Kebangkitan Fatimiyah
atimiyah berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia ("Ifriqiya") namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibukotanya dipindahkan ke Kairo.
Di masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina,Suriah, Yaman, dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.
Fatimiyah didirikan pada 909 oleh ˤAbdullāh al-Mahdī Billa, yang melegitimasi klaimnya melalui keturunan dari Nabi Muhammaddari jalur Fāthimah az-Zahra dan suaminya ˤAlī ibn-Abī-Tālib, {Imām Shīˤa pertama. Oleh karena itu negeri ini bernama al-Fātimiyyūn "Fatimiyah".
Dengan cepat kendali Abdullāh al-Mahdi meluas ke seluruh Maghreb, wilayah yang kini adalah Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, yang diperintahnya dari Mahdia, ibukota yang dibangun di Tunisia.
Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibukota baru di al-Qāhirat "Sang Penunduk" (Kairo modern)- rujukan pada munculnya planet Mars. Mereka terus menaklukkan wilayah sekitarnya hingga mereka berkuasa dari Tunisia ke Suriah dan malahan menyeberang ke Sisilia dan Italia selatan.
Tak seperti pemerintahan di sama, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripadaketurunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalampemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan (pengecualian pada sikap umum toleransi ini termasuk "Mad Caliph" Al-Hakim bi-Amrillah).
Kejatuhan
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara pada masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islām Sunnī, yang menimbulkan serangan Banū Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir.
Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa Zengid Nūr ad-Dīn memerintahkan jenderalnya,Salahuddin Ayyubi, menaklukkan Mesir pada 1169, membentuk Dinasti Ayyubi Sunni.
Para Imām Fatimiyah
Kata "Imām" sebagaimana yang digunakan dalam Islām Shīˤa berarti pemimpin pengganti dalam komunitas muslim dari keturunan langsung ˤAlī ibn-Abī-Tālib.
- Abū Muḥammad ˤAbdu l-Lāh (ˤUbaydu l-Lāh) al-Mahdī bi'llāh (910-934) pendiri Fatimiyah
- Abū l-Qāsim Muḥammad al-Qā'im bi-Amr Allāh bin al-Mahdi Ubaidillah(934-946)
- Abū Ṭāhir Ismā'il al-Manṣūr bi-llāh (946-953)
- Abū Tamīm Ma'add al-Mu'izz li-Dīn Allāh (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya
- Abū Manṣūr Nizār al-'Azīz bi-llāh (975-996)
- Abū 'Alī al-Manṣūr al-Ḥākim bi-Amr Allāh (996-1021)
- Abū'l-Ḥasan 'Alī al-Ẓāhir li-I'zāz Dīn Allāh (1021-1036)
- Abū Tamīm Ma'add al-Mustanṣir bi-llāh (1036-1094)
- al-Musta'lī bi-llāh (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
- al-Āmir bi-Aḥkām Allāh (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh IsmailiyahMustaali Taiyabi.
- 'Abd al-Majīd al-Ḥāfiẓ (1130-1149)
- al-Ẓāfir (1149-1154)
- al-Fā'iz (1154-1160)
- al-'Āḍid (1160-1171)
SUMBER:http://id.wikipedia.org/wiki/Kekhalifahan_Fatimiyah
Bendera Dinasti Fatimiyah |
Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah | Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Dinasti Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati.
Jikalau ditarik garis horizontal sejarah Islam, maka akan diketahuilah bahwa dari sekian banyak sejarah peradaban Islam yang termaktub dalam buku-buku sejarah peradaban banyak terjadi pertumpahan darah hanya demi menegak dan mempertahankan kepemimpinan. Maka adalah sangat janggal jika uraian makalah ini menganalisis persoalan sejarah dalam korelasi hubungannya terhadap konsepsi teologi, karena substansi pembahasan makalah ini, bukan untuk melihat sejarah masa lalu umat Islam yang mesti diapresiasikan oleh umat masa kini dalam rangka menakar dogma teologis ke arah yang lebih luas adan universal.
B. Fase pendirian Dinasti Fathimiyah.
Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567H/1171 M yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir[3]. Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya ;
Pertama, pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
Kedua, ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi.
Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.
Silsilah Kekhalifaan Fatimiyah
- Al-Mahdi (909-934)
- Al-Qa’im (934-946)
- Al-Manshur (946-952)
- Al-Mu’izz (952-975)
- Al-Aziz (975-996)
- Al-Hakim (996-1021)
- Al-Zhahir (1021-1035)
- Al-Mustanshir (1035-1094)
- Al-Musta’li (1094-1101)
- Al-Amir (1101-1130)
- Al-Hafizth (1130-1149)
- Al-Zafir (1149-1154)
- Al-Fa’iz (1154-1160)
- Al-Adhid (1160-1171)
Pasca kematian Abdullah ibn Maimun, tampuk pimpinan dijabat oleh Abu Abdullah al-Husain, melalui propagandanya ia mampu menarik simpati suku Khitamah dari kalangan Berber yang bermukim didaerah Kagbyle untuk menjadi pengikut setia. Dengan kekuatan ini, mereka menyeberang ke Afrika Utara dan berhasil mengalahkan pasukan Ziyadat Allah selaku Penguasa Afrika Utara saat itu.
Syi’ah Islamiyah mulai menampakkan kekuatannya setelah tampuk Pemerintahan dijabat oleh Sa’id ibn Husain al-Islamiyah yang menggantikan Abu Abdullah al-Husain. Di bawah kepemimpinannya, Syi’ah Islamiyah berhasil menaklukkan Tunisia sebagai pusat kekusaan daulah Aglabiyah pada tahun 909 M. Said memproklamasikan dirinya sebagai imam dengan gelar Ubaidillaj al Mahdi.
Sa’id mengaku dirinya sebagai putera Muhammad al-Habib seorang cucu imam Islamiyah. Namun kalangan Sunni berpendapat bahwa Sa’id berasal dari keturunan Yahudi sehingga dinasti yang didirikannya pada awalnya disebut dinasti Ubaidillah. Sementara Ibn Khaldun, Ibn al-Asir dan Philip K. Hitti berpendapat bahwa Sa’id memang berasal dari garis keturunan Fatimah puteri Nabi Muhammad SAW, yang bersambung garis keturunannya hingga Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Ubaidillah merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah selama lebih kurang 25 tahun (904-934 M). Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria, Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M, Kahalifah al-Mahdi mendirikan kota baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota Mahdiyah yang didirikan sebagai ibukota pemerintahan
Di Afrika Utara kekuasaan mereka segera menjadi besar. Pada tahun 909 mereka dapat menguasai dinasti Rustamiyah dan Tahert serta menyerang bani Idris di Maroko. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah dan istri dari Ali bin Abu Muthalib.
Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan, obat-obatan.
Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan penguasa dengan membangun Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.
C. Perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan.
Menurut K.Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah dan rumah ibadah mereka dipugar oleh pemerintah.
Akan tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.
Sementara itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.
Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak mau mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H, al-Hakim juga memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat.
Jelasnya peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa apabila sikap seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang khusus mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga warga Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan sunni.
Sikap yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan Abdullah al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan masyarakat secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syi’ah Isma’iliyah yang merupakan madzhab negara.
Ketidak senangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at dan mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.
Meskipun al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan selalu menempuh jalan damai terhadap pera pemimpin dengan Gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang bersedia mengikuti mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam pemerintahan.
Tindakan tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang yang menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan tegas terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika raja muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah dengan tidak menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat khutbah jum’at melainkan menyebut-nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak diambinya tindakan tegas dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai al-Muntasir sebgai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia Barat setelah Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.
Dalam bidang administrasi pemerintahan tidak benyak berubah. Sistem administrasi yang dikembangkan khalifah Abbasiyah masih tyerus saja dipraktekkan. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun dalam urusan spritual. Ia berwenang mengangkat sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Selain itu sakralisasi khalifah yang muncul di masa pemerintahan Abbasiyah masih tetap dipertahankan yang indikatornya dapat dilihat dari gelar yang disandang para khalifah Fatimiyah seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz billah, al-Hakim bin Amrullah dan sebagainya.
Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :
Kemajuan Administrasi Pemerintahan
pengelolaan negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah denganmengangkat para menteri. Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama kelompok militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok
- Pejabat militer dan pengawal khalifah
- Petugas keamanan
- Resimen-resimen
yang kedua adalah kelompk sipil yang terdiri atas
- Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang)
- Ketua Dakwah yang memimpin pengajian
- Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan takaran)
- Bendaharawan negara (menangani Bait Maal
- Kepala urusan rumah tangga raja
- Petugas pembaca Al Qur'an, dan
- Sekretaris berbagai Departemen
Selain pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang
diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola oleh pejabat setempat.
Penyebaran faham Syiah
Ketika Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat madzhab Fikih : Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri menganut madzhab Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulam Syiah sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah supaya jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama sehingga pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan diantara mereka diangkat menjadi pejabat istana.
Dari mesir Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin luas sampai ke Palestina, dan kemudian propaganda Syiah Ismailiyah semakin tersebar luas melalui sebuah gerakan agen rahasia.
Perkembangan ilmu pengetahuan
dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al Ulum digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:
- Muhammad al Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
- Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
- Al nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
- Ali bin Yunus (ahli Astronomi)
- Ali Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)
Disamping itu kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa. Indikasi-indikasi kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya bangunan-bangunan yang dibangun berupa masjid-masjid, universitas, rumah sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah dicapai kemajuan besar khususnya yang berkaitan dengan militer seperti alat-alat perang, kapal dan sebagainya.
D. Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah.
Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir
Senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus, Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang sangat luas.
Di bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan akan kau lakukan kami akan membalasnya”.
Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan prilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen “Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.
Menurut Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX, menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani Fathimiyah setelah didesak oleh kalifah Al Mansur pada tahun 951 M.
E. Masa Kemunduran dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah.
Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat
Dipenghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya daulah Fatimiyah dapat diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksterna:
Faktor Internal
Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran daulah Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.
Selain itu, para khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda pemerintahan tidak bejalan secara efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang masih berusia relatif muda sehingga kurang cakap dalm mengambil kebijakan . Tragisnya mereka ibarat boneka ditangan para wajir karena peranan wajir begitu dominan dalam mengatur pemerintahan.
Fenomena ini muncul pasca wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan puternya bernama Abu Mansur al-Hakim yang pada saat pengangkatannya masih berusia 11 tahun. Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung kepada keputusan Gubernur bernama Barjawan yang meskipun pada akhirnya dihukum al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan.
Bukti lain ketidak cakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang dengan maklumat al-Hakim yang dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Maklumat tersebut berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol kehancuran.
Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali yang bergelar al-Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir masih berusia 16 tahun dan kebijakan pemerintahan berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk, sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja boneka ditangan para wajirnya.
Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut hingga masa akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga belas yang bernam al-Faiz dinobatkan pada saat masih balita nanun keburu meninggal dunia sebelum berusia dewasa. Sementara khalifah terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat berusia sembilan tahun.
Faktor lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga sunagi Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar, (anak Abu Tamim Ma’ad yang tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi dua.
Selain itu, faktor internal lainnya sebagai penyebab kehancuran daulah Fatimiyah adalah persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada masa al-Adid sebagai khalifah terakhir misalnya, terjadi persaingan antara Abu Sujak Syawar dan Dargam untuk merebutkan jabatan wajir yang akhirnya dimenangkan Dargam. Karena sakit hati, Syawar meminta bantuan Nur Al-Din al-Zanki untuk memulihkan kekuasannya di Mesir, jika berhasil ia berjanji untuk menyerahkan sepertiga hasil penerimaan negara kepadanya.
Tawaran ini diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah pimpinan Syirkuh dan keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini mampu mengalahkan Dargam sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir dan memenuhi janjinya kepada Nur al-Din.
Perebutan kekuasaan ditingkat wazir ini merupakan awal munculnya kekuasaan asing yang pada akhirnya mampu merebut kekuasaan dari tangan daulah Fatimiyah dan membentuk dinasti baru bernama Ayyubiyah.
Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runruhnya daulah Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki adalah Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.
Dikarenakan rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan perlawanan. Agar mampu menguat kekuasannya, Syawar meminta bantuan tentara Salabiyah dan menawarkan janji seperti yang dilakukannya terhadap Nural-Din.
Tawaran ini diterima King Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk dapat menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.
Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun
565 H / 1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.
Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.
F. Penutup.
Daulah Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan daulah Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.
Dalam masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah sangat konsern dengan pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal dari non muslim.
Kemunduran daulah Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan pra khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara khalifah hanya hidup menikmati kekuasaannya didalam istana yang megah.
Sumber :
http://makalahmajannaii.blogspot.com/
SUMBER:http://senibudaya-ind.blogspot.com/2014/03/sejarah-berdirinya-dinasti-fatimiyah.html
Mengenal Kerajaan Syiah, Daulah Fatimiyah
Pembahasan mengenai Daulah Fatimiyah adalah pembahasan yang menarik, karena kontroversi yang ditimbulkan oleh daulah ini cukup menggegerkan dunia Islam. Ada yang mengatakan kerajaan ini memiliki sumbangsih besar mengenalkan umat Islam pada ilmu pengetahuan, karena merekalah yang membangun Universitas al-Azhar. Di sisi lain, kerajaan ini dikatakan sebagai kerajaan ekstrim yang intoleran, menindas muslim Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah. Sejarah kerajaan yang dipenuhi dengan penindasan, penipuan, dan penyimpangan dari ajaran Islam juga menjadi sisi lain yang perlu diangkat dan diketengahkan.
Akidah Syiah Ismaailiyah
Sebelum membahas kekuatan politik Daulah Fatimiyah, terlebih dahulu kita membahas ideologi kerajaan ini, karena inilah yang melandasi gerakan politiknya. Daulah Fatimiyah adalah sebuah kerajaan yang berideologi Syiah, lebih tepatnya Syiah Ismailiyah. Syiah Ismailiyah adalah sekte Syiah yang meyakini bahwa Ismail bin Ja’far adalah imam ketujuh, adapun mayoritas Syiah (Syiah Itsna Asyriyah) meyakini bahwa Musah bin Ja’fa-lah imam ketujuh setelah Ja’far ash-Shadiq. Perbedaan dalam permasalahan pokok ini kemudian berkembang ke berbagai prinsip ajaran yang lain yang semakin membedakan ajaran Syiah Ismailiyah dengan Syiah arus utama, Syiah Itsna Asyriyah, sehingga ajaran ini menjadi sekte tersendiri.
Ismailiyah memiliki keyakinan yang menyimpang jauh dari ajaran dan akidah Islam. Sebagaimana sekte Syiah lainnya, Syiah Ismailiyah juga meyakini bahwa para imam terjaga dari perbuatan dosa, mereka adalah sosok yang sempurna, dan tidak ada celah sama sekali. Para imam juga dianggap memiliki kemampuan-kemampuan rububiyah, pendek kata, para imam merupakan perwujudan Tuhan di muka bumi.
Tentu saja pandangan Ismailiyah ini bertentanga dengan nilai-nilai tauhid yang diajarkan Islam. Mereka mengultuskan para imam mereka sebagaimana Nasrani mengultuskan Nabi Isa ‘alaihissalam. Atas dasar ini, para ulama menyimpulkan bahwa Syiah Ismailiyah bukanlah bagian dari Agama Islam. Dengan demikian, otomatis Daulah Fatimiyah tidak dianggap sebagai kerajaan Islam dan peninggalan-peninggalan mereka juga tidak dikategorikan sebagai warisan budaya Islam.
Munculnya Dinasti Fatimiyah
Setelah mengetahui dasar ideologi Syiah Ismailiyah, umat Islam menolak ajaran ini dengan terang-terangan, akibatnya orang-orang yang berpegang pada ajaran ini menyembunyikan keyakinan kufur mereka. Sepanjang tahun 800-an hingga awal 900-an M, mereka menyebarkannya kepada orang-orang awam secara sembunyi-sembunyi. Strategi ini mereka lancarkan mulai dari Maroko hingga ke India. Akhirnya pada tahun 909 M, mereka mulai menetapkan berdakwah secara terang-terangan dan mulai berpengaruh di dunia Islam.
Pada tahun 909 M, di Tunisia, seseorang yang bernama Said bin Husein yang memiliki laqob Ubaidullah al-Mahdi Billah memproklamirkan diri sebagai khalifah Daulah Fatimiyah. Ubaidullah al-Mahdi menuntut kepada pengikut sekte Syiah Ismailiyah untuk menaatinya karena dia mengklaim dirinya sebagai imam dalam sekte Syiah Ismailiyah yang memiliki hubungan darah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur putri beliau Fatimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dari sini terambil nama Fatimiyah). Para ulama telah membantah klaim nasab Ubaidullah al-Mahdi ini, oleh karena itu mereka menyebut Daulah ini dengan Daulah Ubaidiyah bukan Daulah Fatimiyah.
Untuk memperkuat kerajaan barunya, Ubaidullah al-Mahdi mengakomodir orang-orang Barbar di Afrika Utara sebagai kekuatan militer. Ia berhasil mempengaruhi orang-orang Barbar yang sudah kecewa dengan Dinasti Aghlabiyah di Afrika Utara dan menjanjikan posisi yang baik dan balasan yang memuaskan apabila mereka bergabung dengan Daulah Fatimiyah.
Usaha Ubaidullah al-Mahdi tidak sia-sia, orang-orang Barbar dengan berbagai sukunya berhasil diajak bergabung dan membantunya menaklukkan Daulah Aghlabiyah. Di Kota Raqqadah bekas istana Aghlabiyah pemerintahan Ubaidullah al-Mahdi dimulai. Dari sini kekuasaanya mulai meluas dari Afrika Utara, Maroko, Aljazair, Tunisia, Libia, Sisilia, dan Malta berhasil jatuh dan tunduk di bawah kekuasaannya. Keberhasilan Daulah Fatimiyah ini tentu saja menjadi teror bagi mayoritas umat Islam, terlebih khusus kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.
Daulah Fatimiyah Menguasai Mesir
Pada tahun 969 M, Fatimiyah sudah memiliki kekuatan yang cukup besar, inilah saatnya menakulkkan wilayah yang besar, strategsi, dan memiliki pengaruh dan prestise, yaitu Mesir. Saat itu, Mesir dipimpin oleh Dinasti Iksidiyah yang dipercayakan penguasa Abbasiyah untuk bertanggung jawab di Mesir dan wilayah kota suci: Mekah, Madinah, dan Jerusalem. Daulah Fatimiyah berhasil menaklukkan Dinasti Iksidiyah sehingga secara otomatis tiga kota suci tersebut jatuh ke wilayah kekuasaan Fatimiyah. Setelah itu, mereka menjadikan Kairo sebagai ibu kota kekhalifahan.
Di akhir tahun 900-an M, daulah ini menjadi sebuah kekuatan adidaya, mereka menguasai sebagian besar dunia Islam, kekuasaan mereka terbentang dari Maroko hingga Suriah. Saat inilah para orientalis menyebut bahwa Daulah Fatimiyah mencapai masa keemasan dan mempraktikkan nilai-nilai toleran antara umat beragama. Namun kenyataannya, teloransi di masa Daulah Fatimiyah hanyalah mitos belaka, bahkan nilai-nilai toleran itu semakin buruk saat mereka berhasil menaklukkan Mesir. Para orientalis menyebut masa itu sebagai masa toleransi semata-mata karena saat itu populasi Yahudi dan Kristen semakin besar di dunia Islam.
Mengapa kita katakan hal itu hanya mitos? Berikut ini data-data sikap intoleran yang dipraktikkan Daulah Fatimiyah, sekaligus membantah klaim para orientalis tersebut.
Orientalis berpendapat bahwa pada masa Fatimimiyah pertumbuhan populasi Yahudi dan Kristen cukup besar dan orang-orang Fatimiyah secara terbuka bekerja sama dengan orang-orang ahlul kitab ini. Kita katakan, hal ini bukanlah hal yang baru dalam perjalanan sejarah umat Islam. Dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga terbuka dan profesional bekerja sama dengan orang-orang non-Islam. Bahkan pada masa Abbasiyah hal itu sangat tampak kentara. Pemerintah Abbasiyah terbuka mengundang orang-orang ahlul kitab, bahkan orang-orang pagan (penyembah berhala) Yunani untuk memasuki Baghdad. Mereka dimanfaatkan oleh Abbasiyah untuk membangun kejayaan umat Islam.
Dalam perspektif Islam, justru Fatimiyah tidak menerapkan sistem yang longgar bagi orang-orang Sunni atau Ahlussunnah. Sunni dipaksa menyebutkan nama-nama kahlifah Fatimiyah dalam setiap khutbah Jumat, orang-orang Syiah Ismailiyah diperbolehkan bahkan dimotivasi untuk berkunjung ke Jerusalem, sedangkan orang-orang Sunni dilarang melakukan hal itu (Jerusalem: The Biography, Hal. 204).
Fatimiyah juga memiliki hubungan yang dekat dengan orang-orang Qaramitah di Semenanjung Arab. Duet ini bertanggung jawab atas tindakan-tindakan ofensif terhadap kaum muslimin di wilayah tersebut. Tahun 906 M, mereka menyerang kafilah jamaah haji yang hendak menuju Mekah yang mengakibatkan 20.000 jamaah terbunuh. Tahun 928 M, Qaramitah dipimpin oleh Abu Thahir menyerang Mekah, membantai penduduknya, dan mencongkel Hajar Aswad. 22 tahun kemudian baru mereka kembalikan Hajar Aswad ke Mekah setelah diberikan tebusan (A History of Medieval Islam, Hal: 130). Imam Ibnu Katsir “Dia (Abu Thahir) telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya.” (al-Bidayah wan Nihayah, 11:190-192).
Secara keseluruhan, masa pemerintahan Fatimiyah adalah penderitaan bagi Ahlussunnah, mereka melakukan penganiayaan dan memaksa Ahlussunah untuk menganut keyakinan kufur Ismailiyah. Ribuan Ahlussunnah dibunuh lantaran mereka menolak untuk menghina para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (The History of Islam, Hal: 269). Puncaknya terjadi pada masa khalifah Fatimiyah, al-Hakim bi Amrillah (996-1021 M), ia menyiksa orang-orang selain dari Syiah Ismailiyah termasuk juga orang-orang Yahudi dan Kristen. Semua gereja dan sinagog di Jerusalem dihancurkan atau minimal ditutup, sampai-sampai orang-orang Yahudi dan Kristen harus berpura-pura menganut agama Syiah Ismailiyah (Jerusalem: The Biography, Hal: 208). Ia memerintahkan penghancuran makam suci bagi umat Kristen (History of The Arabs, Hal: 792). Buah dari perbuatannya ini adalah pecahnya Perang Salib. Sehingga kita bisa menggarisbawahi bahwa Perang Salib bukanlah dipicu oleh Islam dan umat Islam, hal itu disebabkan oleh tingkah laku al-Hakim bi Amrillah dan doktrin Syiah Ismailiyahnya, terlebih dia juga termasuk imam dalam ajaran Syiah Ismailiyah bahkan dia mengklaim bahwa dirinya adalah penjelmaan Allah (History of The Arabs, Hal: 792).
Keruntuhan Kerajaan
Kemunduran Daulah Fatimiyah dimulai ketika Khalifah al-Zahir wafat dan digantikan oleh anaknya yang masih berumur sebelas tahun, Ma’ad al-Muntashir. Ia berkuasa hampir selama enam puluh tahun, dari 1035-1094 M. Pada masa pemerintahannya wilayah Fatimiyah yang luas menyusut sedikit demi sedikit hingga lebih kecil dari wilayah Mesir sekarang. Pada masa itu kekacauan terjadi dimana-mana; kericuhan dan pertikaian terjadi di antara orang Turki, Barbar, dan Sudan, kekuasaan negara lumpuh, kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun pun melumpuhkan perekonomian negara. Kemudian masa-masa setelahnya terus digantikan oleh khalifah-khalifah belia yang bahkan belum menginjak usia akil balig.
Pembunuhan dan perebutan tahta mulai terjadi, perekonomian kacau, pajak naik untuk mencukupi kebutuhan kerajaan, dan ketidakstabilan terjadi dalam banyak hal. Keadaan semakin parah dan rumit dengan datangnya Pasukan Salib dan serangan balasan dari Almaric, Raja Jerusalem. Keadaan menyedihkan itu diakhiri oleh Shalahuddin al-Ayyubipada 1171 M, ia meruntuhkan Daulah Fatimiyah dan menurunkan khalifahnya yang terakhir dari tahtanya.
Diantara peninggalan Daulah Fatimiyah yang paling berharga adalah Universitas al-Azhar yang semula mencetak sarjana-sarjana Syiah kemudian diganti oleh Shalahuddin menjadi universitas yang mencetak tokoh-tokoh Sunni.
Sumber:
– Hitti, Philip K. 2008. Terj: History of The Arabs. Jakarta: Serambi.
– lostislamichistory.com
– islamstory.com
– Hitti, Philip K. 2008. Terj: History of The Arabs. Jakarta: Serambi.
– lostislamichistory.com
– islamstory.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
Sejarah Dinasti Fatimiyyah
A. SEJARAH AWAL DINASTI FATHIMIYYAH
Dinasti Fathimiyyah merupakan penguasa negara yang besar berpusat di lembah Nil, Kairo. Kekhalifahan ini berkuasa selama lebih kurang 203 tahun yaitu sejak tahun 909 sampai tahun 1171 M. Cikal bakal dari keKhalifahan Fathimiyyah ini adalah Gerakan Bani Fathimiyyah yang berasal dari kelompok Syi’ah Ismailiyah, mereka mengasingkan diri ke kota Salamah guna menyelamatkan diri dari pengejaran Bani Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah Al-Ma'mun.
Kelompok ini tidak gegabah memperebutkan kursi keKhalifahan. Tetapi mereka terlebih dahulu merebut hati masyarakat dengan gerakan da'wahnya di berbagai daerah sehingga mereka benar-benar dapat menguasai situasi dan mengerti apa yang diinginkan rakyat. Ketidak puasan rakyat kepada Khalifah Abbasiah al-Muktafi merupakan angin segar bagi pemuka Fathimiyyah dalam merebut hati rakyat di Mesir, hingga akhirnya Mesir dapat di kuasai.
B. PEMBENTUKAN KHALIFAH FATHIMIYYAH
Dinasti atau Khalifah Fathimiyyah ini mengaku sebagai keturunan Saidina Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah Muhammad SAW. atas dasar inilah mereka menisbatkan diri dengan nama Fathimiyyah.
Khalifah pertama mereka adalah ‘Ubaydillah al-Mahdi di samping itu Khalifah Fathimiyyah ini mempunyai pemimpin lain yaitu Ali Ibn Fadhi al-Yamani, Abi Qasyim Khatam Ibn Husain Ibn Hausah al-Kufi, AI-Halawani dan Abu Sofyan. ‘Ubaydillah al-Mahdi; yang telah memulai aktivitas di tahun 909 M. dia datang dari Syuruah ke Afrika Utara, menyamar sebagai pedagang, lalu tertangkap oleh Amir Dinasti Aghlabi ziadallah III dibantu oleh gebernurnya al-Yasa, 'ubaydillah dipenjarakan di Sijilmasah.[1] Kelompok yang dipimpin Abdullah Asy-syi'i ingin membebaskan 'Ubaydillah dari penjara Sijilmasah, melihat kelompok Asy-syi’i ini al-Yasa merasa takut lalu melarikan diri meninggalkan kediamannya. Dengan demikian Asy-syi'i dapat melepaskan 'Ubaydillah dan anaknya pada waktu itu pula Asy-Syi'i mengangkat ‘Ubaydillah menjadi Khalifah tepatnya di tahun 297/ 909 M.[2] Daulah Fathimiyyah ini berdiri di Afrika dengan ibu kotanya Raqadah di pinggiran kota Kairawan.
Dengan kejadian seperti ini dapatlah dikatakan bahwa 'Ubaydillah dan pendukungnya telah dapat merebut kekuasaan Bani Ahglab secara Defacto. Daerah pusat pemerintahan Ahglab ini dijadikan tempat pemusatan dakwah Syi'ah. 'Ubaydillah memulai aksi politiknya dengan menghilangkan nama Khalifah Bani Abbasiah yang selalu disebut dalam khutbah. Di kota Kairawan 'ubaydillah disambut oleh masyarakat, mereka membai'at dan menyatakan keta'atan terhadap 'Ubaydillah, namanya disebut di dalam khutbah dengan gelar "al-Mahdi Amir al- Mukminin", maka saat itu Daulah Fathimiyyah telah diakui dan resmi berdiri.
Obsesi yang tersirat dalam pendirian Bani Fathimiyyah yang terpenting adalah mencoba menguasai pusat dunia Islam; yaitu Mesir. Hal yang mendorong mereka untuk menguasai Mesir tersebut adalah faktor "Ekomomi" dan "Politik". Ditinjau dari faktor ekonomi Mesir yang terletak di daerah Bulan Sabit yang alamnya sangat subur dan menjajadi daerah lintas perdagangan yang strategis; perdagangan ke Hindia melalui laut Merah, ke Italia dan Laut Tengah Barat, ke kerajaan Bizantium.[3]
Dari segi faktor politik, Mesir terletak di wilayah yang strategis menurut peta politik, daerah ini dekat dengan Syam, Falestina dan Hijaz yang juga merupakan wilayah Mesir sejak Dinasti Tulun. Bila Fathimiyyah dapat menaklukkan Mesir berarti akan mudah baginya untuk menguasai Madinah sebagai pusat Islam masa lampau, serta kota Damaskus dan Bahgdad dua ibu kota ternama di zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiah. Dengan demikian maka nantinya Dinasti Fathimiyah ini akan cepat termasyhur dan di kenal Dunia.
Untuk mencapai hal yang telah dicanangkannya ini 'Ubaydillah al-Mahdi memerintahkan anaknya Qal-Qasim, melakukan ekspedisi ke Mesir, perjalanan ini dilakukan berturut -turut pada tahun 913, 919 dan 925 H, akan tetapi ekspedisi ini tidak berhasil. AI- Muiz, Khalifah keempat dari Dinasti Fathimiyyah melanjutkan rencana penaklukan yang dicita-citakan oleh Khalifah pertama Bani Fathimiyyah ('Ubaydillah al- Mahdi), dia memulai seterategi baru yakni merangkul kelompok Beber yang ingin melekukan pemberontakan terhadap Fathimiyyah, semua kelompok itu dapat ditundukkannya. Setelah itu orang Fathimiyyah mengadakan persiapan yang cermat, disamping itu mereka mengadakan propaganda politik di saat Mesir dilanda bencana kelaparan yang hebat. Jauhar menerobos Kairo lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan dia dapat menguasai negeri itu. Seorang pangeran Ikhsidiyah yang bernama Ahmad masih berkuasa pada waktu itu, tetapi rezim Ikhsidiah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan kepada tentera Jauhar.[4] Jauhar memasuki Mesir bersama 100.000 tentera.[5] Jauhar mulai membangun kota baru yang diberinya nama al-Qahirah berarti kemenangan di kota ini dia menempatkan bala tenteranya. Serangan ke Mesir ini dilakukan pada tahun 358 H atau 969 M.
Setelah al-Qahirah (Kairo) dibangun; pada tahun 973 M pusat pemerintahan Dinasti Fathimiyyah dipindahkan ke Kairo dan bertahan sampai tahun 1171 M.[6] Kota Kairo juga sebagai tempat kediaman para Khalifah Fathimiyyah. Maka pembentukan kekuasaan (Khilafah) Fathimiyyah ini, tercatat di masa pemerintahan al-Muizz. Persiapan awal yang dijalankan pertama sekali olehnya adalah:
· merangkul kelompok yang ingin memberontak
· mempersiapkan tentera untuk melakukan penyerangan
· membangun jalan raya menuju ke Mesir
· menggali sumur-sumur di pinggiran jalan raya menuju ke Mesir
· membangun rumah tempat peristirahatan (tentera)
· mempersiapkan dana (keuangan guna perbekalan bagi pasukan Fathimiyah.[7]Sebagai Panglima yang dipercayakan memimpin tentera pada penaklukan Mesir itu, Jauhar menjalankan aksi politik Fathimiyah bagi penduduk Mesir yaitu dengan :
· memberikan keyakinan kepada penduduk tentang kebebasan mereka menjalankan ibadah menurut agama dan mazhab mereka masing-masing
· berjanji akan melaksanakan pembangunan di negeri itu dan akan menegakkan keadilan
· mempertahankan Mesir dari serangan musuh.[8]
· menghapuskan nama-nama khalifah bani Abbasiah yang disebut-sebut dalam do’a ketika shalat jumat dan digantikan dengan nama Khalifah Fathimiyah.
· menata pemerintahan Penataan pemerintahan yang dilakukan Jauhar adalah menetapkan kedudukan Ja'afar ibn al-Fadl ibn al-Furat di Mesir, sebagai wazir di Mesir.
Pegawai dari golongan Sunni tetap pada posisi semula ditambah dengan seorang pegawai dari Syi'ah Mahgribi disetiap bagian. Masyarakat Mesir terdiri dari tiga golongan yakni Golongan Sunni, golongan Kristen Koptic dan golongan Syi'ah. Semuanya dibebaskan menjalankan ajaran agamanya masing- masing. Dari setiap mazhab yang ada diangkat seorang kadhi. Dengan demikian masyarakat Mesir yang beraliran Sunni itu tidak merasa khawatir dan tidak menentang pemerintahan yang beraliran Syi’ah IsmaiIiyah ini, rakyat menaruh simpati kepada pemerintahan Fathimiyyah, propaganda Syi'ah yang dijalankan oleh Jauhar ini berhasil.
C. POLA PEMERINTAHAN
Pola pemerintahan yang dijalankan Fathimiyyah mengikuti pola pemerintahan bani Abbasiah di Bahgdad. Kepemimpinan dikonsentrasikan kepada Khalifah dan dibai'ah lewat seremoni yang megah.
Setelah memerintah selama 22 tahun, al-Mu'iz telah dapat memimpin Negara dengan baik, dapat dikatakan khilafah Fathimiyyah berdiri kokoh, sesudah beliau wafat kepemimpinan Dinasti Fathimiyyah berturut -turut dipimpin Khalifah, al-'Aziz (anak al- Mu'iz), al-Hakim (996M), al-azh-Zahir (1021 M), al-Mustansir (103 M), al-Musta'ali (1094 M , al-Amir (1101 M), al-Hafiz (1131M ), azh-Zhafir (1154 M), al- Fa'iz (1154 M), al-'Adhid (1171 M). Lamanya Dinasti Fathimiyyah berdiri 208 tahun.
D. POLITIK DAULAH FATIMIAH
Pemahaman syiah pada masa Daulah Fatimiah sangatlah kental terlihat dalam kebijakan politik kenegaraannya, mereka menguatkan pendapat yang sesuia dengan mazhab syiah dan mendahulukan pengamalan agama dengan mengikut pendapat para imamnya dari pendapat para imam sunni, walaupun kebanyakan penduduk Mesir Saat itu bermazhab sunnah.
Ya'qub bin Kalas seorang wazir pada pemerintahan Fatimiah menyusun sebuah kitab fiqh yang disusun berdasarkan mazhab Syiah Isma'iliyah dengan arahan langsung khalifah Al Mu'iz Lidinillah yang berkuasa saat itu. Kitab ini dijadikan sebagai pedoman dalam memustuskan perkara di pengadilan dan fatwa lainnya. Sehingga siapa saja yang menjadi qadhi mesti berpodoman pada kitab ini.
Al Mu'iz Lidinillah memerintahkan bawahannya agar di buat rumah khusus disamping universitas Al Azhar untuk pelatihan dalam rangka memahami kitab tersebut. Wazirnya di perintahkan untuk mendatangkan para fuqaha' yang saat itu berjumlah 35 orang kemudian di beri fasilitas dan gaji yang mencukupi, bukan hanya itu para fuqaha' juga di sediakan tunjangan hari raya dan fasilitas di istana untuk tujuan mengajarkan kitab tersebut kepada masyarakat. Semua itu sebagai motivasi kepada para du'ah yang memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai kitab tersebut dan seluruh biaya tersebut di tanggung oleh khalifah. Sebab khalifah tau bahwa pemerintahannya akan bertahan lama jika ilmu tersebut disebarkan pada masyarakat.
E. KEMAJUAN KHALIFAH FATHIMIYYAH DI MESIR
Sejak awal berdirinya daulat Fathimiyyah, para pemukanya telah mempunyai perencanaan untuk mencapai kejayaan. Kecemerlangan itu dicapai pada masa al- Aziz Khalifah Fathimiyyah ke-5. Bila diamati dari perjalanan sejarahnya, khalifah fathimiyyah mempunyai beberapa keistimewaan di berbagai bidang, antara lain: pengaruh para Da’i yang sengaja disebarkan di daerah-daerah yang akan ditaklukkan, maka dengan demikian masyarakat dapat menerima mereka dengan damai. Kegigihan Khalifah yang dimotivasi doktrin-doktrin Syi’i serta kelengkapan militer dan finansial, merupakan sarana untuk kemajuan.
C.1. Kemajuan di Bidang Politik
Khalifah Fathimiyyah mengadakan eksvansi ke Mesir yang dipimpim oleh ubaydillah al-Riahdi dengan mengadakan propaganda Syi'i di dukung oleh Da'I masyhur bernama Asy-Syi'i. Sebelum ke Mesir mereka telah dapat menaklukkan Dinasti Aghlabiyah di Ifriqiyah. Dinasti Idrisiyah di Fez, Dinasti Rustamiyah Khariji di Tahart.[9] Pendudukan Sisilia kemudian melakukan operasi militer di Istambul. Fathimiyah mengumpulkan kekayaan di Ifriqiyah atau a1-Mahdiyah guna persiapan eksvansi ke Timur.[10] Oleh K. hitti dicatatkan bahwa pemerintahan Fathimiyyah ini meluaskan kekuasaannya membentang dari daerah Yaman, sampai ke Laut Atlantik, ke Asia Kecil dan ke Mosul.
Para Khalifah Fathimiyyah mendirikan kota sesuai dengan nama-nama mereka, misalnya, 'Ubaydillah al-Mahdi mendirikan kota al-Mahdiah di Tunisia. Khalifah al-Mansur mendirikan kota al-Mansuriah di tahun 948 M, dan pada masa al-Mu'iz, panglima perangnya Jauhar mendirikan al-Qahirah sebagai ibu kota pemerintahan. Khalifah al-Aziz mengadakan penataan administrasi pemerintahan Fathimiayah (mirip dengan gaya administrasi pemerintahan Baghdad), Kekhalifahan jatuh ketangan anak khalifah jika ayahnya wafat (Monarchi). Putra mahkota hanya satu orang saja.[11] Staf ahli penyusun Administrasi mereka adalah Ya'qub ibn Killis (seorang Yahudi yang memeluk agama Islam). Orang-orang Sunni diberikan jabatan dalam pemerintahan. Pelaksanaan pemerintahan dibantu oleh Wazir Tanfiz yang membawahi dewan, yang terdiri dari Dewan
a. Dewan Insya', bertanggung jawab pada pembangunan.
b. Dewan Iradah al-Maliah, bertanggung jawab pada bagian keuangan negara.
c. Dewan Iradah al-Mahalliyah, urusan pemerintahan Daerah. PEMDA di masa ini dipimpin oleh seorang Gubernur.
d. Dewan al-Jihad, pada urusan pembangunan angkatan bersenjata
e. Dewan Rasail, pelayanan Pos.[12]
Bidang militer diatur sistem kemiliteran dengan tiga jabatan penting, yaitu :
1. Para Amir, Pegawai Tinggi dan Para Pasukan Pengawal Khalifah, dilengkapi pedang yang terhunus.
2. Para pegawai, pangawal ketua
3. Gelar Hafizhiyah (penjaga) atau Yunusiayah, diberikan kepada Resimen yang lainnya.
Jabatan tertinggi dalam pemerintah pada umumnya diberikan kepada orang Syi’ah. Para pegawai tersebut diberikan gaji yang memuaskan, diberi pakaian dan berbagai hadiah di hari-hari besar tertentu.[13]
C.2. Kemajuan di Bidang Ekonomi
Kemajuan bidang ekonomi sangat nyata bagi rakyat Mesir di masa pemerintahan Fathimiyah, penghasilan utama mereka, dari bidang pertanian karena tanahnya sangat subur-subur, bidang perdagangan dan perindustrian. Mesir merupakan negara agraris yang amat subur maka perhatian pemerinta disektor ini besar sekali, irigasi dibangun untuk mengalirkan air dari sungai Nil kelahan-lahan pertanian, endapan lumpur dari sungai Nil ini menyuburkan tanaman mereka. Penghasilan meraka kurma, gandum, kapas, gula dari tebu, bawang, dan lainnya. Mereka juga mengusulkan kayu yang digunakan untuk membangun dermaga dan kapal-kapal laut atau kapal dagang.[14]
Perindustrian Mesir, menghasilkan tekstil, kain sutra, dan wol yang mereka eksport ke negara Eropah. Industri kerajinan Mesir menghasilkan karya yang bermutu seperti kiswah Ka’bah yang sulam dengan benang emas. Pembuatan Kristal dan keramik, mereka juga mendapatkan incam dari hasil tambang besi, baja, dan tembaga.
Khalifah al-Mu’iz memprakarsai berdirinya pabrik tekstil yang memproduksi pakaian para pegawai pemerintah.
Bidang perdangangan berkembang pesat dan mendapat dukungan dari pemerintah, tidak pernah ada hambatan dan kerusuhan dalam kehidupan mereka, maka para pedagang dari berbagai penjuru berdatangan ke daerah ini, jadilah Mesir sebagai sentral dagang. Pusat perdagangan itu kota Fustat, Kairo, Diniyat, dan Quas dan Iskandariah sebagai kota pelabuhan juga pusat perdagangan internasional. Ya’qub ibn Killis, membuat sistem pajak yang dijalankan Dinasti Fathimiyyah di zaman al-Mu’iz, hasil pajak diFustat satu hari mencapai 50.000 sampai 120.000 dirham.
Dari Dimyat, Asymun diperoleh hasil pajak lebih dari 220 dirham per hari. Pada masa Wazir al-Hasan ibn. ‘Ali al-Yazuri, hasil pajak yang diperolehnya ± 2.000.000 dinar per tahun. Dari Syam 1 juta dinar per tahun.[15] Dapat disimpulkan: Di bawah Fathimiyyah, Mesir dan Kairo mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan Bahgdad.
C.3. Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan
Kecenderungan para Khalifah Fatimiah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, terlihat sejak zaman al-Muiz, usaha untuk merealisasikan tujuan mereka dijalankan dengan cara melakukan propaganda yang pa dat keseluruh propinsi para da’i secara terstruktur dikepalai oleh seorang da’I Dakwah yang disamapikan bertujuan untuk menyampaikan doktrin agama dan mengimbau rakyat agar berpendidikan tinggi.[16]
Pendidikan tersebut diutamakan pada sains-sains Yunani, keterbukaan pada pemikiran filsafat Yunani membawa kepada pencapaian ilmiah yang tertinggi di Kairo di bawah pemerintahan Bani Fathimiyyah, meraka mengembangkan Risalat Ikhwanu s- Safa, sebuah karya dihasilkan di Basrah. Risalat ini merupakan sebuah ensiklopedia mengenai saint Yunani, yang bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana cara memperoleh kebahagiaan di dunia masa datang. Karya yanng dihasilkan masa Fathimiyyah itu lebih ilmiah dan lebih filsafati. Pada masa Khalifah al-Aziz (975 M), semangat intelektual dan pengembangan kualitas pemikiran orang Mesir, dapat mengungguli lawan-lawannya. Al-Aziz berusaha merubah fungsi Mesjid al-Azhar yang dibangun oleh Jauhar, menjadi sebuah Universitas yang pertama di Mesir, yang merupakan waqaf dari al-Azizi sendiri. Universitas ini direktrut mahasiswa dari seluruh negara Islam dengan fasilitas yang lengkap, asrama mahasiswa, makanan, dan beasiswa.[17]
Di Universitas ini diajarkan berbagai cabang ilmu pengetahuan: fikih, sejarah,dan sastra. Sampai saat ini Universitas al-Azhar sangat terkanal dan lebih maju.
Pada masa Khalifah al-Hakim (996 M), didirikan dar al-Hikmah yaitu tahun1005 M, akademi ini dilengkapi dengan perpustakaan (Dar al-‘Ulum); di sini diajarkan ilmu pengetahuan agama dan sains seperti fisika, astronomi, kedokteran. Akademi ini didirikan untuk menandingi Universitas di Cordova, ia juga membangun observatorium, di Mesir di al-Muqatan dan Siria.
Di masa al-Mustansir dibangu perpustakaan negara yang memiliki 200.000 eksemplar buku; Fiqih, Sastra, fisika, kimia, dan kedokteran. Ibn Killis seorang pecinta ilmu mendirikan sebuah akademi dan menyediakan dana beribu dinar setiap bulannya untuk pengembangan ilmu.[18] Kegiatan ilmiah diadakan di Dar al-hikmah, dalam bentuk penelaahan, diskusi, mengarang dan menulis. Beberapa ilmuan yang aktif dimasa ini: Abu Hanifah al-Maghribi, ahli agama dan ulama Syi’ah Ismaili. Di bidang sejarah, Hasa Ibn ali bin Zulhag, Abu Hasan Ali al-Syabsyata, Ibn Hammad, Muhammad ibn Yusuf al-Kindidan Ibn Salamah al-Quda’i.
Di bidang filsafat al-Razi, al-Kindi, Abu Ya’qub, Jakfar ibn Mansur, tokoh ilmu kedokteran, Abu abd allah, tokoh matematika abu Ali Muhammad al-Haitami, tokoh ilmu kimia , fisika, dan optik, Ibn haisyam dan yang Mansyur di bidang ilmu bintang (astronomi), Ali bin Yunus dan Jiz bin Yunus.[19]
Ahli optik yang menulis buku tentang penyakit mata ke dalam bahasa Latin antara lain; Ibn Haitami dikenal juga dengan al-Hazan bukunya “Al-Manazir”, Amri Ali “al- Muntakhab fi ‘Ilaj al-“Aini”, Isa “Tazkirah”. Tokoh di bidang sastra, Abu al-Hamid ai-Anthaqi, Ibn Hani, Ibn Abi Jar, Abu hamid Ahmad dan Abdu al-Wahhab ibn Nashr. Arsitektur Fathimiyyah dipengaruhi gaya seni Persia tercermin dalam bangunanbangunan Mesjid al-Azhar, al- Hakim, al-Shalih lalu tergambar juga pengaruh Tulun, Afrika Utara, yaitu pada kuburan yang dibangun. Kubur Athiqah, al-ja’fari. Wazir Badr al Jamali membangun tembok kota Kairo dengan tiga buah pintu gerbang yang indah yang dinamainya dengan Bab Zuwayli, Ba, an-Nasr dan Bab al-Futuh. Dari segi seni sastra dan arsitektur Mesir belum bisa mengalahkan keindahan seni di Bahgdad.
C.4. Bidang kebudayaan dan Keagamaan
Menjadikan mesjid sebagai tempat pendidikan agama walaupun yang dimaksud untuk mengembangkan ideology mereka. Ada sebuah mesjid yang yang kemudiannya menjadi universitas Al Azhar. Khalifah juga membiayai para fuqaha dan du'ah yang menyebarkan ilmu pengetahuan. Hai ini membuktikan bahwa khalifah mencintai ilmu dan suka pada kemajuan.
C.5. Universitas Islam Al Azhar Kairo
Jami Al Azhar didirikan bersamaan dengan masuknya kekuasaan Fatimiyin di Kairo, tepatnya setelah beberapa bulan kekuatan fatimiyin memasuki Kairo, pembangunan jami Al Azhar memakan waktu kurang lebih dua tahun, yang kemudian dibuka secara resmi oleh Jauhar al Shaqali29 dengan shalat jumat pada tanggal 7 Ramadhan 361 H / 21 Juni 972 M. Sedang Al Muiz Lidinillah baru datang dari Maroko masuk Kairo setahun kemudian.
Jami Al Azhar mempunyai penghargaan tersendiri dari para khalifah fatimiyin, dibalik itu mereka ingin menjadikannya markas penyebaran faham syiah. Di sekitarnya dibangun rumah bagi mereka yang mengajar pada Al azhar, dari sinilah dimulainya pengajaran di jami Al Azhar.
Dalam blantika dunia keilmuan, Al Azhar merupakan universitas tertua, tidak hanya di dunia Islam, namun di seluruh dunia. Karena universitas-universitas di Amerika dan Eropa baru didirikan dua abad setelah berdirinya Al Azhar, seperti Universitas Paris didirikan pada abad ke-12 Masehi, Universitas Oxford di Inggris pada abad ke-13, demikian juga universitas-universitas Eropa lainnya. Universitas yang mengimbangi Al Azhar dari segi sejarahnya adalah Universitas Qarawain di Kota Fas Maroko, bahkan ada yang mengatakan bahwa Jami Al Qarawain adalah Universitas tertua di dunia, karena pengajarannya sudah bermula sejak didirikannya yaitu sejak tahun 245 H/ 859 M. dan sampai sekarang masih eksis.
Al Azhar merupakan Univesitas pertama yang para pengajarnya didanai oleh negara, serta posisi Mesir yang strategis di tengah dunia Islam, menjadikan Al Azhar tempat tujuan menimba ilmu agama dari para masyayikhnya, hanya saja besarnya kedudukan Al Azhar bukan karena tertua atau tidaknya, namun karena mutunya yang unggul.
Dalam kekuasaan daulah Fatimiah Jami Al Azhar mengalami beberapa kali renovasi, seperti pada masa al Hakim Biamrillah, al Mustanshir Billah, dan Al Hafidz Lidinillah. Terlihat hingga sekarang hasil renovasi yang dilakukan oleh Al Hafidz Lidinillah dengan peninggalannya qubah yang dihiasi dengan tulisan ayat-ayat Al Quran dengan khath kufi dan bermacam-macam hiasan yang indah.
F. KERUNTUHAN DAULAH FATIMIAH
Pada tahun 558 H/1163 M, panglima Asasuddin Shirkuh membawa Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir. Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besarnya Shawar merasa iri melihat kekuasan Syirkuh semakin besar. Dengan sembunyi-sembunyi Shawar pergi ke Baitul Maqdis, meminta bantuan pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir.
Pasukan Salib yang dipimpin oleh Raja Almeric dari Jerussalem menerima permintaan tersebut. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin Shirkuh dengan Raja Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin Shirkuh.
Setelah menerima syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin Shirkuh dan Shalahuddin diperbolehkan pulang ke Damsyik. Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan raja Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk raja Baghdad. Lalu dipersiapkannya tentara besar yang tetap dipimpin oleh panglima Asasuddin Shirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar.
Panglima Asasuddin Shirkuh dan Shalahuddin mulai maju ke ibu kota Kairo dan mendapat tentangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Suatu hari panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke makam orang shaleh di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap dan dibawanya ke istana untuk dihukum mati.
G. SEBAB-SEBAB KEHANCURAN DAULAH FATIMIYAH
Banyak sekali sebab-sebab yang membawa hancurnya Daulah fatimiah di Mesir, seperti berikut:
1. Penyerangan yang dilakukan oleh Salahuddin Al Ayubi
2. Munculnya ulama-ulama besar seperti Abu Ishaq Asy Syairazi, Ibnu Jauzi dan lain-lain dalam memberi peringatan tentang bahaya ideologi Syiah
3. Kembali Khilafah Abbasiah berpegang pada Al Qur'an dan Sunnah dimana sebelumnya yang berkuasa adalah Dinasti Buwaih berfaham Syiah (320 H – 447 H)
4. Perlawanan masyarakat Mesir yang semakin meluas terhadap ajaran Syiah yang di bawa oleh Daulah Fatimiah
5. Khilafah Abbasiah Al Qadir billah Amirul Mukminin pada tahun 480 H meminta Fuaqaha' Mukatazilah bertaubat dan melarang mereka mempelajari hal-hal yang bertentangan dengan Islam, termasuk juga melarang masyarakat berideologi seperti Syiah serta menjauhkan diri dari perbuatan bid'ah
6. Penangkapan pengikut Syiah, Qaramithah dan di umumkan diatas mimbar tentang kesesatan pahaman tersebut
7. Seruan dan taktik yang di buat oleh khalifah semakin membuat bani Buwaih tertekan dan lemah, sehingga membuat kekuatan Syiah berada pada taraf yang sangat lemah
SUMBER:http://pemudagenius.blogspot.com/2011/06/sejarah-dinasti-fatimiyyah.html
DINASTI FATIMIYAH DI MESIR (909-1172 M)
Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke- VII dan ke- VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir dengan penglima perang dinasti Fatimiyah. Diantaranya :
· Awal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
· Khalifah Daulah Fatimiyah
· Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
· Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti FatimiyahAwal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Dr. Aiman Fuad Rasyid dalam bukunya Daulah Fatimiyah fil Misr mengatakan, setelah meninggalnya Imam Ja’far As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far yang ditunjuk secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu pada saat bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka, terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk kepemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, diangkatlah Musa Al-Khazim sebagai imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[1]
Sekte Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah Abdullah ibn Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyah ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamiya di Syiria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka secara rahasia menyusup utusan-utusan keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[2]
Pada tahun 874 M muncullah seorang pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah al-Husein yang kemudian menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah al-Husein kemudian pergi ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik dan berapi-api ia berhasil mendapatkan dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan bahwa setelah mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat (Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said diangkat menjadi pemimpin pergerakan[3]. Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya. Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika dan al Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di Raqpodah daerah al-Qayrawan.
Pada tahun 914 M mereka bergerak kearah Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena sering dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal, kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad.[4]
Pada tahun 945 M bani Fatimiyah sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara. Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan yang berarti dia bisa menguasai negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama al-Qahirah yang berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahan.[5]
B. Khalifah Daulah Fatimiyah
Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a. Mendirikan Ibu Kota baru yaitu Kairo
b. Membina suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c. Menyebarluaskan Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[6]
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362 H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz. Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah[7] yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku dengan berbagai ilmu.
C. Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar sekali, baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana diantaranya sebagai berkut:
a. Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimi memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya.[8] Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam didinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.[9]
Disamping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris)dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.[10]
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a. Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b. Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c. Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d. Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e. Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f. Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan.
Selain dari penjabat di istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi ke dalam tiga kelompok:
1. Amir-amir yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
2. Para Obsir Jaga
3. Resimen yang bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan Sudaniyah.
b. Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[11] Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
1. Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinahyang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2. Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitabUnwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3. Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4. Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5. Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6. Hamiduddin Al-Qirmani.[12]
c. Pendidikan dan Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Disamping Attamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz yang berhasil membangun masjid Al Azhar.[13]
Kemajuan keilmuan yang peling fundamental pada masa Fatamiyah adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an ini merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d. Ekonomi dan Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari 1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.
Disegi pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor
1. Daerah pinggiran-pinggiran sungai Nil
2. Tempat-tempat yang telah ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[14]
Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :
1. Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2. Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[15]
Dibidang perdagangan mereka melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa, dan daerah-daerah sekitar laut tengah.
Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan dikirim baik dari dalam maupun dari luar Mesir.
e. Sosial Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah memasuki Mesir, penduduk setempat ada yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian, saling menghormati antara satu dengan yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi pertengkaran antara suku, maupun agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang tinggi sesama mereka.
f. Pemahaman Agama
Sesuai dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya ingin mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus di ikuti oleh para penduduk, mereka bebas beragama sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdirinya dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.
D. Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khalifah al-Hakim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hakim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk sebuah gereja yang didalamnya terdapat kuburan suci umat Kristen. Maklumat penghancuran kuburan suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perang salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai. Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakkan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H/991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret Dinasti Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.
Al-Hakim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Muqatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Siti al-Muluk, yang telah diperhentikan tidak hormat olehnya.
Al-Hakim kemudian digantikan oleh az-Zahir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berusia 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa Az-Zahir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zahir mendapat izin dari Konsantin ke VII agar namanya disebutkan dimesjid-mesjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki mesjid yang berada di konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat kuburan suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh Al-Hakim.
Setelah sepeninggal Az-Zahir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir. Mulai masa ini system pemerintahan Dinasti Fatimiyah berobah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai symbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zahir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak kebagian barat dan berhasil menduduki Tropoli dan Tunisia selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kewasan semenanjung arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zahir kemudian digantikan oleh al-Mustansir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamali, orang Armenia bekas budak dari kegurbernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir al Juyusi (komando perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustansir yaitu Al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada dibelakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li dengan ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiyah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat. Al-Amin anak al-musta’li yang baru berusia lima tahun diangkat menjadi khalifah.
Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Karena ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda, hingga merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tertara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Salar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius, kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zafir yang baru berusia empat tahun sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga untuk menguasai Mesir. Dari pada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi perdana mentri Mesir waktu itu, telah melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.
Semenjak itulah kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin az-Zanki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuhnya dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyah.[16]
E. Penutup
Dari uraian diatas kita bisa mengambil beberapa intisari yang sangat menakjubkan, betapa keberadaan dinasty Fatimiyah ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban Islam, mulai dari bidang politik pemerintahan, pemikiran dan filsafat, pendidikan dan iptek, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, pemahaman agama dan lain-lain.
Akan tetapi penulis sangat memahari, dengan minimnya literatur yang penulis baca, maka makalah ini jauh dari sempurna. Maka demi kesempurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan partisipasinya demi kesempurnaan makalah dimasa mendatang. Sekian saja terima kasih.
SUMBER:http://sejarahcoy.blogspot.com/2013/05/dinasti-fatimiyah-di-mesir-909-1172-m.html
SEJARAH DINASTI FATIMIYAH
Dinasti Fatimiyaha). Sejarah Singkat Keluarga Bani FatimiyahBani Fatimiyah mengambil namanya dari Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW. Mereka menasabkan asal usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad SAW, melalui garis Ismail, putra Ja’far As-Sadiq. Bani Fatimiyah menganut aliran Syiah.b). Masa Kekuasaan Bani FatimiyahMelemahnya kekuasaan Bani Abbasiyah memberi kesempatan kepada kelompok Syiah, Khawarij dan Mawali untuk melakukan gerakan. Di Afrika Utara, kelompok Syiah Ismailiyah mulai membagun gerakannya. Pada tahun 288 H/909 M, Ubaidillah Al-Mahdi mendirikan kekhalifahan Bani Fatimiyah di Tunisia (Khairuwan). Atas bantuan Abdullah Asy-Syi’I, seorang da’i Ismailiyah. Setelah kekhalifahan Bani Fatimiyah berdiri, ia segera mendapat perlawanan dari kelompok pendukung Bani Umayyah di Andalusia serta kelompok Khawarij dan Barbar.Khalifah-khalifah Bani Fatimiyah :
1). Ubaidillah Al-Mahdi (909 - 946 M)2). Al-Qa’im (934 - 946 M)3). Al-Mansur (946 - 953 M)4). Al-Mu’izz (953 - 975 M)5). Al-Aziz (975 - 996 M)6). Al-Hakim (996 - 1021 M)7). Az-Zahir (1021 - 1036 M)8). Al-Mustansir (1036 - 1094 M)9). Al-Musta’il (1094 - 1101 M)10). Al-Amir (1101 - 1130 M)11). Al-Hafiz (1130 - 1149 M)12). Az-Zafir (1149 - 1154 M)13). Al-Fa’iz (1154 - 1160 M)14). Al-Adid (1160 - 1171 M)
Setelah menancapkan kekuasaannya di Tunis, Usaha-usaha Ubaidillah Al-Mahdi :a. Mendirikan kota Almahdiyahb. Meluaskan kekuasaan dan penyerbuan terhadap Mesir tetapi tidak berhasilUbaidillah Al-Mahdi wafat dan digantikan oleh putranya Al-Qa’im. Kemudian khalifah Al-Qa’im melanjutkan penyerbuan terhadap Mesir dan juga tidak berhasil. Selanjutnya Al-Qa’im digantikan oleh putranya Al-Mansur dan beliau juga berusaha menaklukkan Mesir tapi usahanya masih gagal. Kemudian khalifah Al-Mansur digantikan oleh putranya yang bernama Al-Mu’izz dan beliaulah yang berhasil menaklukkan Mesir dengan mengutus panglima Jauhar Al-Katib as-Shaqali pada athun 969 M. lalu mendirikan kota baru yang disebut Al-Qahira (Kairo) yang berarti kemenangan. Setelah itu memindahkan ibu kota ke Kairo. Di kota inilah Bani Fatimiyah mencapai puncak kejayaan, terutama pada masa pemerintahan khalifah Al-Mu’izz , khalifah Al-Aziz , dan khalifah Al-Hakim.Kejayaan pada masa khalifah Al-Aziz, istananya dapat menampung 30.000 tamu, mesjidnya sangat megah, perhubungan lancar, dan keamanan terjamin. Serta melakukan pembangunan dilakukan di sektor pertanian, perdagangan, dan industri. Bani Fatimiyah juga mencapai perkembangan yang pesat dalam bidang kebudayaan ditandai dengan didirikannya Universitas Al-Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan.Pada masa khalifah Al-Hakim didirikan Darul Hikmah, yaitu pusat pengajaran ilmu kedokteran dengan tokohnya Ibnu Yunus dan ilmu astronomi dengan tokohnya Ibnu Haitam. Selain itu khalifah Al-Hakim juag mendirikan perpustakaan yang diberi nama Dar Al-’llm yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 M, Al-Hakim membentuk majelis ilmu di istananya.Beberapa faktor yang mendorong kemajuan Bani Fatimiyah adalah militernya yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan yang berkembang, dan perekonomian yang stabil. Akan tetapi, Bani Fatimiyah kurang berhasil di bidang politik.Penyebabnya itu antara lain :a. Ketika menghadapi kelompok Nasrani dan Islam Suni yang lebih dahulu mapan di Mesirb. Lemahnya figur khalifah setelah meninggalnya khalifah Al-Azizc. Banyak khalifah yang diangkat pada usia muda. Akibatnya khalifah hanya menjadi budak Wajir dan pejabat yang berkepentingand. Permusuhan diantara pejabat istana yang berasal dari suku Barbar, Turki, Bani Hamdan, dan Sudane. Kehidupan khalifah dan bangsawan yang tenggelam dalam kemewahan serta memaksakan ideologi syiah kepada rakyat Mesir yang mayoritas Sunic). Berakhirnya Kekuasaan Bani FatimiyahBerakhirnya kekuasaan Bani Fatimiyah berawal dari konflik kepentingan untuk merebut jabatan Wajir di istana Bani Fatimiyah. Selain itu, terdengar rencana penyerangan pasukan perang salib terhadap Bani Fatimiyah.Pada masa itu, pemerntahan dipegang oleh khalifah Az-Zafir. Ia merasa tidak mampu menahan serangan pasukan perang salib kemudian meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki, penguasa Bani Abbasiyyah di Suriah yang mengirim Asaduddin Syirkuh dan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi. Mereka berhasil membendung serangan tentara Salib ke Mesir yang dipimpin oleh Amauri. Lalu pada masa pemerintahan khalifah Al-Adid, Amauri kembali menyerang Mesir. Khalifah Al-Adid kembali meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki melalui perdana mentrinya bernama Syawar. Asaduddin Syirkuh dan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang dikirim oleh Nuruddin Zanki berhasil mengalahkan pasukan salib. Asaduddin Syirkuh dan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi mendapat sambutan hangat dari khalifah dan semua masyarakat Mesir. Keadaan ini menumbuhkan rasa iri pada diri Syawal. Kemudian dia berusaha menyingkirkan dua orang tersebut. Akan tetapi niat buruk itu diketahui oleh Asaduddin Syirkuh dan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi. Mereka berhasil menangkap Syawar, sebelum ia sempat melaksanakan rencananya. Syawar akhirnya dihukum mati oleh khalifah.
Khalifah Al-Adid kemudian mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai perdana menteri pada tahun 1169 M. akan tetapi, ia menjabat Perdana Menteri selama dua bulan karena meninggal. Kemudian jabatan perdana menteri digantikan oleh Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang diberi gelar Al-Malik An-Nasir. Mulai saat itu pemegang kekuasaan di Mesir adalah Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi. Setelah khlifah Al-adid meninggal dunia pada tahun 1171 M. Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi menyatakan kesetiaannya kepada khalifah Bani Abbasiyah, Al-Mutadi. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Bani Fatimiyah. Penguasa Mesir selanjutnya adalah Dinasti Ayyubiyah.
SUMBER: http://rahmiarifa31.blogspot.com/2013/03/sejarah-dinasti-fatimiyah.html
Dinasti fatimiyyah
KEMUNCULAN DINASTI FATIMIYAH DAN SYIAH ABAD X
A. PENDAHULUAN
Perjalanan sejarah peradaban Islam telah menuliskan bahwa dinasti Fatimiyah sebagai salah satu dinasti Islam pada abad X telah membuat prestasi yang gemilang dalam sejarah peradaban di dunia Islam. Dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, cucu Ismail bin Ja’far al-Shidiq ini tergolong ke dalam pengikut Syi’ah Ismailiyah. Ismailiyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang mempercayai bahwa Ismail merupakan imam ketujuh, setelah Imam Ja’far al-Shadiq.[1]
Pusat pemerintahan semula berada di Tunisia dengan ibukota Qairuwan (909-971 M.), kemudian pindah ke Kairo, Mesir (972-1171 M.). Dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pertama kali lahir, diiringi lahirnya Dinasti Bani Buwaih (932 M.) di Baghdad, dan belakangan Kerajaan Safawi (1501 M.) di Persia.
Meskipun pada saat munculnya dinasti Fatimiyah menjadi rival Dinasti Bani Abbas di Baghdad maupun Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, Dinasti Fathimiyah membuktikan prestasinya yang luar biasa kepada sejarah Islam di masa klasik. Hal ini juga menunjukkan bahwa pusat peradaban Islam klasik, bukan saja di Baghdad, Spanyol, dan Samarkand, tetapi juga di Mesir di bawah kepemimpinan Syi’ah.
Berangkat dari pemikiran itulah, makalah sederhana ini mencoba mengkaji lebih detail tentang keberhasilan kelompok syi’ah dalam membentuk kepemerintahan dinasti Fatimiyah, pola kebijakan politik yang dianutnya dan dampaknyan bagi pengembangan peradaban Muslim, dan kajian akhir adalah kemunduran dan berakhirnya dinasti Fatimiyah ini.
B. PEMBAHASAN
- 1. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah.
Fatimiyah adalah dinasti Syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di Afrika Utara (909 – 1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad saw). Kata fatimiyah dinisbatkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az Zahra binti Rasulullah. Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah al Mahdi (297-322). Orang-orang Fatimy juga disebut juga kaum Alawy, yang dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Talib[2].
Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan Fathimah binti Rasulillah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Isma’il Ibn Ja’far al Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setelah kematian Imam Ja’fah al-Shadiq, Syi’ah terpecah menjadi dua buah kelompok. Kelompok pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedang satu kelompok lainnya mempercayai Ismail Ibn Muhammad al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh. Kelompok Syi’ah kedua ini dinamakan Syi’ah Isma’iliyyah. Syi’ah Ismailiyyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas[3] hingga muncullah Abdullah Ibn Maymun yang membentuk Syi’ah Isma’iliyyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Hal ini merupakan ekses dari dari kekecewaan golongan Isma’iliyah terhadap Bani Abbas atas kerjasamanya merebut kekuasaan Bani Umayah. Seteleh perjuangan berhasil, dan Bani Abbas berkuasa, sedikit demi sedikit mereka disingkirkan[4].
Melihat kenyataan politik yang tidak pernah menguntungkan, kelompok Syi’ah yang dipimpin oleh abdullaah ibn Maymun merubah gerakannya sebagai sebuah system gerakan politik keagamaan, dimana semula Ismai’liyah tidak pernah menampakkan sebagai gerakan yang jelas. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syiah Isma’iliyyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Isma’iliyyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum kematian Abdullah Ibn Maymun pada tahun 874 M., ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abu Abdullah al-Husayn sebagai pimpinan gerakan Syi’ah Ismailiyah. la adalah orang Yaman dan sampai dengan abad kesembilan ia mengklaim sebagai gerakan wakil al Mahdi. Ia menyebrang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya, ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari kalangan suku Khitamah. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, Ibrahim ibn Muhammad, berusaha menekan gerakan Isma’iliyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah, putra dan sekaligus pengganti Ibrahim ibn Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husayn menulis surat kepada Imam Isma’iliyyah, Said Ibn Husayn al Salamah agar menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Isma’iliyah. Said mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad al-Habib, seorang cucu Imam Isma’il. Setelah berhasil merebut kekuatan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Isma’iliyyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan dinasti Aghlabi, pada tahun 909 M., dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabi yang terakhir, yakni Ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkandiri sebagai imam dengan gelar “Ubaydullah al-Mahdi”.[5]
Dengan demikian terbentuklah pemerintahan dinasti Fathimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai khalifah pertamanya.
- 2. Khalifah-khalifah Dinasti Fatimiyah; Perkembangan Politik Dan Pemerintah.
Wilayah kekuasaan Fathimiyah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan Syria. Wilayah ini sebelumnya merupakan wilayah dari Dinasti Bani Abbas, Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, dan Dinasti Aghlabiyah di Maroko. Dengan demikian, wilayah ini sangat luas, dari Yaman sampai laut Atlantik, Asia Kecil dan Mosul. Untuk mengetahui upaya-upaya yang ditempuh para khalifah dalam memperluas wilayah politik dan pemerintahanya. Berikut para khalifah dinasti Fatimiyah disarikan dari tulisanya Moh. Nurhakim (Sejarah dan Peradaban Islam; 2003)[6]
Al-Mahdi (909-934 M.) memperluas wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang dari perbatasan Mesir ke wilayah Fes di Maroko. Pada 910 M. ia menguasai Alexandria, kemudian juga kota-kota lainnva seperti Malta, Syria, Sardina, Corsica, dll. Ia juga ingin menaklukkan Spanyol dari kekuasaan Bani Umayyah. Karenanya, ia bekerjasama dengan Muhammad ibn Hafsun, pimpinan oposisi di Spanyol. Namun, ambisi itu belum tercapai sampai ia meninggal pada 934 M.
Al-Qaim (934-949 M), putra AI-Mahdi, mengadakan perluasan ke selatan Pantai Perancis pada 934 M. Di sana ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Saat itu pula ia mengirim pasukan ke Mesir, tetapi gagal dan diusir oleh Dinasti Ikhsidiyah dari Alexandaria. Ia dapat menghalau berbagai serangan dari `pemberontak Khawarij yang dipimpin Abu Yazid, meskipun pada 946 M. meninggal dunia bertepatan dengan terjadinya pemberontakan Abu Yazid di Susa’. Anaknya, Al-Mansur menggantikanya dan mendirikan kota Al-Mansuriyah yang megah di wilayah perbatasan Susa’. Ia mampu mempertahankan prestasi ayahnya dalam mengamankan seluruh wilayah Afrika di bawah kekuasaan Fatamiyyah, meskipun berbagai serangan dari Khawarij terus dilancarkan.
Mu’iz (965-975 M.), putra Al-Mansur, adalah khalifah Fathimiyah yang paling besar. Ia berhasil membawa rakyat damai dan makmur, di samping wilayahnya yang semakin dapat diperluas. Setelah melakukan konsolidasi ke dalam, hingga mendapatkan pengakuan sukses dari rakyat, ia baru melakukan perluasan wilayah. Tidak lama ia dapat menguasai Maroko dari Bani Umayyah di Spanyol dengan pimpinan panglima Jauhar al-Shaqilli, selanjutnya ia mengutus Hasan ibn Ali merebut wilayah pantai Spanyol, tetapi justru Abdurrahman III dari Spanyol menyerbu wilayah Susa’. Sementara Romawi memanfaatkan situasi dengan menyerbu Crete pada 967 M. yang semula dikuasai oleh Islam sejak AI-Makmun. Namun, Fathimiyah berhasil nengambil Sicilia dari kekuasaan Bizantine, kemudian membangun Universitas kedokteran yang sama besarnya dengan universitas-universitas di maupun Cardova.
Prestasi politik muiz yang paling besar adalah penaklukkan Mesir. Penaklukkan kota Fusthat tanpa perlawanan berarti pada 969 M. oleh panglima Jauhar al-Shaqili. Jauhar segera membangun kota ini menjadi kota baru dengan nama Qahirah (Kairo). Sejak 973 kota ini dijadikan ibukota Fathimiyah. Selanjutnya, Mu’iz mendirikan masjid Al-Azhar yang kemudian beralih menjadi Universitas Al-Azhar yang berkembang hingga sekarang.[7] Universitas ini dinilai sebagai universitas tertua di dunia dan paling berpengaruh di dunia Islam.
Al-Aziz (975-996 M.), putra Mu’iz, adalah khalifah yang paling bijaksana dan pemurah, sehingga mampu membawa rakyat lebih makmur. la menekankan adanya perdamaian antara pengikut agama, baik Islam maupun Kristen, sehingga salah satu wazirnya beragama Kristen, yaitu Isa bin Nastur. Ia sberhasil membawa Fathimiyah pada puncak kemajuan yang mengungguli Bani Abbas di Baghdad saat itu. Bangunan megah ia dirikan di Kairo seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan Masjid Karafa, serta Masjid Akademik Al-Azhar diresmikan.
Salah-satu kebijakan al-Aziz yang membawa akibat yang cukup fatal adalah penarikan orang Turki dan Negro sebagai basis pasukan militer. Hal ini dimaksudkan untuk menandingi kekuatan Barbar. Ketika kelompok Barbar mulai menguasai jajaran militer, terjadilah persaingan antar ras di tubuh militer Fatimiyyah yang pada gilirannya jadi salah salah satu factor kemunduran Fatimiyyah. Pada masa-masa belakangan militer Turki semakin besar kekuatannya dan ketika kekuatan Fatimiyyah mulai melemah, unsur-unsur militer mendirikan dinasti-dinasti yang merdeka.
Al-Aziz meninggal pada tahun 386 H/996 M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti Fatimiyyah.
Al-Hakim (996-1021 M.), putra Al-Aziz, diangkat menjadi khalifah ketika berusia sebelas tahun. Oleh karenanya, pemerintahan sangat dipengaruhi oleh gubernur Barjawan. Akhirnya, pemerintahan tidak stabil, kekerasan berlangsung, dan tak dapat dihindarkan konflik dengan umat Kristen dan Yahudi yang merasa hak-haknya dipersempit. Ia menyelesaikan pembangunan Dar Al-Hikmah, sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai sarana penyebaran teologi Syi’ah.
Al-Zahir (1021-1036 M.), putra Al-Hakim, ia diangkat menjadi khalifah pada usia enam belas tahun, sehingga pemerintahan disetir oleh bibinya, Sitt al-Mulk. Setelah sang bibi meninggal, ia dijadikan boneka oleh para menterinya. Karena musibah banjir, rakyat menderita kekurangan pangan, sedang harga barang tidak lagi terjangkau. Ia pernah mengusir sekelompok tokoh mazhab Maliki dari Mesir karena persengketaan keagamaan di tahun 1025 M. Tetapi, pada dasarnya Al-Zahir mempunyai toleransi terhadap Sunni dan Kristen.
Al-Mustanshir (1036-1095 M.), putra Al-Zahir, ia memerintah paling lama, 61 tahun. Masa pemerintahannya yang pertama sepenuhnya di tangan ibunya, sebab sewaktu dinobatkan ia masih berumur tujuh tahun. Padamasanya, pemerintahan Fathimiyah mengalami kemunduran yang drastis. Demikian pula para khalifah setelahnya, Al-Musta’li, Al-Amir, Al-Hafiz, Al-Zafl, Al-Fa’iz dan Al Azid, tidak mampu lagi membawa pemerintahannya untuk kembali seperti semula. Rata-rata mereka dinobatkan masih berusia sangat muda, sehingga pemerintahan disetir oleh pihak lain. Khalifah terakhir Al-Azid berhasil diturunkan dari tahtanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada 1171 M. Maka, berdirilah kemudian Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Urutan Nasab Khalifah Dinasti Fatimiyah[8]
- 3. Prestasi Dinasti Fatimiyah dalam Pengembangan Peradaban Islam.
- Prestasi di bidang sains dan kebudayaan.
Dinasti Fatimiyyah di Mesir dapat dikatakan mengungguli prestasi Bani’Abbas di Baghdad dan Bani Umayyah di Spanyol pada saat yang sama, terutama prestasi dalam bidang ilmu pengetahuan (sains). Pengembangan sains di sana bermula dari tradisi yang berhasil dirintis oleh khalifah Al-Aziz. Ia adalah seorang sastrawan yang mempunyai perhatian besar dalam bidang sains, seperti Al-Makmun di Bani Abbas. Tidak heran jika istana dijadikan sebagai pusat kegiatan keilmuwan, tempat diskusi para ulama, fuqaha, qurra, nuhat, ahli hadis dan para pejabat yang ikut juga terlibat di dalamnya. Sebagian para pejabat dan pegawai terdiri dari para ilmuwan dalam berbagai disiplin i1mu.
Al-Aziz memberi gaji yang besar kepada para pengajar, sehingga banyak para ulama besar pindah dari Baghdad ke Kairo. Al-Azhar dijadikan pusat studi ilmu-ilmu dari berbagai disiplin ilmu. Di samping Al-Azhar, pada 1005 M. Al-Hakim mendirikan Dar al-Hikmah, sebagai pusat studi pada tingkat tinggi, di dalamnya dilakukan diskusi, penelitian, penulisan dan penerjemahan, serta pendidikan.
Pada masa ini muncul sejumlah ulama besar, diantaranya; Muhammad al-Tamimi (ahli fisika dan kedokteran), Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat), al-Nu’man (ahli hokum dan menjabat sebagai hakim), Ali Ibn Yunus (Ahli Astronomi), Ali al-hassan Ibn al-Khaitami (Ahli fisika dan optik).[9]
Sektor pertanian sangat digalakkan, karena tanah negeri Mesir sangat subur berkat aliran sungai Nil yang sangat melimpah. Karenanya, sistem pengairan melalui perbaikan irigasi dan kanal-kanal dapat meningkatkan produktivitas pertanian: gandum, kurma, kapas, bawang putih dan merah, serta kayu-kayu hutan untuk industri kapal-kapal dagang dan perang.
Dari sektor industri dan perdagangan, Mesir tekenal dengan hasil tenunan, kain sutra, wol dan sebagainya yang diekspor ke Eropa. Selain textil, dibangun pula industri kristal, keramik, kerajinan tangan, serta tambang besi, baja dan tembaga. Dengan dibangunnya armada laut yang tangguh serta kapal-kapal dagang, maka sektor perdagangan pun sangat maju. Kota Fusthat, Kairo, Qaus, dan Dimyati menjadi pusat perdagangan di Mesir. Iskandariyah adalah kota pelabuhan internasional yang menjadi tulang punggung dan pusat pertemuan kapal-kapal dagang Barat dan Timur. Pajak dari sektor perdagangan ini menjadi andalan utama bagi pemasukan dan penunjang ekonomi negara.
Tradisi yang terbangun dalam dinasti Fatimiyah ini, doktrin Syi’ah begitu kental. Mereka mengadakan hari-hari perayaan, termasuk hari perayaan kaum syi’ah seperti Maulud Nabi, hari jadi sayyidina Hassan dan Husein serta hari jadi Siti Fatimah. Pada malam hari perayaan ini semua masjid dinyalakan lampu dan tilawah turut diadakan di masjid-massjid.[10]
- Kebijakan Politik dan Doktrin Keagamaan.
Ketika al-Muiz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali. Sedangkan al-Muiz mmenganut faham Syi’ah. Oleh karena itu, al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan sunni dan syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama’ syi’ah; dan sunni hanya menduduki jabatan-jabatan penting rendah.
Pada tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang – politik, agama dan militer – dipegang oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningkat.[11]
Doktrin Imamah bagi Syi’ah yang dikembangkan oleh pemerintahan syi’ah tidak hanya berkonotasi theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut Syi’ah berpendirian bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hanya Ahl al-Bait, yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh karenanya, mereka tidak mau tunduk pada pemerintahan para khalifah tersebut. Selain itu, mereka tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai haknya itu melalui berbagai jalan termasuk pemberontakan dan peperangan. Berdirinya Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini juga antara lain dilatarbelakangi oleh doktrin di atas.
Pemerintahan Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat, simbol-simbol keagamaan, khususnya. Dalam hubunganya dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti dinyatakan oleh Moh Nurhakim (2003;106-107)[12]bahwa Fatimiyah membangun masjid-masjid., seperti Al Azhar dan Al Hakim, dengan menara serta kubahnya vang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah Sebagai suatu cara memuliakan terhadap khalifah karena kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan.
Selain itu, menurut Nur Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup disejajarkan dengan memuliakan terhadap kalangan Svuhada’ dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun sejumlah makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir, dalam rangka meningkatkan peziarah serta memberi kesan mendalam kepada masyarakat atas tempat-tempat suci dan keramat. Maka, pada 1153 M. kepala Husein, yang dipenggal dalam peperangan melawan Yazid bin Muawivah, dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu di bangunlah makam Sayyaidina Husein yang sekarang disebut perkampungan Husein.
Salah satu doktrin keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya, doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi keagamaan pada dirinva. MisaInva, Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari Said bin Husain al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Isma’iliyah. Dengan gelar ini, maka setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang kholifah adalah seorang imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam doktrin Syiah juga bersifat messianistik (Mahdiisme), yakni, ia dipahami sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan konflik yang berkepanjangan yang tak terselesaikan.
Sebagai akibat dari doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak yang militan, khususnya di masa awal kemunculannya. Usaha para pemimpin Syi’ah yang kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan di bawah tanah dalam waktu yang panjang dengan penuh militansi. Selanjutnya, pemerintahannya bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan simbol-simbol ritus maupun mitos dalam agama sangatlah kental. Untuk memperoleh dukungan rakyat, make khalifah sering menggunakan simbol-simbol keagamaan. Hal yang terakhir ini juga membawa pengaruh kepada corak kebuday’aannya yang religius.
- Kemunduran dan akhir Dinasti Fatimiyah.
Melihat perjalanan dinasti Fatimiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti Fathimiyah merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang bermunculan khususnya di masa paruh kedua, di mana suatu faktor dapat menyebabkan faktor-faktor yang lain. Secara ringkas, di antara faktor-faktor yang paling menonjol adalah sebagai berikut[13]:
Pertama, melemahnya para khalifah, khususnya sejak Al Mustansir, ia adalah urutan khalifah yang ketujuh. jika seluruh khalifah Fathimiyah berjumlah 14 orang, maka, dapatlah dikatakan bahwa tujuh khalifah yang pertama kuat-kuat, sedang tujuh berikutnya rata-rata lemah. Kelemahan ini disebabkan karena sewaktu dinobatkan menjadi khalifah usia mereka masih sangat muda, seperti; Al-Hakim berusia sebelas tahun, Al Zahir berusia enam belas tahun, Al-Amir disebut masih “berusia hijau “, Al-Zafir berusia tujuh belas tahun, AI-Faiz dikatakan“berusia balita”, dan Al-Azid, khalifah terakhir, dinobatkan dalam usia Sembilan tahun.
Lemahny para khalifah ini menyebabkan tampilnya “orang-orang kuat” dan berpengaruh sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya, dan khalifah hanya sebagai boneka “orang-orang kuat” misalnya, Barjawan, seorang gubernur Al Hakim, Sitt al-Mulk, bibi Al-Zahir, dan Al-Azfal, perdana menteri Al-Amr. Tampilnya “orang-orang kuat” ini mengakibatkan kecemburuan di pihak saudara-saudara para khalifah, dan membuat keadaan pemerintahan diktator dan tidak stabil.
Di samping itu, lemahnya para khalifah disebabkan oleh intrik di sekitar istana sendiri yang bersumber pada perasaan tidak adil jika terjadi pengangkatan khalifah berdasarkan “kelompok kepentingan” yang kuat, dan bukan berdasarkan suatu sistem atau melalui wasiat. Sebagai contoh, Nizar, kakak Al-Musta’li, merasa kecewa berat karena al-Musta’li, adiknya itu, diangkat menjadi khalifah pengganti bapaknya Al-Mustanshir yang wafat. la merasa bahwa dia adalah yang lebih berhak untuk jabatan itu dari pada adiknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi gerakan oposisi terhadap adiknya yang dikenal dengan gerakan Assasin yang dipimpin oleh Al-Hasan bin Al-Sabah. Gerakan ini belakangan berhasil membunuh dua orang khalifah, Al-Musta’li dan Al-Amir.
Kedua, perpecahan dalam tubuh militer. Dalam tubuh militer terdapat tiga unsur kekuatan.Pertama, unsur bangsa Barbar yang sejak awal ikut berjuang mendirikan Dinasti Fathimiyah.Kedua, unsur bangsa Turki yang berhasil masuk karena didatangkan oleh khalifah Al-Aziz.Ketiga, unsur kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah Al-Mustanshir. Tiga faksi ini selalu. bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antar mereka. Peperangan terbuka yang paling dahsyat adalah peperangan antara unsur Turki dan unsur Barbar. Sedang khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini menyebabkan kontrol milter terhadap wilyah-wilayah menjadi lemah. Akhirnya, wilayah-wilayah dinasti yang demikian luas menjadi berkurang secara berangsur-angsur karena melepaskan diri atau dikuasahi oleh dinasti yang lain.
Ketiga, bencana alam. Kekeringan yang melanda Mesir di samping menimbulkan penderitaan rakyat karena kelaparan, wabah penyakit, perampokan dan lainnya, juga, bagi negara, menyebabkan lumpuhnya perekonomian agraris yang hasilnya justru merupakan sumber devisa utama Mesir. Kekurangan pangan yang melanda Mesir memaksa khalifah meminta bantuan kepada Konstantin Monomachus untuk mengirim bahan-bahan makanan ke Mesir.
Kelemahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam dinasti Fathimiyah, pada gilirannya memancing datangnya serangan dari pihak luar, yakni panglima Shalahuddin dari dinasti Ayyubiyah. Karena prestasinya dalam Perang Salib, maka ia mudah mendapatkan simpati masyarakat luas yang akhirnya dapat menaklukkan dinasti Fathimiyah dengan mudah pula.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar