi besar-besaran ke wilayah baru dan pertemuan budaya antara Islam dan wilayah taklukan serta adanya proses Arabisasi pada wilayah tersebut.
2)       Adanya penamaan nama-nama raja dan kaum elit social. Dalam catatan sejarah bahwa gaya tulisan Tumar (lembaran halus daun pohon Tumar), diciptakan atas perintah langsung dari khalifah Muawiyah (40H/661M-60H/680M). Tulisan ini kemudian menjadi tulisan resmi pada pemerintahan Daulah Muawiyyah.
Ketika pemerintahan Muawiyah kaligrafi ini mulai berkembang, orang terpicu untuk mempelajari tulisan Arab karena adanya system Arabisasi yang diterapkan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Bahasa Arab itu diberlakukan bukan saja khusus untuk bangsa Arab, tetapi pada setiap orang Islam meskipun dia bukan orang Arab diharuskan menggunakan bahasa Arab. Dengan adanya sistem arabisasi menjadikan bentuk tulisan Arab semakin berkembang, sehingga muncul bermacam-macam model tulisan Arab yang baru.
Setelah masa pemerintahan Abbasiyah penulisan kaligrafi ini sudah mulai membudaya. Apalagi pada masa pemerintahan al-Makmum yang sangat menyukai kaligrafi. Pada masa ini juga sudah dimulai penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Akhirnya penulisan Arab semakin berkembang, sehingga pada masa ini lahirlah berbagai tokoh kaligrafi yang dikenal.
Ahli kaligrafi yang terbesar pada zaman Mamluk ini adalah Muhammad Ibnu al-Walid, yang meninggalkan salinan al-Quran yang unik dalam tulisan sulus yang telah disalin ulang pada tahun 1304 M. Untuk seorang pejabat tinggi Baybar, yang kemudian menjadi Sultan Baybar (1308-09). Hal tersebut membuktikan bahwa kemampuan dalam seni kaligrafi dapat menambah prestasi seseorang untuk mendapatkan jabatan.
Ilham Khoiri mengatakan bahwa ada semacam motivasi normatif al-Qur’an yang mendorong kemajuan perkembangan seni kaligrafi ini. Hal ini dapat dibagi kepada empat wujud yaitu adanya perintah untuk belajar menulis al-Quran sebagai al-Kitab dan pengertiannya sebagai maqru, tambahan lagi adanya perintah untuk menuntut ilmu serta larangan menyembah atau memuja patung dan berhala. Tambahan lagi ada hadits nabi yang menyatakan bahwa menulis ayat al-Quran dengan indah itu akan mendapat pahala. Sebagaimana yang dinyatakan oleh:
”Abu Ashim telah mengabarkan kepada kami dan kemudian dia mengabarkan kepadaku, dari Abdul Malik bin Abdullah bin Abu Sofyan. Dari ibunya Amru bin Abu Sofyan. Sesungguhnya dia mendengar dari Umar bin Khatab bahwasanya Rasulullah bersabda: Kukuhkanlah ilmu itu dengan tulisan”
Factor tersebut yang menjadi pemicu para kuttab untuk menulis al-Quran dengan indah. Secara tidak langsung mereka yang menulis ayat al-Quran dengan indah berarti mereka turut serta mengagungkan al-Quran dan memeliharanya dengan baik. Apabila al-Quran ditulis dengan baik dan indah menjadikan orang senang untuk membacanya.
Akhirnya dengan demikian keindahan tulisan tersebut menjadikan suatu motivasi untuk selalu membaca al-Quran, bagi orang yang selalu membaca al-Quran akan mendapat pahala di sisi Allah.Sumbangan terbesar dari kaligrafi Islam ini adalah Syaikh Hamdullah al-Masi (w. 1502), yang dipandang sebagai pendekar kaligrafi terbesar sepanjang dinasti Usmaniyah. Dia mengajarkan kaligrafi kepada sultan Usmaniyah Bayazid II (1481-1520).
Sultan tersebut sangat menghormatinya dan membayarnya mahal untuk setiap tinta yang mengalir, sementara syaikh menulis kalimat-kalimatnya. Begitu besarnya perhatian pemerintah terhadap kaligrafi, sehingga setiap kaligrafer itu senantiasa diberi imbalan yang besar atas setiap karyanya.
Kaligrafernya tidak saja terdapat dari kalangan laki-laki saja, wanita pun sudah ada yang menggeluti dalam bidang seni kaligrafi ini. Padsyah-Khatun salah seorang kaligrafer wanita yang berasal dari Iran berkiprah di Jerman selama empat tahun sebelum kewafatannya tahun 1296 M menguasai kaligrafi. Dia seorang kaligrafer yang mahir menulis kaligrafi yang dikembangkan oleh Yaqut, telah melakukan penyalinan al-Quran. Seni kaligrafi yang berkembang setelah Islam datang ini dapat dikatakan dengan kaligrafi Islam. Karena tulisan yang sering disebut oleh bangsa Arab itu ayat al-Quran.
Model-model tulisan Arab yang digunakan pun makin berkembang.Perkembangan kaligrafi Arab ini tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya peradaban Arab dan munculnya peradaban Islam. Azzahawy mengemukakan bahwa perkembangan kaligrafi itu kepada dua bentuk:
1)       Khat yang kaku, yaitu berasal dari bangsa Ibrani. Khat ini digunakan untuk menulis catatan resmi dan surat kabar.
2)       Khat yang mulai lentur atau elastic apabila dibandingkan dengan khat sebelumnya, yaitu rangkaian huruf yang berkaitan satu sama lain, seperti khat naskhi. Khat ini dipakai dalam kegiatan sehari-hari dalam bentuk berlobang, bulat dan terbuka.
Kepandaian seni kaligrafi ini tidak banyak dipraktekkan oleh orang-orang yang sezaman dengan Nabi, meskipun sebagian sahabat dan keluarganya sudah ada yang pandai membaca dan menulis. Hal ini karena pada waktu Nabi sendiri tidak pernah mempelajari kepandaian ini. Sedangkan kecendrungan orang pada masa itu pada syair dan prosa dengan menggunakan budaya hafalan. Jadi pada masa itu seni sastra sangat berkembang dan semakin mendapat perhatian dan sering dijadikan kompetisi.
Kemudian setelah Nabi wafat, barulah mereka merasakan kebutuhan untuk menulis. Karena pada masa ini sudah banyak di antara sahabat nabi yang hafal al-Quran dalam peperangan. Lalu Umar bin Khattab mengusulkan agar al-Quran itu dibukukan, karena kuatir al-Quran itu akan hilang secara perlahan.
Setelah pada masa Usman barulah berhasil al-Quran itu dibukukan. Menurut catatan sejarah jenis khath yang pertama kali digunakan adalah khath khufi. Dalam bukunya Athlasul Khat wa al-Kutub, Habibullah Fadzoili (1993) mengemukakan tentang gembaran perkembangan kaligrafi Arab Perkembangan tersebut terbagi kepada tujuh periode
3)       Periode pertumbuhan. Pada masa ini gaya kufi muncul pertama kali dengan tidak ada menggunakan tanda baca pada huruf tersebut. Kemudian pada abad ke-7 H, lahir pemikiran untuk menggunakan tanda baca oleh seorang ahli bahasa Abu Aswad Ad-Duali yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya sehingga mencapai tahapan kesempurnaan. Pada abad ke-8 H, gaya kufi ini mencapai keelokan sehingga bertahan selama tiga ratus tahun. Bahkan pada abad ke-11 , gaya kufi ini telah memperoleh banyak monumental.
4)       Periode pertumbuhan dan perindahan yang dimulai sejak akhir kekhalifahan Bani Umayah sampai pertengahan kekuasaan Abbasiyah di Bagdad. Pada masa ini muncul modifikasi dan pembentukan gaya-gaya lain. Selain gaya kufi pada masa ini merupakan tahapan pertumbuhan dan perindahan. Dan pada masa ini ditemukan enam rumusan pokok (al-aqlam as-Sittah), yaitu Tsulus, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riq’i dan Tauqi’. Selain itu pada periode ini terdapat pula sekitar dua puluh empat gaya khat yang berkembang, bahkan mencapai dua puluh enam gaya khath.
5)       Periode penyempurnaan dan perumusan kaidah penulisan huruf oleh Abu Ali Muhammad bin Muqlaq, (w.329H/940) dan saudaranya, Abu Abdullah Hasan bin Muqlaq dengan metode al-Khath al-Mansub (ukuran standar dan bentuk kaligrafi). Pada masa ini Ibn Muqlaq sangat besar jasanya dalam membangun gaya Naskhi dan Tsulus. Di samping itu ia juga memodifikasi sekitar empat belas gaya kaligrafi serta menemukan du belas kaidah untuk pegangan seluruh aliran.
6)       Periode pengembangan dari rumusan Ibnu Muqlaq ini oleh Ibn al-Bawwab (w.1022 M), yang berhasil menemukan gaya yang lebih gemulai al-Mansub al-Faiq (pertautan yang indah
7)       ), yaitu suatu gaya kaligrafi dari gabungan khath Naskhi dan Muhaqqaq. Dia juga menambahkan hiasan pada tiga belas gaya kaligrafi yang menjadi eksperimennya.
8)       Periode pengolahan khath dan pemikiran tentang metode hiasan baru dengan penyesuaian pena bamboo, yaitu pemotongan miring pada pena tersebut oleh sang kiblatul kuttab, Jamaluddin Yaqut al-Musta’shimi (w. 698 H/1298 M). Di samping itu beliau juga mengolah gaya al-Aqlam as-Sittah yang masyhur pada periode kedua dengan sentuhan kehalusan penuh estetika serta mengembalikan hokum-hukum Ibnu Muqlaq dan Ibn al-Bawwab. Yakut ini berhasil mengembangkan gaya baru dalam tulisan Tsulus. Pada masa ini para kaligrafer lain juga antusias menciptakan gaya-gaya kaligrafi ini sehingga dalam periode ini mampu menghasilkan gaya kaligrafi sampai ratusan gaya.
9)       Periode perkembangan pada masa dinasti Mamluk di Mesir dan Dinasti Safawi di Persia. Pada periode ini muncul tiga gaya baru yaitu ta’liq (farisi) yang disempurnakan oleh kaligrafer Mir Ali (w.1916), dan gaya Sikhatseh (berbentuk terpecah-pecah) oleh khattah Darwisi Abdul Majid. Pada masa ini juga muncul kaligrafer kenamaan di Mesir yang bernama Thab-thab.
Ragam model gaya kaligrafi yang berkembang pada periode perkembangan ini tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan pada masa berikutnya bermunculan para kaligrafer yang tidak kalah hebatnya dan mampu menggores tulisan yang halus dan sarat dengan nilai seni dan keindahan. Demikian juga di Baghdad ditemukan tiga kaligrafer besar yaitu Musthafa Raqim, Syeikh Musa ‘Azmi (lebih dikenal dengan Hamid al-Amidi).
Bentuk model khath yang berkembang tersebut diciptakan oleh tokoh-tokoh kaligrafer itu sendiri. Namun peletakan gaya kaligrafi ini tidak seluruhnya dapat diketahui dengan jelas. Contohnya kaligrafi gaya khufi merupakan gaya kaligrafi yang tertua dan tidak diketahui dengan jelas siapa peletak dan pencipta dari model khath ini.
Sedangkan khath Naskhi lahir jelas diketahui siapa peletak pertama dari gaya khath ini adalah Ibn Muqlah , karena kelahiran khath ini sudah tampak sebelum kelahiran Ibn Muqlah, dan beliau juga yang mendewasakan jenis model dari khath ini. Demikian juga halnya khath Diwany pencipta pertamanya Ibnu Munif di Turki (860 H). Gaya Riq’ah diciptakan al-Mutasyar Mumtaz Bek di Turki (1280 H).
Pada awal pertumbuhannya kaligrafi itu tumbuh dan beragam bersifat kursif (lentur dan ornamental) dan sering pula dipadu dengan ornament floral. Model kaligrafi kursif yang tumbuh pada masa itu Tsulus, Naskhi, Muhaqqaq, Riqa’, Raihani dan Tauqi’. Keenam gaya inilah yang dikenal dengan al-Aqlam as-Sittah, atau Sihs Qalam (Persia), atau The Six Hands Styles (Inggris) . Keenam gaya kaligrafi ini mengalami seleksi alam. Di antara jenis gaya kaligrafi tersebut mulai beransur-ansur hilang.
Gaya Riq’ah dan Tauqi’ sudah mulai beransur surut dari peredaran, karena luruh dan gayanya berkarakter mirip Tsulus, sementara jenis khath yang lain tetap eksis dan berkembang semakin sempurna. Perkembangan ini mencapai titik kulminasi pada masa pemerintahan Daulah Usmani (sekitar abad ke-16) dan dinasti Safawi di Iran juga dalam periode yang sama.Pada periode tersebut di Turki juga berkembang jenis gaya kaligrafi Syikatsah, Syikatsah-Amiz, Diwani, Diwani Jali, Riq’ah dan Ijazah. Sementara Farisi (ta’liq) berkembang di Iran.
Dari seluruh model tulisan kaligrafi ini, baik dari al-Aqlam as-Sittah maupun yang munculnya belakangan namun yang masih sering dipakai sampai sekarang yakni gaya sulus, naskhi, farisi, diwani, diwani jail, riq’ah, ijazah (raihani) serta model kufi. Perkembangan model-model ini dapat juga dilihat dari perkembangan sejarah. Ilham Khoiri mengelompokkan kepada dua yaitu perkembangan seni kaligrafi sebelum al-Quran turun dan setelah al-Quran diturunkan.
Namun yang paling pesat perkembangn model kaligrafi itu adalah setelah al-Quran diturunkan. Karena pada masa ini banyak terdapat seniman, ahli kaligrafi dan peminat dan pencinta kaligrafi yang berasal dari kabilah-kabilah. Hal ini dikarenakan terdapatnya keindahan pada seni kaligrafi yang dapat mengokohkan peradaban yang dibutuhkan.
Perkembangan seni kaligrafi tersebut ada yang bersifat hiasan dan ada juga yang bersifat kaidah. Kaligrafi yang pertama digunakan sebagai hiasan tersebut adalah khath khufi, seperti yang terdapat pada arsitektur bangunan. Sedangkan yang bersifat kaidah itu seperti Sulus, Riq’ah, dan Naskhi.
D.  Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda.
Gaya kaligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali.
Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian yang istimewa. Ia mempunyai perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur’an.
Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’I yang menyalin al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun 1736. pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan dari Ta’liq adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di Kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikalnya yang ramping.
Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer.
Mereka tidak segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq an Nasta’liq awal.
Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-susun.
Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni(kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya
Di Indonesia, kaligrafi merupakan bentuk seni budaya Islam yang pertama kali ditemukan, bahkan ia menandai masuknya Islam di Indonesia. Ungkapan rasa ini bukan tanpa alasan karena berdasarkan hasil penelitian tentang data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan oleh Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya Kufi telah berkembang pada abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/1082 M) dan beberapa makam lainnya dari abad-abad ke-15.
Bahkan diakui pula sejak kedatangannya ke Asia Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai untuk penulisan batu nisan pada makam-makam, huruf Arab tersebut (baca: kaligrafi) memang juga banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan pribadi, undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam mata uang logam, stempel, kepala surat, dan sebagainya. Huruf Arab yang dipakai dalam bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab Melayu, Arab Jawa atau Arab Pegon.
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi kegiatan kreasi seniman Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti kayu, kertas, logam, kaca, dan media lain. Termasuk juga untuk penulisan mushaf-mushaf al-quran tua dengan bahan kertas deluang dan kertas murni yang diimpor.
 Kebiasaan menulis al-Qur’an telah banyak dirintis oleh banyak ulama besar di pesantren-pesantren semenjak akhir abad XVI, meskipun tidak semua ulama atau santri yang piawai menulis kalgrafi dengan indah dan benar. Amat sulit mencari seorang khattat yang ditokohkan di penghujung abad XIX atau awal abad XX, karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi.
Buku pelajaran tentang kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar tahun 1961 karangan Muhammad Abdur Razaq Muhili berjudul ‘Tulisan Indah’ serta karangan Drs. Abdul Karim Husein berjudul ‘Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab’ tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan sosoknya lebih nyata dalam kitab-kiab atau buku-buku agama hasil goresan tangan mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H. Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim Bakary, H.M. Salim Fachry dan K.H. Rofi’I Karim.
Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling muda dapat disebutkan antara lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K. Mahfudz dari Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq dan Muhammad Wasi’ Abdur Razaq, H. Yahya dan Rahmat Arifin dari Malang, D. Sirojuddin dari Kuningan, M. Nur Aufa Shiddiq dari Kudus, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis buku-buku kaligrafi danmengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art. Dalam konteks ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para seniman lukis yang ragu untuk menggambar makhluk hidup. Dalam aspek kesenirupaan, kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta lengkungan ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi secara terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa Islam se-Dunia than 1980 di Balai Sidang Jakarta dan Pameran pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran Kaligrafi Islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelpori kaligrafi lukis adalah Prof. Ahmad Sadali (Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung, asal Aceh), Drs. H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal Palembang), dan H. Amang Rahman (Surabaya), dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkannya dari kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan
 Kehadiran seni lukis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan reaksi itu seringkali keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapun hasil dari reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para khattat sendiri membawa banyak hikmah, antara lain menimbulkan kesadaran akan kelemahan para khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam media dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak. Kekurangan mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah karya mereka adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau hanya dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia adalah dimasukkan seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even MTQ. Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983.
Sayembara tersebut pada akhirnya dipandang kurang memuaskan karena sistemnya adalah mengirimkan hasil karya khat langsung kepada panitia MTQ, sedangkan penulisannya di tempat masing-masing peserta. MTQ Nasional XIV di Pontianak meniadakan sayembara dan MTQ tahun selanjutnya kaligrafi dilombakan di tempat MTQ..
Wallohua’ lmu Bissawab
ilmiproduction.blogspot.com/.../sejarah-dan-perkembangan-kaligrafi-ara..


Kaligrafi




Kaligrafi, dari bahasa Yunaniκαλλι "keindahan" + γραφος "menulis" ) Bahasa Jepang Nihongo 日本語) adalah seni menulis dengan indah dengan pena sebagai hiasan. Tulisan dalam bentuk kaligrafi biasanya tidak untuk dibaca dengan konsentrasi tinggi dalam waktu lama, karena sifatnya yang membuat mata cepat lelah. Karena itulah sangat sulit menemukan contoh kaligrafi sebagai tipografi buku-buku masa kini.

Meskipun kaligrafi dalam tulisan arab lebih dikenal, tetapi banyak pula penerapan aplikasi ke dalam tulisan latin.
    
    








Kaligrafi Islam




Di dalam seni rupa Islam, tulisan arab seringkali dibuat kaligrafi. Biasanya isinya disadur ayat-ayat Al-Quran. Bentuknya bermacam-macam, tidak selalu pena diatas kertas, tetapi seringkali juga ditatahkan di atas logam atau kulit.

Salah satu bentuk penerapan kaligrafi Islam sebagai seni hias adalah di Istana Al Hamra, Spanyol.

Kaligrafi Arab Kayu

Kaligrafi Arab dari Kayu ini diukir di kayu, bisa dari kayu jati, kayu mahoni dan lainnya. Kaligrafi Arab Kayu ini di ukir oleh masyarakat Jepara. isi kaligrafi disadur dari ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai khat turki atau yang lainnya. Kaligrafi arab Kayu terbagi menjadi beberapa kategori, kaligrafi Allah Muhammad, Kaligrafi ayat Kursi, Kaligrafi Ayat seribu dinar, kaligrafi asmaul husna, dan kaligrafi surah-surah Al-Quran
id.wikipedia.org/wiki/Kaligrafi





Sejarah dan Perkembangan Kaligrafi Arab

Seni kaligrafi adalah salah satu kegiatan yang biasa diajarkan kepada para santri pondok pesantren (ilustrasi).
Seni kaligrafi adalah salah satu kegiatan yang biasa diajarkan kepada para santri pondok pesantren (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa

Kaligrafi mendapat tempat tersendiri dalam kesenian Islam karena bertujuan memperindah lafal Allah.


Jika menyebut seni kaligrafi, belum tentu bertuliskan Arab atau menuliskan ayat suci Alquran. Banyak tulisan lain, seperti Jepang, Cina, dan Yunani, yang juga memiliki seni visual tersebut. Secara bahasa, kaligrafi memang bermakna seni tulisan indah, yakni dari bahasa Yunani allos yang bermakna indah dan graphein, yakni menulis. 

Kaligrafi Arab (khat arab) atau yang sering dikenal dengan kaligrafi Islam, hanyalah salah satunya. Hanya, Muslimin Indonesia terbiasa menyebut kaligrafi pada huruf indah Arab yang menuliskan Alquran.

Bagi bangsa Arab, tulisan pun sebetulnya bukanlah hal yang utama. Bangsa Arab pada masa lalu lebih bangga dengan lisan yang pandai bersyair ketimbang menulis indah. Kebudayaan menulis sangat minim dilakukan. Jikalau ada syair yang amat cantik, itu pun hanya ditulis jika akan digantungkan pada Ka’bah. Pun ketika Islam datang. 

Alquran hanyalah disimpan dalam memori para sahabat. Kitabullah baru ditulis setelah banyak hafiz yang wafat di medan pertempuran. Maka, barulah dimulai penulisan Alquran pada masa khalifah Abu Bakr Ash Shidiq dan baru mulai disusun rapi pada masa khalifah Utsman bin Affan.

Tak heran jika pada generasi awal Islam, kaligrafi bukan sesuatu yang diperhatikan. Meski aksara Arab diperkirakan telah muncul seabad sebelum Islam datang, kaligrafi baru muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Meski perkembangannya lamban, kaligrafi pun mulai mendapat tempat di hati masyarakat Muslim.

Philip K Hitti dalam History of the Arab mengatakan, seni kaligrafi mendapat popularitas dan tempat tersendiri dalam kesenian Islam karena tujuan awalnya untuk memperindah lafal Allah dan didukung oleh ayat Alquran surah 68 ayat 1 dan 96 ayat 4. Kedua ayat tersebut, yakni “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”, surah al-Qalam ayat 1 dan “Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam”, surah al-Alaq ayat 4. Maka, saat muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, kaligrafi langsung menjadi primadona kesenian Islam.
Pada tahap berikutnya, lanjut Hitti, kaligrafi sepenuhnya menjadi karya seni Islami dan membawa pengaruh pada seni lukis yang dikui banyak kalangan. Melalui karya kaligrafi, seorang Muslim menyalurkan bakat seninya yang tidak bisa diekspresikan melalui representasi objek-objek yang hidup. Seorang penulis kaligrafi atau kaligrafer menempati kedudukan yang terhormat dan mulia melebihi kedudukan para pelukis.

Terdapat beberapa pelopor pengembangan kaligrafi Arab, di antaranya, al-Raihani (meninggal 834) yang mengembangkan kaligrafi pada masa kekhalifahan al-Ma’mun dari Dinasti Abasiyah. Ia menyempurnakan gaya kaligrafi Rihan, sesuai dengan namanya. Kemudian, Ibn Muqlah (meninggal 940), seorang menteri Abasiyah yang tangan kanannya dipotong oleh Khalifah al-Radhi. Dengan tangan kiri, ia mampu menulis dengan indah.

Terdapat pula nama Ibn al-Bawwb (meninggal 1022 atau 1032), anak seorang pegawai di Majelis Umum Baghdad. Ia menemukan gaya kaligrafi muhaqqaq. Lalu, pelopor terakhir yang amat masyhur, yakni Yaqut al-Mutashimi. Muncul pada pengujung periode Abasiyah, ia sangat kondang sebagai ahli kaligrafi terkemuka yang namanya diabadikan sebagai nama gaya tulisan, yakni Yaquti.

“Dinilai dari karya kaligrafi Yaquti yang masih bertahan hingga kini dan sejumlah karya kaligrafi lain, capaian artistik dalam bidang kaligrafi pada periode ini tidak bisa dianggap tinggi. Bisa dikatakan kaligrafi merupakan satu-satunya kesenian Arab yang produknya saat ini, baik kalangan Muslim maupun Kristen, bisa kita lihat di Konstantinopel, Kairo, Beirut, dan Damaskus. Karya-karya mereka menampilkan nilai keindahan dan keagungan yang lebih tinggi dibandingkan terdahulu yang pernah diproduksi sepanjang masa,” kata Hitti.
Lebih perinci, Habibullah Fadzoili dalam Athlasul Khat wa al-Kutub membagi enam periode perkembangan kaligrafi. Pertama, yakni era pertumbuhan di mana saat itu huruf Arab belum memiliki tanda baca atau masih gundul. Gaya kufi muncul saat periode ini. Kedua, yakni era pertumbuhan. Periode kedua baru dimulai saat kekhalifahan Bani Umayah. Saat itu, gaya kufi mulai perkembangan lebih indah. Gaya tsulus, naskhi, muhaqqaq, raihani, riq’I, dan tauqi’ muncul pada periode yang berlangsung hingga pertengahan kepemimpinan Dinasti Abasiyah tersebut.

Ketiga, periode penyempurnaan di mana mulai muncul metode kaligrafi lengkap dengan standardisasinya. Gaya-gaya sebelumnya mulai dimodifikasi dan diberi kaidah. Periode keempat, yakni pengembangan kaidah dan metode pada era sebelumnya. Saat itu mulai muncul harmonisasi dua gaya dalam satu kanvas. Kemudian, periode selanjutnya, yakni masuk ke pengolahan.

Pengembangan teknik lebih mendapat penekanan dalam era ini. Saat itu, ratusan gaya telah berhasil diciptakan para kaligrafer. Periode terakhir, yakni saat Dinasti Mamluk berkuasa di Mesir dan Dinasti Safawi berkuasa di Persia. Pengembangan gaya terus terjadi saat periode tersebut hingga mencapai puncak saat periode Turki Utsmani.
Berkembang di Timur
Saat Dinasti Abasiyah runtuh akibat serangan Mongol, perkembangan kaligrafi justru makin memuncak. Apalagi, saat itu terdapat pelopor kaligrafer ternama, Yaqut. Islamnya putra Hulagu Khan, Abaga, menjadikan Dinasti Mongol menganut Islam. Saat itulah kaligrafi mengalami perkembangan di negeri Islam timur, terutama saat Mongol di bawah kepemimpinan Ghazan dan Uljaytu.

“Ghazan seorang Muslim yang terpelajar memberikan dukungan besar terhadap seni Islam, termasuk kaligrafi dan penyalinan buku. Tradisi tersebut kemudian dilanjutkan penggantinya, Uljaytu, yang kemudian menjadi era kemajuan seni dan sastra. Uljaytu memiliki dua orang kepercayaan, yakni Rashid al-Din dan Sa’d al-Din. Keduanyalah yang selalu melindungi para pelajar, seniman, dan kaligrafer. Pada masa Uljaytu inilah, perkembangan kaligrafi mencapai puncaknya,” demikian yang tertulis di web calligraphicworld.

Pascaberakhirnya generasi Mongol pada abad ke-14, kaligrafi masih menjadi primadona di bawah kekuasaan Dinasti Timurid yang pimpin Timur Leng. Dia menciptakan gaya baru kaligrafi untuk penulisan Alquran. Menggantikan gaya Mongol, gaya ini lebih memiliki pola megah dan geometris.
m.republika.co.id/.../mppmdp-sejarah-dan-perkembangan-kaligrafi-arab




seni kaligrafi

Ta’liq dan Riq’ah

 













KhotTa’liq
artinya menggantung, karena tulisan gaya ini terkesan menggantung. Tulisan ini pertama kali dikembangkan oleh orang-orang Persia (Iran). Ta’liq disebut juga Farisi, termasuk gaya tulisan yang sederhana dan digunakan sejak awal abad ke-9. Abdul Hayy, seorang kaligrafer yang telah berperan besar di awal perkembangan tulisan ini. Dia termotivasi oleh Shah Ismail sebagai peletak dasar-dasar tulisan ta’liq. Gaya ini disukai oleh orang-orang Arab dan merupakan gaya tulisan kaligrafi asli bagi orang Persia, India, dan Turki.
Seorang kaligrafer Persia Mir Ali Sultan al-Tabrizi kemudian mengembangkan gaya ini lebih halus dan variatif menjadi Nasta’liq. Nasta’liq asal kata dari ‘nasakh dan ta’liq’. Namun demikian para kaligrafer Turki, Persia tetap menggunakan tulisan ini pada momen-momen penting. Ta’liq dan nasta’liq biasa digunakan untuk penulisan literatur dan syair-syair tentang kepahlawanan, bukan untuk penulisan AlQur’an.
Khot Riq’ah
Tulisan ini disebut juga dengan ruq’ah, yang dikembangkan dari nasakh dan tsuluts, namun ia tetap mimiliki ciri khas yang berbeda. Riq’ah lebih simpel dan sederhana, memiliki bentuk huruf tebal dengan batang huruf pendek dan huruf alif tidak pernah ditulis dengan berkepala.
Riq’ah dulu adalah tulisan favorit para kaligrafer Ottoman dan banyak mengalami pengembangan oleh Syakh Hamdullah al Amasi. Kemudian riq’ah banyak direvisi oleh para kaligrafer lainnya dan menjadi tulisan yang popluler dan dipakai secara luas di dunia Arab.

Tsulus dan Diwani

 















Khat Tsuluts pertama kali dibuat pada abad ke-7 pada zaman khalifah Ummayah akan tetapi baru dikembangkan pada akhir abad ke-9. Kata Tsuluts berarti sepertiga, hal ini mungkin disebabkan karena tulisan ini memiliki ukuran lebih sepertiga dibandingkan dengan gaya tulisan lainnya. Walaupun tulisan ini jarang digunakan untuk tulisan Al Qur’an, tsuluts tetap sangat populer dan memegang peran penting terutama untuk tulisan hiasan/dekorasi, judul, dan kepala surat. Tulisan ini juga paling populer untuk dekorasi masjid, mushalla, dan produk kaligrafi lainnya.





Diwani, ada 2 macam diwani ‘aady dan diwani jaly
Tulisan ini berkembang luas di akhir abad ke-15 yang dipelopori oleh seorang kaligrafer Ibrahim Munif dari Turki. Dan mencapai puncaknya pada abad ke-17 atas jasa seorang kaligrafer terkenal yaitu Shala Pasha. Seperti tulisan riq’ah, diwani pernah menjadi tulisan favorit pada zaman kekaisaran Ottoman. Diwani Jaly adalah tulisan diwani yang bernuansa ornamen atau hiasan. Ia pertama kali dikembangkan oleh Hafiz Uthman.

A. Hal Yang Disiapkan Sebelum Menulis

Langkah-langkah yang harus dipersiapkan diantaranya yaitu:
1. Ilmu Penunjang
Beberapa hal yang mempengaruhi gaya pemikiran dan bentuk kreativitas terkait dengan kaligrafi Arab antara lain kajian seputar al-Qur’an dan bahasa Arab serta cabang-cabang yang terkait dengannya.
2. Bakat
Banyak orang yang menganggap bahwa bakat merupakan satu-satunya jalan mulus untuk memperoleh sesuatu. Dalam kaligrafi, bakat hanya mempunyai peranan kecil dalam mempercepat belajar dan mendapatkan hasil. Sesungguhnya yang menentukan cepat atau lambannya belajar kaligrafi adalah latian yang kontinyu disertai kesabaran dan ketekunan.
3. Guru atau Buku Panduan
Guru yang memandu jalannya proses belajar hana mampu berperan dalam memberi motivasi, memberi teori dalam latihan, dan lainnya yang berhubungan dengan pengajaran atau latihan. Jadi pemandu yang profesional akan lebih bisa membantu dalam belajar dan mempercepat hasil yang baik.
4. Peralatan Tulis
Peralatan yang harus dipersiapkan sebelum memulai penulisan kaligrafi terdiri dari dua jenis, yaitu perakatan pokok dan peralatan pendukung. Peralatan pokok ada empat sebagaimana seorang penyair Arab melukiskan putaran perempat dalam senandungnya :
Seperempat tulisan ada pada hitam tintanya , Seperempat: indahnya kreasi sang penulis, Seperempat ada pada kalam/pena:Engkau serasikan potongannya. Dan pada kertas-kertas pada faktor keempat.
Jadi ada empat faktor sekaligus penentu kualitas suatu karya yaitu: Pertama tinta yang jelas atau sejenisnya termasuk cat. Kedua kelihaian sang penulis yang dalam hal ini tangannya mahir menggerakkan pena. Ketiga adalah kalam atau pena yang terpotong rapi atau sejenisnya seperti kuas, bambu. Keempat adalah kertas yang bagus atau sejenisnya seprti kain kanvas, tripleks, tembok dll. 


Kertas yang merembes sangat menyulitkan goresan. Tingkat kemiringan pelatuk pulpen juga harus disesuaikan, karena setiap gaya khat idealnya ditulis oleh pulpen dengan tingkat kemiringan pelatuk yang berbeda-beda. Posisi umum pelatuk ketika berada dipermukaan kertas berkisar antara 60° s/d 90°. Adapun rinciannya : Khat Naskhi berkisar 75° s/d 85°, Khat Tsuluts berkisar antara 75°s/d 90°, Khat Riq’ah berkisar antara 60° s/d 65°, Khat Diwani berkisar antara 85° s/d 90°, Khat Diwani Jali berkisar antara 80° s/d 90°, dan Khat Farisi berkisar antara 75° s/d 85°. Khat Kufi tidak memakai sistem ini. Tidak hanya kertas dan pena, tinta juga harus dipilih yang bermutu, namun semuanya tetap berpulang kepada kecerdikan dan kepiawaian sang khattat.
5. Kondisi Psikologis
Kondisi psikologis juga mempengaruhi dalam proses belajar guna memperoleh hasil. Namun kondisi ini lebih banyak diketahui oleh penulis sendiri.
B. Mengolah Kalam/Pena
Pulpen atau dalam bahasa Arabnya Qalam merupakan suatu karakter tersendiri bagi penggunanya. Ada yang menyukai pulpen mahal, karena menyangkut gaya atau gengsi. Pulpen mewah bermerk Waterman misalnya, sempat mengisi saku orang-orang ternama dunia seperti Ratu Mary dari Kerajaan Belgia, Ratu Rumania, Kaisar Cina dan Presiden AS Bell Clinton. Ada juga pulpen mewah lain seperti Montblanc Sailor atau Montegrappamodel Solitaire Royal bertatahkan berlian dan emas yang harganya puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah melalui pesanan khusus. Pulpen apapun yang penting pelatuk atau mata penanya bagus dan potongannya rapi tetap bisa menghasilkan tulisan yang bagus, tidak mesti yang mewah seperti pulpen tersebut diatas.
Mata pena pulpen cair idelalnya digunakan untuk tulisan selebar 2-3 mm. Untuk ukuran lebih lebar, dapat digunakan kalam lain seperti tangkai bambu, ranting kayu, roan, handam, batang emas, batang enau atau aren. Sedangkan kapur tulis atau dobel pensil dapat digunakan untuk mendesain tulisan yang lebih lebar lagi dari ukuran kalam-kalam tersebut. Pada dasarnya kalam dapat dibuat dari apa saja yang memngkinkan. Asal banyak akal, benda sederhana seperti kayu dapur atau ranting di tempat sampah dapat dijadikan kalam. Spidol besar atau kecil yang mata penanya dipotong miring dan ditipiskan jga dapat dijadikan bahan kalam khat.
Setelah menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan, kalam dapat diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut :
a. Ambillah sepotong ranting bambu atau sejenisnya yang lurus, kira-kira 20 cm sebesar jari telunjuk dan kelingking. Bisa juga spidol atau pena yang mata penanya belum dipotong.
b. Ratakan ujung bambu atau spidol tersebut agar rapi. Kemudian rautlah perut kalam dari bagian salah satu sisi untuk sejenis bambu dan rautlah dari bagian samping kanan dan kiri untuk sejenis spidol dengan pisau tajam atau cutter
c. Potonglah ujung mata penanya dalam bentuk moncong ke kanan atau miring dengan kemiringan ± 45° atau menurut kebutuhan.
d. Agar tinta lebih banyak tersimpan dan supaya aliran tintanya lancar serta teratur, belahlah gigi kalam, persis seperti ujung kalam yang biasa digunakan. Dan dibuatkan lubang kecil pada muara aliran tinta tersebut di tengahnya persis.seperti mata pena pulpen cair.
e. Agar rapi dan halus, gosoklah ujung mata pena dengan amplas. Hendaknya diperhatikan, bahwa pada dasarnya potongan ujung kalam tidak harus tajam tipis seperti pisau, tetapi dibikin agak tumpul dan rata menurut ukuran yang dianggap layak. Mata pena metal atau pulpen cair dapat dipotong miring langsung kemudian mata penanya dihaluskan dengan amplas besi atau digosok diatas tegel, keramik, atau kaca. Saat penghalusan, perut kalam harus berisi tinta untuk menguji coba tingkat kehalusan goresan
f. Setelah proses tersebut selesai, barulah kalam siap untuk digunakan.
Sedangkan peralatan pendukung dalam menulis kaligrafi untuk menambah kemudahan dan kelancaran adalah seperti pensil, penghapus, penggaris, tip-ex, cutter, kertas tissu dan kondisi ruangan yang baik.
C. Teknik Dasar Penulisan Kaligrafi
Setelah langkah awal sudah dipersiapkan dengan maksimal, seseorang yang ingin berlatih menulis kaligrafi harus mengetahui terlebih dahulu teknik dasar atau kiat-kiatnya. Walaupun kelihatannya berlatih kaligrafi adalah kegiatan plagiat atau meniru tulisan yang sudah ada sebelumnya, namun dengan tanpa mengetahui teknik dasarnya maka kenerhasilan akan sulit diperoleh atau kemungkinan suksesnya 20 %. Sedangkan dengan mengetahui teknik akan membuat kemungkinan sukses 80 %. Teknik dasar yang dimaksud disini adalah cara memegang pena. Memegang pena adalah syarat utama dalam mencapai kesuksesan menulis kaligrafi. Yang dimaksud memegang pena adalah meletakkan posisi mata pena diatas kertas. Hampir 100 % kegagalan dalam berlatih kaligrafi disebabkan kesalahan dalam meletakkan posisi mata pena diatas kertas dengan kemiringan yang hampir berbeda-beda dari tiap jenis khat. Tingkat kemiringan mata pena telah disinggung diatas.
Adapun kiat pendukung yang harus dilakukan untuk menunjang teknik dasar adalah :
i. Konsisten, artinya dalam memegang pena, posisi mata pena harus sesuai dengan jenisnya dan posisi tersebut harus tetap konsisten (tidak berubah) kecuali pada kondisi atau pada huruf-huruf tertentu.
ii. Kontinue, artinya kegiatan tulis-menulis ini harus dilakukan terus-menerus secara rutin agar tangannya tidak kaku. Hal ini harus dijaga terus, apalagi pada masa-masa awal yang masih labil, sebab hampir 50 % kegagalan seseorang meraih kesuksesan dalam berlatih kaligrafi dikarenakan inkontinue.
iii. Evaluasi, hal ini bisa dilakukan dengan menyetorkan hasil tulisan kepada guru atau teman yang dipandang mampu mengoreksi.
Selain itu masih ada beberapa kiat yang terkait dengan kemahiran tangan dalam menggerakkan pena pada goresan yang benar dan hal ini dikenal dengan teknik pelemasan, yaitu :
1. Membuat garis lurus dengan menggunakan pulpen atau pensil yang arahnya dari atas ke bawah dan sebaliknya serta dari kanan ke kiri atau sebaliknya.
2. Membuat garis melengkung atau lingkaran dengan menggunakan pulpen yang arahnya sama dengan poin nomor 1.
Menulis dengan pensil atau pulpen bentuk-bentuk hurufnya selanjutnya ditebalkan dengan spidol yang telah dipotong miring.




Di Indonesia, kaligrafi merupakan bentuk seni budaya Islam yang pertama kali ditemukan, bahkan ia menandai masuknya Islam di Indonesia. Ungkapan rasa ini bukan tanpa alasan karena berdasarkan hasil penelitian tentang data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan oleh Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya Kufi telah berkembang pada abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/1082 M) dan beberapa makam lainnya dari abad-abad ke-15. Bahkan diakui pula sejak kedatangannya ke Asia Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai untuk penulisan batu nisan pada makam-makam, huruf Arab tersebut (baca: kaligrafi) memang juga banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan pribadi, undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam mata uang logam, stempel, kepala surat, dan sebagainya. Huruf Arab yang dipakai dalam bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab Melayu, Arab Jawa atau Arab Pegon.
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi kegiatan kreasi seniman Indonesia yang


 diwujudkan dalam aneka media seperti kayu, kertas, logam, kaca, dan media lain. Termasuk juga untuk penulisan mushaf-mushaf al-quran tua dengan bahan kertas deluang dan kertas murni yang diimpor. Kebiasaan menulis al-Qur’an telah banyak dirintis oleh banyak ulama besar di pesantren-pesantren semenjak akhir abad XVI, meskipun tidak semua ulama atau santri yang piawai menulis kalgrafi dengan indah dan benar. Amat sulit mencari seorang khattat yang ditokohkan di penghujung abad XIX atau awal abad XX, karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi. Buku pelajaran tentang kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar tahun 1961 karangan Muhammad Abdur Razaq Muhili berjudul ‘Tulisan Indah’ serta karangan Drs. Abdul Karim Husein berjudul ‘Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab’ tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan sosoknya lebih nyata dalam kitab-kiab atau buku-buku agama hasil goresan tangan mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H. Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim Bakary, H.M. Salim Fachry dan K.H. Rofi’I Karim. Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling muda dapat disebutkan antara lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K. Mahfudz dari Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq dan Muhammad Wasi’ Abdur Razaq, H. Yahya dan Rahmat Arifin dari Malang, D. Sirojuddin dari Kuningan, M. Nur Aufa Shiddiq dari Kudus, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis buku-buku kaligrafi danmengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art. Dalam konteks ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para seniman lukis yang ragu untuk menggambar makhluk hidup. Dalam aspek kesenirupaan, kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta lengkungan ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi secara terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa Islam se-Dunia than 1980 di Balai Sidang Jakarta dan Pameran pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran Kaligrafi Islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelpori kaligrafi lukis adalah Prof. Ahmad Sadali (Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung, asal Aceh), Drs. H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal Palembang), dan H. Amang Rahman (Surabaya), dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkannya dari kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan. Kehadiran seni lukis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan reaksi itu seringkali keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapun hasil dari reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para khattat sendiri membawa banyak hikmah, antara lain menimbulkan kesadaran akan kelemahan para khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam media dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak. Kekurangan mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah karya mereka adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau hanya dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia adalah dimasukkan seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even MTQ. Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983. Sayembara tersebut pada akhirnya dipandang kurang memuaskan karena sistemnya adalah mengirimkan hasil karya khat langsung kepada panitia MTQ, sedangkan penulisannya di tempat masing-masing peserta. MTQ Nasional XIV di Pontianak meniadakan sayembara dan MTQ tahun selanjutnya kaligrafi dilombakan di tempat MTQ.
http://hilyatulqalam.wordpress.com

Jenis-jenis Kaligrafi Arab
1. Naskh atau Khot Naskhy





Naskh adalah salah satu skrip yang paling awal berkembang. Kemudian mendapatkan popularitas setelah didesain ulang oleh kaligrafer terkenal Ibnu Muqlah di abad ke-10. Karena sistem yang komprehensif Ibn Muqlah tentang proporsi, gaya Naskh menampilkan baris yang sangat ritmis.


Naskh kemudian telah direformasi oleh Ibn al-Bawaab dan lain-lain ke dalam script elegan layak Al-Quran – dan kebanyakan Alquran telah ditulis dengan Naskh dari pada semua skrip yang lain. Karena script ini yang relatif mudah untuk membaca dan menulisnya, Naskh menarik, khususnya untuk masyarakat umum.
Naskh biasanya ditulis dengan batang horizontal pendek – dan dengan kedalaman vertikal hampir sama di atas dan di bawah garis medial. Kurva yang penuh dan mendalam, lorong lurus dan vertikal, dan kata-kata umum dengan spasi yang baik . Saat ini, Naskh dianggap script tertinggi untuk hampir semua umat Islam dan Arab di seluruh dunia.
2. Khot Kaufi








Kufi adalah script imam yang dominan di masa awal. Saat itu dibuat setelah pembentukan dua kota Muslim Basrah dan Kufah dalam dekade kedua era Islam (AD abad ke-8). Script ini memiliki ukuran proporsional tertentu, bersama dengan kekakuan karena kekurusan diucapkan dan kuadrat. Ini dikenal sebagai al-Khat al-Kufi (Kufi script).


skrip Kufi telah berpengaruh besar pada semua kaligrafi Islam. Berbeda dengan vertikal rendah, Kufi memiliki garis horizontal yang diperpanjang. Script ini jauh lebih lebar daripada tinggi. Ini memberinya momentum dinamis tertentu. Script sering dipilih untuk digunakan pada permukaan oblong. Dengan yang Handasi mulia (geometri) konstruksi, Kufi bisa diadaptasi untuk setiap ruang dan bahan – dari kotak sutra ke monumen arsitektur yang ditinggalkan oleh Timur di Samarqand.


Karena skrip Kufi tidak dikenakan aturan ketat, ahli kaligrafi itu mempekerjakan hampir tangan bebas dalam konsepsi dan pelaksanaan hias yang bentuk.
Varian paling unik naskah Kufic adalah:
Al-Kufi al-Mukhammal:
menulis menonjol dengan latar belakang desain bunga dan geometris superimposing pergerakan script di atas pergerakan pola yang mendasari.
Al-Kufi al-Muzaffar:
Aliran dari campuran kata-kata indah dengan cara yang unik dengan pergerakan vertikal menekankan dan huruf tebal.
Al-Kufi al-Handasi:
Komposisi didasarkan pada bentuk geometri terjalinnya – termasuk lingkaran, kotak, dan segitiga – dengan kata-kata.
Kufic hias ini versi diaplikasikan pada permukaan benda-benda seni dan arsitektur termasuk permukaan plesteran, kayu, genteng, logam, kaca, gading, tekstil, dan batu bata.



Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah). 
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats (segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts. Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena khilafah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar peninggalan-peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian yang istimewa. Ia mempunyai perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur’an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’I yang menyalin al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun 1736. pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan dari Ta’liq adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di Kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikalnya yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman. Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq an Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya.


https://filosofdunia.wordpress.com

TERBENTUKNYA SENI LUKIS KALIGRAFI ISLAM DI INDONESIA

 Kamsidjo BU

Abstract

 Agama Islam masuk ke Indonesia abad VII Masehi yang dibawa oleh para saudagar Arab

 yang datang pertama kali di Indonesia lewat pesisir utara Sumatera.

 Dari sinilah terbentuk cikal bakal komunitas muslim yang ditengarai 

dengan pendirian Kerajaan Islam pertama di Aceh. Selanjutnya hampir semua corak seni

 budaya masyarakat Arab mempengaruhi budaya Indonesia, yang mencakup semua aspek

 bentuk kesenian, seni suara, musik, sastra, lukis, arca, tari, drama, arsitektur dan lain-lain. 

Seni kaligrafi menduduki posisi yang amat penting. Seni kaligrafi merupakan bentuk 

seni / budaya Islam yang pertama ditemukan di Indonesia dan menjadi aset budaya Islam

 terdepan hingga kini. Kaligrafi Islam dibedakan menjadi dua yaitu tulisan dan lukisan. 

Lukisan kaligrafi terbagi menjadi dua yaitu murni dan bebas, yang pertama i menggunakan 

bentuk huruf baku biasanya dibuat oleh lulusanpondok pesantren, sedangkan yang kedua

 tidak menggunakan huruf baku yang dikerjakan oleh seniman akademik. 

Aneka bentuk lukisan kaligrafi mengandung dua elemen, fisioplastis dan ideoplastis. 

Elemen fisioplastis berupa penerapan estetis menyangkut unsur-unsur rupa,

 bentuk, garis, warna, ruang, cahaya dan volume. Elemen ideoplastis meliputi semua masalah

 langsung/tidak yang berhubungan erat dengan isi atau cita perbahasaan bentuk. 

Diangkatnya kaligrafi sebagai tema sentral dalam melukis, menjadi sejarah penting

 terbentuknya lukisan kaligrafi Indonesia. Lukisan kaligrafi sangat diperhitungkan 

dalam kancah seni rupa Indonesia ketika muncul pendalaman-pendalaman spiritual, 

penghayatan, perenungan yang mengarah ke kedalaman kemanusiaan dan keTuhanan. 

Sadali dan AD Pirous layak dicatat sebagai pelopor lukisan kaligrafi Islam Indonesia tahun 

1960-an. Selanjutnya seni lukis kaligrafi berkembang pesat dengan tokoh seni Amri Yahya 

di Yogya, yang menggunakan medium batik, di Surabaya Amang Rahman menciptakan 

surealisme dengan mengambil kekuatan kaligrafi Islam. Momentum penting pameran seni 

rupa (seni lukis kaligrafi Islam) mulai marak di dalam maupun di luar negeri, antara 

lain pada tahun 1975 pameran lukisan kaligrafi pertama pada MTQ Nasional XI di Semarang, 

pameran pada Muktamar pertama media masa Islam sedunia tahun 1980 di senayan Jakarta, 

pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, kemudian pada pameran kaligrafi Islam 

Balai Budaya Jakarta tahun Hijriyah 1405 (1984), disusul pada MTQ XVI di Yogyakarta tahun 

1991. Sambutan masyarakat yang mayoritas Islam terhadap pameran-pameran itu tak diragukan. 

Momentum penting lainnya ketika diselenggarakan festifal Istiglal I (1991) dan II (1995) dengan 

tema utama seni lukis kaligrafi Islam, yang melibatkan para perupa di antaranya AD. Pirous, 

Amri Yahya, Hendra Buana, Salamun Kaulam, dan Syaiful Adnan. Mereka menampilkan aneka 

bentuk, gaya dan ragamnya dari tulisan hingga lukisan, dari ekspresi hingga transendensi illahi.

 journal.unnes.ac.id › Home › Vol 2, No 1 (2006) › BU

 

Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islami

 A. Pengertian Kaligrafi
Secara etimologi, kaligrafi merupakan penyederhanaan dari calligraphy 
(Inggris) yang berarti tulisan tangan yang sangat elok, tulisan indah. 
 Dalam bahasa Yunani, kata ini diambil dari kata kallos yang berarti beauty 
(indah) dan graphein yang artinya to write (menulis) berarti tulisan atau
 aksara. Dengan demikian kaligrafi dalam bahasa Yunani berarti tulisan yang 
indah atau seni tulisan indah. Sementara dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut
 khat yang berarti garis atau baris.
Secara terminologi para ahli berbeda dalam mendefinisikannya, 
Hakim al-Rum misalnya mengatakan, kaligrafi adalah geometri spiritual
 yang diekspresikan dengan perangkat fisik. Sementara Hakim al-Arab menutur
kan, kaligrafi adalah pokok dalam jiwa yang diekspresikan dengan indra. 
Batasan-batasan tersebut seiring pula dengan yang diungkapkan oleh 
Yaqut al-Musta’shimi bahwa kaligrafi adalah geometri rohaniah yang 
 dilahirkan dengan alat-alat jasmaniah. Sementara Ubaidillah bin Abbas
 mengistilahkan kaligrafi dengan lisân al-yadd atau lidahnya tangan. 
 Situmorang mengartikan kaligrafi sebagai suatu corak atau bentuk seni 
menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta 
dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Definisi kaligrafi yang lebih lengkap diungkapkan oleh
 Syekh Syamsuddin al-Akfani, sebagaimana dikutip Sirojuddin, 
yaitu suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, 
letak-letaknya dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang 
tersusun atau apa yang ditulis diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya
 dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu 
digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.
B. Sejarah Perkembangan Kaligrafi
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal
 balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, 
 Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang
 waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk 
mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk 
seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara 
perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan
 kebudayaan di lapangan kesenian.
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, 
dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam 
hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan
 dengan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat
 kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir 
dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang
 dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria 
dengan Fonogram/Tulisan Paku dan pelbagai negeri lain sudah terlebih 
dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat
 Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) 
yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan 
(komunikasi dari mulut ke mulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa
 diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya 
pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan 
al-Mu’alaqât (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa 
awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara tahun 250 M,
 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi 
yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati, yaitu
 huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama
 hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang 
mendiami Hirah dan Anbar, tulisan tersebut berkembang pemakaiannya 
ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.
1. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Salah satu bentuk tulisan yang digandrungi bangsa Arab adalah seni kaligrafi.
 Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota 
tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada 
tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan
 Madinah yaitu Mudawwar (bundar), mutsallats (segitiga) dan Ti’im (kembar
 yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang 
diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya muqawwar
 berciri lembut, lentur dan gaya mabsut berciri kaku dan terdiri dari goresan-
goresan tebal (rectilinear). Dua gaya ini pun menyebabkan timbulnya pembentu
kan sejumlah gaya lain lagi yang diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar)
 dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh terus berkembang, sedangkan 
Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi.
 Perkembangan Kufi  pun melahirkan beberapa variasi, baik pada garis vertikal
 maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamen
nya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq 
(berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith
Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif
 mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, 
baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunaannya. Dalam hal
 ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang paling termashyur mengembangkan
 tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu
 Thumar, Jalil, Nisf dan Tsuluts. Keempat tulisan ini saling melengkapi antara
 satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar
 yang berciri tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar 
(lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini
 digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan 
penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring
 digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena
 khalifah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian 
besar peninggalan-peninggalan demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa
 contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun
 Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada 
sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
2. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode 
ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan 
yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M) dan Ishaq 
ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775) dan al-Mahdi 
(775-786). Ishaq memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan
 Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligraf
er yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil
 menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar 
adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada 
Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan 
kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus 
geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam
 pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu: titik, huruf alif, dan lingkaran. 
Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut
 al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian
 enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, 
Muhaqqaq, Raihani, Riqa’ dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan 
Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang 
akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal 
 diantaranya Muhammad ibn as-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari 
dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu 
Bawwab (413 H) mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu 
Muqlah yang dikenal dengan al-Mansub al-Faiq (huruf bersandar yang indah).
 Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq
 secara radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga 
sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan 
metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi 
 terhadap enam gaya pokok yang masyhur tersebut. Yaqut adalah kaligrafer 
besar dimasa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun
 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman
 yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Ummayah. Para 
kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan 
 baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya 
kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani 
Abbasiyah daripada Bani Ummayah yang hanya mendominasi unsur ornamen 
floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan
 Sasania.
C. Perkembangan Kaligrafi di Belahan Barat Islam
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang
 di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat
 negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat
 Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya keligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh 
tentara Mongol dibawah komando Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, 
 perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari 
setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama 
Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu 
 juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum 
 terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an 
pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang 
dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Qur’an 
dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar,
 Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti al-Khan yang bertahan sampai abad ke-14 digantikan oleh Dinasti 
 Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa
 besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat 
perhatian istimewa. Ia mempunya perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur-an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’i yang menyalin al-Qur’an tahun 1408 dalam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan  menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera 
digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai
 tahun 1736. Pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp
 mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut 
 Ta’liq yang sekarang dikenal Khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan Ta’liq 
adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq
 akhirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk
 menyalin sastra Persia.
Di kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa
 tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris 
horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikal yang ramping.
 Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi
 tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. 
Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan
 Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oleh Dinasti 
Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti 
 ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti 
Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini 
 memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya 
 pada kalangan terpelajar dan seniman saja, tetapi juga beberapa sultan
 bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak segan-segan untuk 
 merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun
 dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai 
kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang
 melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah 
melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan 
dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. 
Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-Amiz, Diwani dan Diwani
 Jali. Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq 
dan Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-keperluan 
praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq. 
Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang
 kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif,
 dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-susun. Diwani kemudian
 dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut
 Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). 
Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya.
D. Perkembangan Kaligrafi di Indonesia
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui
 jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara 
sekitar abad ke-12 M. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa,
 Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi 
dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi kegiatan kreasi seniman 
Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti kayu, kertas, logam, 
 kaca dan media lainnya. Termasuk juga untuk penulisan mushaf-mushaf 
al-Qur’an tua dengan bahan kertas deluang dan kertas murni yang diimpor. 
Kebiasaan menulis al-Qur’an telah banyak dirintis oleh para ulama besar di 
pesantren-pesantren smenjak abad ke-16, meskipun tidak semua ulama dan 
santri yang piawai menulis kaligrafi dengan indah dan benar. Amat sulit 
mencari seorang khattat yang ditokohkan di penghujung abad ke-19 atau awal 
abad ke-20, karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya 
buku-buku pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi. Buku pelajaran
 tentang kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar 1961 karangan Muhammad
 Abdur Muhili berjudul “Tulisan Indah” serta karangan Drs. Abdul Karim 
Husein berjudul “Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab” 
tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan sosoknya lebih nyata dalam 
kitab-kitab atau buku-buku agama hasil goresan tangan mereka yang banyak 
di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H. Abdur Razaq Muhili, H. 
Darami Yunus, H. Salim bakary, H.M. Salim Fachry dan K.H. Rofi’i Karim.
 Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling muda 
dapat disebutkan antara lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K.
 Mahfudz dari Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq
 dan Muhammad Wasi’ Abdur Razaq, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi
 Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis
buku-buku kaligrafi dan mengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak hanya dikembangkan sebatas
 tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai dikembangkan dalam konteks
 kesenirupaan atau visual art. Dalam konteks ini kaligrafi menjadi jalan namun
 bukan pelarian bagi para seniman lukis yang ragu untuk menggambar mahluk 
hidup. Dalam aspek kesenirupaan, kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor 
fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta lengkungan ritmisnya yang luwes
 sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi secara terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai muncul pertama kali sekitar 
tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada pameran Lukisan Kaligrafi 
Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya MTQ Nasional XI di
 Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa Islam
 se-Dunia tahun 1980 di Balai Sidang Jakarta dan pameran MTQ Nasional XII
 di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran
 Kaligrafi islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Yahun Baru 
Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelopori kaligrafi lukis adalah Prof. Ahmad Sadali 
(Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung asal Aceh), Drs. H. Amri 
Yahya (Yogyakarta, asal Palembang) dan H. Amang Rahman (Surabaya) 
 dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra
 Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan
 bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkan dari 
kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara 
mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan.
 Kehadiran seni lujkis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan
 reaksi, bahkan reaksi itu seringkali keras dan menjurus pada pernyataan 
perang. Namun apapin hasil dari reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi
 dianggap para khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal
 ragam-ragam media dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka
 khalayak. Kekurangan mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis
 mengolah karya mereka adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang
 ternyata lebih atau hanya dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia adalah dimasukkannya seni ini 
menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even Musabaqah Tilawatil
 Qur’an (MTQ). Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ 
Nasional XII 1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983. 
Pada even tersebut, seorang khattath menulis tiga kategori sekaligus: Naskah, 
Hiasan, dan Dekorasi, maka dikenal istilah ‘Three in One”. Baru pada 
pelaksanaan MTQ Nasional di Bandar Lampung tahun 1988 (atau di 
Yogyakarta tahun 1991) konsep “Three in One” dihapus. Barangkali dengan
 mempertimbangkan profesionalitas (baca: spesialisasi) dan kesemarakan
 musabaqah. Di antara para khattath golongan penulisan Naskah yang telah 
menjuarai MKQ tingkat Nasional adalah Mahmud Arham (1991, Jawa Barat),
 Nur Aufa Soddiq (Jawa Tengah), Muhammad Noor Syukron (1994, Jawa 
Tengah), Ahmad Hawi Hasan (1997, Jawa Barat), dan Isep Misbah (2000, DKI 
Jakarta).
E. Genealogi dan Landasan Epistemologi Kaligrafi
Secara genalogis, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang 
mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-
cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab
 mencatat, bahwa Nabi Adam-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. 
Pengetahuan tersebut datang dari Allah Swt, sebagaiman firman-Nya dalam
 surat al-Baqarah ayat 31:

“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
 mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
 nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” 
(QS. Al-Baqarah [2]: 31)


Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak
 yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. 
Nama Sansekerta adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para
 dewa”. Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan akibat pergeseran zaman 
dan perubahan watak manusia.


Akhirnya muncullah tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi
 yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada 
benda-benda tertentu seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar
 yang mengandung lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu
 yang diasosiasikan dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal 
 pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk 
membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang 
dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.


Pada mulanya, tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar. 
Kaligrafi Mesir Kuno yang disebut Hieroglyph berkembang menjadi Hieratik, yang 
dipergunakan oleh pendeta-pendeta Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf 
Hieratik muncul huruf Demotik yang dipergunakan oleh rakyat umum selama beberapa 
ribu tahun. Tulisan yang ditemukan 3200 SM di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa
 kata-kata terputus seperti tulisan paku, tetapi disederhanakan dalam bentuk-bentuk 
gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian
 yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal kaligrafi Arab. 
 Dari cikal bakal ini kemudian berkembang menjadi berbagai model dan aliran kaligrafi
 sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya.


Sementara terkait dengan landasan epistemologis, kaligrafi menemui jalan buntu
 karena ia termasuk dalam wilayah kajian seni Islam. Kebuntuan tersebut muncul dari 
ambivalensi sikap kaum muslim sendiri dalam menangani persoalan dunia seni. Di satu
 sisi, sebagian besar orang Islam, dapat dipastikan, akan mengatakan bahwa Islam 
sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Dengan penuh semangat 
mereka akan menunjukkan berbagai argumentasi (dalil) baik secara rasio (akal) bahwa
 Al-Qur’an sendiri mengandung nilai artistik, secara historis bahwa hingga kini tilawah
 Al-Qur’an dan khath atau kaligrafi tersebar luas di dunia Islam, maupun secara naqli 
semacam hadis yang mengatakan bahwa “Allah Swt itu indah dan menyukai 
keindahan“.


Dalam konteks kaligrafi pun demikian, para ulama terbagi menjadi dua aliran utama. 
Kelompok mayoritas (jumhur) membenarkan dan membolehkan tulisan kaligrafi, 
sementara sebagian kecil melarang dan mengharamkannya. Diantara argumentasi 
yang diungkapkan oleh kelompok mayoritas adalah firman Allah Swt:
 “Nun, demi qalam (pena) dan apa yang mereka tulis.” (QS. Al-Qalam [68]: 1)
Ketika menafirkan ayat ini, Ibnu Katir mengatakan bahwa yang dimaksud 
dengan kata al-Qalam adalah alat yang digunakan untuk menulis. Ayat ini 
 seperti firman Allah Swt dalam QS. Al-’Alaq [96] ayat 1-5. Sumpah pada ayat 
di atas (wa al-qalami) merupakan peringatan bagi umat manusia atas nikmat
 berupa keahlian menulis yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diperoleh. 
Karena itu, redaksi selanjutnya berbunyi wa mâ yasthurûn (dan apa yang 
mereka tulis).
Berdasarkan ayat ini maka menulis, termasuk di dalamnya menulis kaligrafi, 
masuk dalam cakupan perintah menulis dalam ayat tersebut di atas dan ayat
 1-5 surat Al-’Alaq. Keumuman redaksi yang digunakan dalam dua surat 
tersebut mengindikasikan bahwa Allah Swt tidak melarang sesorang menulis
 dengan gaya apapun, termasuk dengan model kaligrafi. Bahkan pemilihan 
kata al-Qalam (pena) sendiri mengindikasikan bahwa tulisan yang digoreskan 
harus benar dan indah. Sebab diantara makna turunan kata al-qalam adalah 
keteraturan, kebersihan dan keindahan.
Terkait perintah menulis ini, Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa 
mempelajari tulisan atau belajar menulis adalah salah satu cara untuk 
mendapat kemuliaan dan kehormatan. Maka, hendaklah kita belajar menulis, 
sebab orang yang bisa menulis berarti telah memperoleh kemuliaan, 
sementara orang yang tidak bisa menulis berarti telah mendapatkan kerugian.
 Namun kemampuan menulis sebaiknya digunakan untuk menulis hal-hal yang
 baik dan bermanfaat, dan tidak digunakan untuk menulis sesuatu yang 
membawa madharat dan bahaya bagi sesama.
Dasar kedua adalah beberapa hadis Nabi Saw tentang perintah menulis 
Al-Qur’an dan mengajarkannya. Juga hadis yang berbunyi bahwa:
إن الله جميل يحب الجمال.
“Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan.”
Redaksi hadis ini sangat jelas bahwa Allah itu Maha Indah dan mencintai
 keindahan. Karenanya tulisan kaligrafi adalah salah satu bentuk ekspresi 
keindahan yang diungkapkan seorang hamba. Sepanjang tulisan kaligrafi
 tersebut tidak melanggar kaidah-kaidah bahasa Arab, maka ia dibolehkan dan
 bahkan dalam kondisi tertentu diwajibkan. Hal ini sebagai salah satu bentuk 
pengamalan dari hadis tersebut.
Secara historis, tradisi menulis kaligrafi juga diamini dan bahkan 
dikembangkan oleh umat Islam sejak zaman klasik. Kemudian tradisi ini 
secara terus menerus mengalami perkembangan cukup pesat seiring dengan
 detak nadi zaman. Oleh karena alasan-alasan itulah maka mayoritas ulama 
membolehkan tulisan kaligrafi. Namun demikian, sebagian kalangan 
memberikan catatan, agar tulisan kaligrafi –khususnya yang berisi ayat-ayat
 Al-Qur’an- tidak dikomersialisasikan secara berlebihan (israf), karena hal itu 
dikhawatirkan dapat merusak nama baik Islam dan memporandakan 
sakralitas Al-Qur’an. Juga tidak boleh dijadikan atau diyakini sebagai sesuatu
 yang memiliki kekuatan magis, karena dikhawatirkan akan menjerumuskan 
umat kedalam kemusyrikan.
Di sisi lain, kelompok minoritas muslim –khususnya kelompok ekstrim kanan
- bahkan melarang dan mengharamkan kaligrafi dengan berbagai argumentasi.
 Salah satunya adalah, tulisan kaligrafi diimpor dari tradisi tulis menulis yang 
berkembang di kalangan Yahudi dan Nasrani, sementara Islam otentik –
menurut mereka- tidak memiliki ajaran seperti itu. Islam hanya mengajarkan
 membaca dan menulis tanpa menjelaskan secara tegas model tulisannya. 
Ini berarti bahwa kaligrafi tidak termasuk bagian dari ajaran Rasul Saw. 
Sementara fenomena tulisan kaligrafi yang dikembangkan pada masa dinasti
 Islam pasca Rasul sejatinya tidak bersumber dari ajaran Islam yang orisinil.
F. Tipologi Kaligrafi
Secara garis besar, kaligrafi dapat dikelompokkan menjadi dua aliran utama,
 yaitu kaligrafi “murni” dan “lukisan” kaligrafi. Pertama, kaligrafi murni 
dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah 
ditentukan dengan ketat, yakni bentuk yang tetap berpegang pada rumus-
rumus dasar kaligrafi (khath) yang baku. Kaligrafi murni ini dapat dibedakan
 dengan jelas aliran-aliran seperti Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Diwani 
Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah. Penyimpangan atau pencampuradukkan satu
 dengan yang lain dipandang sebagai suatu kesalahan, karena dasarya tidak 
cocok dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan.
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa suatu hasil karya kaligrafi murni 
tidak boleh mencampuradukkan gaya dalam penulisan kaligrafi misalnya, 
Naskhi, Riq’ah dan Tsuluts dijadikan satu. Hal itu tidak boleh terjadi, karena 
merupakan “pelanggaran”. Selanjutnya menurut Situmorang, bahwa suatu 
gaya kaligrafi sudah ditentukan secara ketat peraturan penulisannya.
 Keserasian antar huruf, cara merangkai, sentakan, bahkan jarak sepasi 
harus diperhitungkan dengan serasi. Teknik penulisan tiap-tiap kaligrafi 
atau khath juga mempunyai cara yang berbeda-beda.
Kedua, lukisan kaligrafi adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil 
karya lukis, atau coretan kaligrafi yang “dilukis-lukis” sedemikian rupa –
biasanya dengan kombinasi warna beragam, bebas dan (umumnya) tanpa mau 
terikat dengan rumus-rumus baku yang sudah ditentukan. Model inilah yang
 digolongkan ke dalam aliran kaligrafi kontemporer. Kaligrafi kontemporer 
adalah istilah atau sebutan untuk sebuah karya yang “memberontak” atau 
“menyimpang” dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang merupakan bentuk 
manifestasi gagasan dalam wujud visual. Secara estetika kaligrafi kontemporer
 mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan 
secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan hadis, yang membawa muatan 
artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi 
lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan
 (media dakwah).
Menurut Affandi, lukisan kaligrafi adalah karya cipta manusia sebagai hasil 
pengolahan ungkapan batinnya melalui susunan unsur-unsur tulisan dan 
unsur-unsur dwi marta yang lain, yang memiliki sifat-sifat simbolik, religius,
 dan estetik. Membawa pesan kebaikan antara hubungan manusia dengan 
Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam. Jadi, setiap
 lukisan kaligrafi memiliki kebebasan dalam gaya atau corak tulisan sehingga 
tercipta suatu kesatuan bentuk lukisan yang sesuai dengan keinginan 
penciptanya. Medium untuk penciptaan karya lukisan kaligrafi pun sangatlah
 bebas, sebebas medium yang digunakan pada karya-karya lukisan umumnya.
 Lukisan kaligrafi dapat ditampilkan dengan teknik cat minyak, cat air, batik 
bahkan dengan berbagai teknik eksperimen klasik maupun modern.
 anshar-mtk.blogspot.com/.../sejarah-perkembangan-kaligrafi-islami.html

Sejarah Perkembangan Kaligrafi
 A.    Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam
Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti indah, dan “graph” 
yang berarti tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab tulisan indah berarti “khath” 
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “calligraphy”. Arti seutuhnya kata kaligrafi 
adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya 
dan cara-cara penerapannya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis 
di atas garis-garis sebagaimana menulisnya dan membentuknya mana yang tidak perlu ditulis, 
mengubah ejaan yang perlu diubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya.
 Sedangkan pengertian kaligrafi menurut Situmorang yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis
 indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni 
yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat
 jasmani. Kaligrafi atau khath, dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata
 pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama 
 disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi yang lebih mengagumkan
 adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama 
diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang tertuang dalam al-Qur’an surat
 al-‘Alaq ayat 1-5, yaitu:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari
 segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (mausia)
 dengan parantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”.
Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Dapat
 juga dikatakan bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu tersebut 
merupakan “sarana” al-Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk 
membaca dan menulis.
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang 
siapa yang
 mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah 
yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah
 yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, 
sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang
 percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sanskerta adalah
 Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya 
mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir 
dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu
 seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-
lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan dengan bunyi
 ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta 
sistem atau aturan tertentu untuk membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir
 Kuno atau sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar. Kaligrafi Mesir Kuno yang
 disebut Hieroglyph berkembang menjadi Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta 
Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik yang dipergunakan
 oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun. Tulisan yang ditemukan 3200 SM di lembah Nil
 ini bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku, tetapi disederhanakan dalam
 bentuk-bentuk gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat
 pengertian yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal kaligrafi 
Arab.

B.    Kaligrafi Murni dan Lukisan Kaligrafi
Seni kaligrafi merupakan kebesaran seni Islam, yang lahir di tengah-tengah dunia arsitektur.
 Hal ini dapat dibuktikan pada aneka ragam hiasan kaligrafi yang memenuhi masjid-masjid dan 
bangunan-bangunan lainnya, yang diekspresikan dalam paduan ayat-ayat suci Al-Qur’an, 
Al-Hadits atau kata-kata hikmah. Demikian juga mushaf Al-Qur’an banyak ditulis dengan 
berbagai corak kaligrafi.
Berdasarkan eksistensi tulisan (huruf Arab) pada saat pengekspresiannya, dibedakan 
pengertian antara kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi. Keduanya agak berjauhan satu sama lain. 
Kaligrafi murni adalah seni tulis indah yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan 
dengan ketat, yaitu bentuk-bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi yang
 baku (kaidah khathiyah). Di sini dapat dibedakan dengan jelas aliran-aliran seperti Naskhi,
 Tsuluts, Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah.1 Penyimpangan atau 
pencampuradukkan satu dengan yang lain dipandang sebagai suatu kesalahan, karena dasarya
 tidak cocok dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan. Jelaslah, bahwa suatu hasil karya 
kaligrafi tidak boleh mencampuradukkan gaya dalam penulisan kaligrafi misalnya, Naskhi, 
Riq’ah dan Tsuluts dijadikan satu. Hal itu tidak boleh terjadi, karena merupakan “pelanggaran”. 
Selanjutnya menurut Situmorang, bahwa suatu gaya kaligrafi sudah ditentukan secara ketat 
peraturan penulisannya. Keserasian antar huruf, cara merangkai, sentakan, bahkan jarak sepasi
 harus diperhitungkan dengan serasi. Teknik penulisan tiap-tiap kaligrafi atau khath juga
 mempunyai cara yang berbeda-beda.
Dewasa ini kaligrafi murni atau kaligrafi klasik telah banyak mendapat perhatian dan
 dikembangkan ke dalam bentuk lukisan kaligrafi (kaligrafi ekspresif atau kontemporer).
 Istilah “lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari “kaligrafi murni”
 atau “kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaidah-kaidah khathiyah. Pengertian lukisan yaitu suatu pengucapan pengalaman artistik yang ditumpahkan dalam 
bidang dua dimensional dengan menggunakan warna dan garis.15 Lukisan adalah suatu
 bentuk ungkapan batin seseorang dari hasil suatu pengolahan ide berbakat pengalaman
 indrawi maupun pengalaman jiwa melalui susunan unsur-unsur estetis dengan ukuran dwi
 marta (dua dimensi). Ungkapan atau pernyataan batin yang juga disebut ekspresi dalam 
suatu karya seni, haruslah memiliki nilai kebebasan dan mengandung unsur keindahan. 
Tampilnya keindahan tidak selalu dalam pewujudan fisik dan visual semata-mata, tetapi 
dapat pula secara moral (perasaan) atau secara kedua-duanya. Sedangkan yang dimaksud
 dengan lukisan kaligrafi adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis,
 atau coretan kaligafi yang dilukis sedemikian rupa dengan menggunakan warna-warna yang
 beragam, bebas dan tidak terikat oleh rumus-rumus baku yang ditentukan. Menurut Situmorang
, lukisan kaligrafi adalah suatu bentuk atau corak seni kaligrafi yang dieksperimenkan ke dalam
 bentuk lukisan yang dikombinasikan dengan warna-warna, huruf dan corak tulisannya 
cenderung memiliki gaya atau corak yang bebas dan lepas dari kaidah-kaidah yang telah
 digariskan dalam kaligrafi yang baku.
Lukisan kaligrafi merupakan seni lukis yang menampilkan aksara Arab sebagai subject-matter
 (sasaran) utuh atau sebagian, atau mengambil beberapa huruf saja. Secara prinsip kaligrafi
 lukis (lukisan kaligrafi) berbeda dengan kaligrafi tulis (kaligrafi murni). Pada lukisan kaligrafi
 terdapat sejumlah kebebasan dalam berekspresi. Sedangkan dalam kaligrafi tulis, dikenal 
beberapa macam ketentuan pokok dan rumus-rumus baku. Lukisan kaligrafi secara mendasar
 berbeda dengan lukisan biasa. Di samping si pelukis harus memiliki niat suci dan hati bersih,
 pemilihan medianya pun harus benar dan tepat. Oleh karena itu, pengertian lukisan kaligrafi 
Islam tidak selalu menunjukkan kepada pengembangan gaya-gaya kaligrafi (kontemporer 
maupun klasik baku) dalam arti huruf seperti dalam kriterium al-Faruqi. Fokus lukisan kaligrafi
 tidak hanya selesai pada huruf, tetapi kehadirannya memang sebagai “lukisan” dalam arti yang
 sesungguhnya, seperti yang di kemukakan pelukis kaligrafi Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa
 Dan Suwaryono menandaskan bahwa lukisan kaligrafi pada dasarnya ditopang dua unsur 
elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, 
cahaya, dan volume) di satu pihak, dan di pihak lain tuntutan-berupa tuntunan yang cenderung
 ke arah idio plastis (meliputi semua masalah yang secara langsung maupun tidak langsung
 berhubungan dengan isi atau cita pembahasan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah,
 “lukisan” kaligrafi tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi juga sebagai 
sebuah lukisan utuh yang menjadikan huruf sebagai salah satu elemennya.
Menurut Affandi, lukisan kaligrafi adalah karya cipta manusia sebagai hasil pengolahan 
ungkapan batinnya melalui susunan unsur-unsur tulisan dan unsur-unsur dwi marta yang lain,
 yang memiliki sifat-sifat simbolik, religius, dan estetik. Membawa pesan kebaikan antara
 hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam.
 Jadi, setiap lukisan kaligrafi memiliki kebebasan dalam gaya atau corak tulisan sehingga
 tercipta suatu kesatuan bentuk lukisan yang sesuai dengan keinginan penciptanya. Dari
 pengkajian makna peristilahan tersebut dapat dikatakan: Pertama, lukisan kaligrafi bukan 
sekedar sebagai seni tulisan indah. Kedua, melalui kebebasan ekspresi estetik, seni tulisan
 indah kemudian dengan kreasi bentuk dan susunan huruf-huruf dilengkapi dengan unsur-unsur
 lain menjadi karya lukisan. Ketiga, lukisan merupakan bahasa dari pelukisnya. Bahasa adalah
 media komunikasi. Lukisan dengan unsur-unsurnya adalah merupakan wujud perlambang yang
 digunakan oleh pelukis untuk mengutarakan isi hatinya dengan pesan-pesannya. Keempat,
 lukisan kaligrafi perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Islami. Karena 
itulah lukisan kaligrafi mengekspresikan keagamaan. Medium untuk penciptaan karya lukisan 
 kaligrafi sangatlah bebas, sebebas medium yang digunakan pada karya-karya lukisan 
umumnya. Lukisan kaligrafi dapat ditampilkan dengan teknik cat minyak, cat air, batik bahkan
 dengan berbagai teknik eksperimen klasik maupun modern.
Banyak sedikitnya unsur tulisan dalam karya lukisan kaligrafi tidak menjadi masalah.
 Yang penting adalah keterpaduan dan keselarasan dapat tercapai. Karena yang ditulis
 adalah ayat-ayat Al-Qur’an, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai merubah arti dan
 makna ayat tersebut. Dalam penampilannya, lukisan kaligrafi dapat bercorak realis, surealis, 
dekoratif sampai yang bercorak semi abstrak.
C.    Kaligrafi Kontemporer
Kaligrafi yang dikenal dalam bentuk ragamnya sekarang, mempunyai asal-usul yang cukup
 panjang dan berliku. Perkembangannya telah dimulai sejak berabad-abad yang lampau, 
dimulai dari pemerintahan Dinasti Ummayah (661-750 M) dengan pusatnya di Damaskus, Syria
 sampai pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) dengan pusatnya di Bagdad, 
dan berlanjut lagi pada masa-masa pemerintahan Fatimiyah (969-1171 M), pemerintahan Ayyub
 (1771-1250 M), pemerintahan Mameluk (1250-1517 M) dengan pusatnya di Mesir, 
pemerintahan Usmaniah (1299-1922 M) dan pemerintahan Safavid Persia (1500-1800 M). 
Demikian lamanya pengembangan kaligrafi Islam berlangsung hingga mencapai 
kematangannya.
Dalam perjalanannya, kaligrafi Arab yang lebih sering menjadi alat visual ayat-ayat al-Qur’an, 
tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus berstandar (al-khath al-mansub) olahan Ibnu Muqlah yang
 sangat ketat. Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan lingkaran 
untuk mendesain huruf-huruf itu mencerminkan “etika berkaligrafi” dan kepatuhan pada “kaidah 
murni” aksara Arab. Namun, belakangan muncul gerakan yang menjauhkan diri dari kebekuan
 ikatan-ikatan tersebut. Kreasi mutakhir yang “menyimpang” dari grammar lama ini populer 
dengan sebutan “kaligrafi kontemporer”, merujuk pada gaya masa kini yang penuh dinamika
 dan kreatifitas dalam mencipta karya yang serba aneh dan unik, seperti karya-karya kaligrafis
 yang dibuat di atas kayu, kanvas lukis, atau bahan lain yang menggambarkan beberapa ayat 
Al-Qur’an atau Hadits Nabi, atau karya mandiri dari seniman.
Munculnya kaligrafi kontemporer lebih dipengaruhi oleh perkembangan seni rupa Barat yang
 mengarah pada kebebasan dalam berkarya. Wujud yang ingin ditampilkan adalah nilai-nilai 
artistik baru secara tersurat dengan menafikan aturan-aturan lama (rumus-rumus dasar kaligrafi)
, tanpa ingin menyuguhkan makna-makna baru secara tersirat dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an.
Ciri-ciri yang telihat dalam kaligrafi kontemporer adalah pada konsep “kebebasan” berkarya, 
baik karakter huruf yang ditampilkan maupun media yang digunakan. Salah satunya adalah
 seperti yang ingin ditampilkan dalam karya seni lukis kaligrafi.
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet 
nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat)
 masih tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah
 mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir 
dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara 
Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku,
 dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat
 dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah)
 yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari
 mulut kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan
 baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai 
pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam 
memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M 
menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa
 huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam
 rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab
 Utara yang mendiami Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke 
wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab. Perkembangan kaligrafi pada tiap-tiap priode:
1. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat 
dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang
 berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), 
Mutsallats (segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun
 hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya Muqawwar 
berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal
 (rectilinear). Dua gaya inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain 
lagi diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan
 Naskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh
 perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis
 vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya.
 Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar
 (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif
 mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal 
keragaman gaya baru maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab 
agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif adalah
 Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts.
 Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi
 lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan pena besar pada
 tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini
 digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen
 resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena khilafah 
pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar peninggalan-
peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa
 seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah 
Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam
 dan lain-lain.
2. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin
 banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa 
Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah
 al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar 
bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. 
Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil
 menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu
 Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah
 berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler 
tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku
 dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya 
setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan 
yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-
Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang merupakan tulisan 
kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang 
akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad 
ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer
 bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh 
Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempun
yai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun
 karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan 
fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru dalam
 penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur
 itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini
 pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat
 nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah
 sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang 
tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan 
arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur 
ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
3. Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah 
timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib)
 yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). 
Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang 
dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol 
dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera 
bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah
 memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu
 juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan 
seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya.
 Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi
 yang menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, 
Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah yan
g didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk
 Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian yang istimewa. Ia mempunyai 
perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur’an. Hal ini dilanjutkan 
oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad 
al-Tughra’I yang menyalin al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera 
Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh
 Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun 1736. pendirinya Shah Ismail
 dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi
 baru yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan
 dari Ta’liq adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya 
menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di Kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya
 Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang 
kontras dengan garis vertikalnya yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan
 corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya 
Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. 
Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman)
 di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya 
selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah
 ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan 
terpelajar dan seniman tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer.
 Mereka tidak segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka 
gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai 
 kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan
 beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman. Perkembangan kaligrafi Turki sejak 
awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, 
berpatokan dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang 
 paling penting adalah Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk
 patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq an Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya 
dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan
 dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang kemudian
 disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang 
dominan melengkung dan bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan 
melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai 
Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para 
muridnya.
D. Contoh beberapa kaligrafi
akhmadbukhori.blogspot.com/2013/.../sejarah-perkembangan-kaligrafi.h...
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar