Rabu, 29 Oktober 2014

Sejarah hadits

Masa pembentukan Al Hadist

Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi'in(satu generasi dibawah sahabat) . Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi'ut tabi'in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).
Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Di antara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun di antara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.
Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba'ah Ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist.
Meski pada masa itu Al Hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di antaranya ialah :
  1. 'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
  2. 'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).

Masa penggalian

Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan di antara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.

Masa penghimpunan

Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan di antara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidahdengan membuat Al Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakniMuhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliauAz Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan mana yang Mardud. Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain:
  • di Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
  • di Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
  • di Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
  • di Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
  • di Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
  • di Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
  • di Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
  • di Kufah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
  • di Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
  • di Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
  • di Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
  • Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab pada masa Abad II Hijriyah ini, adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu', mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu'.

Masa pendiwanan dan penyusunan

Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu', mauquf dan maqtu'. Al Hadits marfu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut di antaranya dilakukan oleh :
  • Ahmad bin Hambal
  • 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
  • Musaddad Al Bashri
  • Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
  • 'Utsman bin Abi Syu'bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 di antaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla'if dan 4 hadist maudlu'.
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah :
Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M)
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami'ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
  • Kitab Shahih - (Shahih BukhariShahih Muslim) - berisi Al Hadits yang shahih saja
  • Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla'if yang tidak munkar.
  • Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits,menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya.
SUMBER:http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_hadits

Hadits


Hadits (ejaan KBBIhadisbahasa Arabالحديث Tentang suara ini dengarkan , transliterasi: Al-Hadîts), adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Kedudukannya yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:
  • Al-Qur'an
  • Hadits
  • Ijtihad:
    • Ijma (kesepakatan para ulama),
    • Qiyas (menetapkan suatu hukum atas perkara baru yang belum ada pada masa Nabi Muhammad hidup).
    • Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad S.A.W.
      Menurut istilah ulama ahli hadits,[siapa?] hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad S.A.W, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arabtaqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arabbi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
      Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad S.A.W yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]
    • Struktur hadits[sunting | sunting sumber]

      Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
      Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah S.A.W bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (hadits riwayat Bukhari)

      Sanad[sunting | sunting sumber]

      Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu'bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
      Al-Bukhari --> Musaddad --> Yahya --> Syu’bah --> Qatadah --> Anas --> Nabi Muhammad S.A.W
      Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
      Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :
      • Keutuhan sanadnya
      • Jumlahnya
      • Perawi akhirnya
      Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
      Rawi
      Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat rawi yang ideal adalah:
      • Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta
      • Tidak banyak salahnya
      • Teliti
      • Tidak fasik
      • Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
      • Bukan ahli bid'ah
      • Kuat ingatannya (hafalannya)
      • Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
      • Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada jamannya.
      Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli hadits yang semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadits di masa-masa yang berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya dinamakan maj'hul, dan hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.

      Matan[sunting | sunting sumber]

      Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
      "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
      Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah:
      • Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
      • Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

      Klasifikasi hadits[sunting | sunting sumber]

      Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).

      Berdasarkan ujung sanad[sunting | sunting sumber]

      Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’:
      • Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad S.A.W (contoh: hadits di atas)
      • Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal dari Nabi atau sekedar pendapat para sahabat. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat adalah seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama Rasulullah", maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
      • Hadits Maqthu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para tabi'in (penerus) atau sebawahnya. Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
      Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah S.A.W dari ucapan para sahabat maupun tabi'in di mana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).

      Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad[sunting | sunting sumber]

      Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni MusnadMursalMunqathi’Mu’allaqMu’dlal dan Mudallas. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.
      Ilustrasi sanad: Pencatat hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 (tabi'ut tabi'in) > Penutur 2 (tabi'in) > Penutur 1 (para shahabi) > Rasulullah
      • Hadits Musnad. Sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Urut-urutan penutur memungkinkan terjadinya penyampaian hadits berdasarkan waktu dan kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini telah saling bertemu dan menyampaikan hadits. Hadits ini juga dinamakanmuttashilus sanad atau maushul.
      • Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah S.A.W (contoh: seorang tabi'in (penutur 2) mengatakan "Rasulullah berkata..." tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
      • Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
      • Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
      • Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak ada sanadnya. Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
      • Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan "..si A berkata .." atau "Hadits ini dari si A.." tanpa ada kejelasan "..kepada saya.."; yakni tidak tegas menunjukkan bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, atau hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

      Berdasarkan jumlah penutur[sunting | sunting sumber]

      Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
      • Hadits Mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan generasi (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
      • Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
        • Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin terdapat banyak penutur)
        • Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak)
        • Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih banyak) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Dinamai juga hadits mustafidl.

      Berdasarkan tingkat keaslian hadits[sunting | sunting sumber]

      Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, dla'if dan maudlu'.
      • Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
        1. Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
        2. Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
        3. Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh) dan beragama Islam.
        4. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (’illat).
      • Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun ada sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat.
      • Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
      • Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.

      Jenis-jenis lain[sunting | sunting sumber]

      Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
      • Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja dan rawi itu dituduh berdusta.
      • Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya/jujur.
      • Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat). Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).
      • Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama atau bahkan kontradiksi dengan yang dikompromikan
      • Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad (silsilah)
      • Hadits Gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
      • Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh rawi, misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi S.A.W
      • Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya namun bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari rawi-rawi yang lain. Hadits syadz bisa jadi berderajat shahih, akan tetapi berlawanan isi dengan hadits shahih yang lebih kuat sanadnya. Hadits yang lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadits Mahfuzh.

      Hadits Qudsi[sunting | sunting sumber]

      Hadits qudsi ialah hadits yang berisi perkataan Rasulullah S.A.W mengenai firman Allah yang diwahyukan secara langsung. Makna hadits ini berasal dari Allah, akan tetapi --berbeda dengan Alquran--, kata-katanya adalah kata-kata Rasulullah. Hadits qudsi ini, sebagian, kemudian disampaikan kepada sahabat-sahabat Rasul yang tertentu. Karenanya, tingkat kesahihan hadits qudsi ini serupa dengan hadits yang lain-lain, dan diukur dengan cara yang serupa pula di atas.

      Penulis hadits[sunting | sunting sumber]

      Yakni ahli-ahli hadits yang mengumpulkan, mendaftar, menyeleksi dan menuliskan hadits-hadits dalam suatu kitab hadits. Dikenal sebagai mudawwin atau mukharrij.

      Sampul kitab haditsSahih Bukhari

      Periwayat umat Muslim[sunting | sunting sumber]

      Periwayat umat Syi'ah[sunting | sunting sumber]

      Umat Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad S.A.W, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi ThalibSyi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, yang melawan Ali padaPerang Jamal.
      Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
      • Ushul al-Kafi
      • Al-Istibshar
      • Al-Tahdzib
      • Man La Yahduruhu al-Faqih

      Beberapa istilah dalam ilmu hadits[sunting | sunting sumber]

      Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
      • Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan hadits Bukhari dan Muslim
      • As-Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam AhmadImam BukhariImam MuslimImam Abu DaudImam TurmudziImam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
      • As-Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut di atas selain Ahmad bin Hambal (Imam Ibnu Majah)
      • Al-Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
      • Al-Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
      • Ats-Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

      Pembentukan dan Sejarahnya[sunting | sunting sumber]

      Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku hadits. Itulah pembentukan hadits.

      Masa pembentukan hadits[sunting | sunting sumber]

      Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi Muhammad sempat melarang penulisan hadits agar tidak tercampur dengan periwayatan Al Qur'an, namun setelah beberapa waktu, beliau Shalallahu alaihi wassallam membolehkan penulisan hadits dari beberapa orang sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dllnya. Periode ini dimulai sejak muhammad diangkat sebagai nabi dan rosul hingga wafatnya (610M-632 M)

      Masa Penggalian[sunting | sunting sumber]

      Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini hadits belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas'ud, dllnya.. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

      Masa penghimpunan[sunting | sunting sumber]

      Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.

      Masa pendiwanan dan penyusunan[sunting | sunting sumber]

      Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-4 Hijriyah.

      Kitab-kitab hadits[sunting | sunting sumber]

      Abad ke-2 Hijriyah[sunting | sunting sumber]

      Beberapa kitab yang terkenal:
      1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
      2. Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
      3. Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi'i
      4. Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
      5. Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
      6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
      7. Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
      8. As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
      9. As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
      Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadits. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.

      Abad ke-3 H[sunting | sunting sumber]

      • Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
      1. Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
      2. Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
      3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
      4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
      5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
      6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
      7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)

      Abad ke-4 H[sunting | sunting sumber]

      1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
      2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
      3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
      4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
      5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
      6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
      7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
      8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
      9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
      10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
      11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)

      Abad ke-5 H dan selanjutnya[sunting | sunting sumber]

      • Hasil penghimpunan
      1. Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
      2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)
      • Bersumber dari kutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
      • Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
      • Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
      • Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
      1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
      2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
      3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
      4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
      5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
      6. 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
      7. Al Muharrar oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
      • Kitab Al Hadits Akhlaq
      1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
      2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
      • Syarh (semacam tafsir untuk hadits)
      1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
      2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam An-Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
      3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
      4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh Asy-Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
      5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash-Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
      • Mukhtashar (ringkasan)
      1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
      2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
      • Lain-lain
      1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
      2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits