Umair bin Abi Waqqash berhijrah bersama saudaranya, Sa’ad, ke Madinah. Ketika orang yang bertugas untuk mengumandangkan seruan jihad berkata, “Hayya ‘alal jihad” (Mari berjihad). Sa’ad pun segera keluar dengan membawa pedang dan panahnya. Saat itu usia Sa’ad telah lebih dari dua puluh tahun, sedangkan Umair masih kecil. Umurnya belum mencapai tiga belas atau empat belas tahun. sa'ad merupakan salah seorang sahabat yang selalu aktif ikut serta dalam berbagai pertempuran melawan kaum musyrik. senjata utama beliau adalah panah dan doa. beliau menyebut senjatanya dengan "anak panah yang diberkahi" sa'ad selalu teringat akan sabda rasulullah yang ditujukan kepadanya, "makanlah yang baik-baik,wahai sa'ad, niscaya doamu akan dikabulkan" beliau juga teringat sabda rasulullah yang lainnya "ya allah, tepatkanlah lemparanya dan kabulkanlah doanya" Sejak saat itu yang menjadi senjata Sa’ad dalam setiap peperangannyaa adalah “anak panah yang diberkahi” dan “doa yang dikabulkan” itu. Sa’ad selalu teringat akan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ditujukkan kepadanya, “Makanlah yang baik-baik, wahai Sa’ad, niscaya doamu akan dikabulkan.”
Dia juga teringat sabda Rasulullah lainnya, “Ya Allah, tepatkanlah lemparannya dan kabulkanlah doanya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Nabi-Nya itu, maka Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun menjadi pemanah jitu dan doanya selalu terkabulkan.
Mengenai lemparan jitu dan anak panah yang selalu mengenai sasaran, dapat dilihat dengan jelas dalam pertempuran-pertempuran yang selalu diikuti oleh Sa’ad dalam melawan orang-orang musyrik, terutama ketika dia menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin dalam penaklukan negeri Persia dengan tujuan menyebarluaskan Islam disana.
Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, tidak banyak kebaikan dunia yang masih tersisa. Sebagian kaum muslimin saling berseteru dengan sebagian yang lainnya. Adapun Sa’ad berrusaha menjauhkan diri dari fitnah (kerusuhan) tersebut. Dia juga tidak turut berperang dalam kubu ‘Ali ataupun Muawiyah. Akan tetapi, dia lebih memilih untuk tinggal di Madinah yang berada jauh dari tempat terjadinya kerusuhan tersebut. Dia menjadi wali (gubernur) disana.
Ketika hari kematiannya datang, dia sempat berkata, “Aku mempunyai sebuah jubah yang terbuat dari bulu. Ketika menghadapi pasukan kaum musyrikin pada peperangan Badar, aku mengenakan jubah tersebut. Sesungguhnya aku ingin bertemu Allah dengan menggunakan jubah tersebut. Karenanya, kafanilah aku dengan jubah itu bila aku meninggal.”
Pada pagi hari di tahun ke-55 Hijriyah, kaum muslimin melayat Sa’ad. Mereka memakamkannya di Baqi’ di samping kuburan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Ummahat Almu’minin) ikut mendoakannya. Mereka semua menangis tersedu-sedu, karena sang pelempar jitu dan pemilik doa yang selalu terkabulkan itu telah meninggal dunia./telah berpulang ke rahmatullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar