Minggu, 16 November 2014

DINASTI UMAYYAH (662- 750)

A.      Pengertian Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
Sejarah berdirinya Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah.  Bani Umayyah baru masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad berserta beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan yang menyerbu masuk ke dalam kota Makkah. Memasuki tahun ke 40 H/660 M, banyak sekali pertikaian politik dikalangan ummat Islam, puncaknya adalah ketika terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Muljam. Setelah khalifah terbunuh, kaum muslimin diwilayah Iraq mengangkat al-Hasan putra tertua Ali sebagai khalifah yang sah. Sementara itu Mu’awiyah sebagi gubernur propinsi Suriah (Damaskus) juga menobatkan dirinya sebagai Khalifah.
Namun karena Hasan ternyata lemah sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali menyerahkan pemerintahannya kepada mu’awiyyah bin abi sufyan.Mu'awiyah sebagai pendiri dinasti Umayyah adalah putra Abu Sufyan, seorang pemuka Quraisy yang menjadi musuh Nabi Muhammad saw. Mu'awiyah dan keluarga keturunan Bani Umayyah memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan kota Makkah. Nabi pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi dan Nabi berkenan menikahi saudaranya yang perempuan yang bernama Umi Habibah. Karier politik Mu'awiyah mulai meningkat pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab. Setelah kematian Yazid Ibn Abu Sufyan pada peperangan Yarmuk, Mu'awiyah diangkat menjadi kepala di sebuah kota di Syria. Karena keberhasilan kepemimpinannya, tidak lama kemudian dia diangkat menjadi gubernur Syria oleh khalifah Umar. Mu'awiyah selama menjabat sebagai gubernur Syria, giat melancarkan perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai perbatasan wilayah kekuasaan Bizantine.Pada masa pemerintahan khalifah Ali Ibn Abu Thalib, Mu'awiyah terlibat konflik dengan khalifah Ali untuk mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syria.Sejak saat itu Mu'awiyah mulai berambisi untuk menjadi khalifah dengan mendirikan dinasti Umayyah. Setelah menurunkan Hasan Ibn Ali, Mu'awiyah menjadi penguasa seluruh imperium Islam,dan menaklukan Afrika Utara merupakan peristiwa penting dan bersejarah selama masa kekuasaannya[1].
B.       Sistem Pemerintahan Bani Umayyah
Untuk mengamankan tahtanya dan memperluas batas wilayah Islam, Muawiyah sangat mengandalkan orang-orang Suriah. Para sejarawan mengatakan bahwa orang-orang Suriah itu sangat menjunjung tinggi kesetian terhadap khalifah tersebut.
Sebagai organisator militer, Mu’awiyah adalah yang paling unggul diantara rekan-rekan se-zamannya. Ia mencetak bahan mentah yang berupa pasukan Suriah menjadi satu kekuatan  militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi, ia membangun sebuah Negara yang stabil dan terorganisir. Ketika berkuasa, Muawiyah telah banyak melakukan perubahan besar dan menonjol di dalam pemerintahan negeri waktu itu. Mulai dari pembentukan angkatan darat yang kuat dan efisien, dia juga merupakan khalifah pertama yang yang mendirikan suatu departemen pencatatan (diwanulkhatam)  yang fungsinya adalah sebagai pencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah. Dia juga telah mendirikan (diwanulbarid) yang memberi tahu pemerintah pusat tentang apa yang sedang terjadi di dalam pemerintahan provinsi. Dengan cara ini, Muawiyah melaksanakan kekuasaan pemerintahan pusat.
Pada 679 M, Mu’awiyah menunjuk puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya. Ketika itulah ia memperkenalkan sistem pemerintahan turun temurun yang setelah itu diikuti oleh dinasti-dinasti besar Islam, termasuk dinasti Abbasiyah. 

Pada perkembangan berikutnya, setiap khalifah mengikuti caranya, yaitu menobatkan salah seorang anak atau kerabat sukunya yang dipandang sesuai untuk menjadi penerusnya. Pemindahan kekuasaan Mu’awiyah mengakhiri bentuk demokrasi, kekhalifahan menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun), yang di peroleh tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Sikap Mu’awiyah seperti ini di pengaruhi oleh keadaan Syiria selama dia menjadi gubernur disana[2].

Sistem dan model pemerintahan yang diterapkan Dinasti Umayyah ini mengundang kritik keras, terutama dari golongan Khawarij dan Syiah. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik terhadap kearaban dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah orang non-Arab dan memposisikan mereka sebagai warga kelas dua. Kondisi tersebut menimbulkan kebencian penduduk non-Muslim kepada Bani Umayyah. Di bidang yudikatif, para qadi (hakim) ditunjuk oleh gubernur setempat yang diangkat oleh khalifah. Ketika Abdul Malik naik tahta, perbaikan di bidang administrasi pemerintahan dan pelayanan umum digalakkan. Ia memerintahkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di setiap kantor pemerintahan. Sebelum itu, bahasa Yunani digunakan di Suriah, bahasa Persia di Persia, dan bahasa Qibti di Mesir.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik, para gubernur yang diangkatnya menjalankan fungsinya dengan baik. Gubernur Mesir saat itu, Abdul Aziz bin Marwan, membuat alat pengukur Sungai Nil, membangun jembatan, dan memperluas Masjid Jami Amr bin Ash. Sementara itu, gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, melakukan perbaikan sistem irigasi dengan mengalirkan air Sungai Tigris dan Eufrat ke seluruh pelosok Irak sehingga kesuburan tanah pertanian terjamin. Ia juga melarang keras perpindahan orang desa ke kota. Kehidupan ekonomi juga dibangun dengan memperbaiki sistem keuangan, alat timbangan, takaran, dan ukuran.

Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, seorang gubernur juga mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam provinsinya. Ketika al-Walid I naik tahta menggantikan Abdul Malik, kesejahteraan rakyat mendapat perhatian besar. Ia mengumpulkan anak yatim, memberi mereka jaminan hidup, dan menyediakan guru untuk mengajar mereka. Bagi orang cacat, ia menyediakan pelayan khusus yang diberi gaji. Orang buta diberikan penuntun dan bagi orang lumpuh disediakan perawat. Ia juga mendirikan bangunan khusus untuk orang kusta agar mereka dirawat sesuai dengan persyaratan kesehatan. Al-Walid I juga membangun jalan raya, terutama jalan ke Hedzjaz. Di sepanjang jalan itu, digali sumur untuk menyediakan air bagi orang yang melewati jalan. Untuk mengurus sumur-sumur itu, ia mengangkat pegawai. Pada saat Umar bin Abdul Aziz memerintah, ia melakukan pembersihan di kalangan keluarga Bani Umayyah. Tanah-tanah atau harta lain yang pernah diberikan kepada orang tertentu dimasukkannya ke dalam baitul mal. Terhadap para gubernur dan pejabat yang bertindak sewenang-wenang, ia tidak ragu-ragu mengambil tindakan tegas berupa pemecatan. Kebijakannya di bidang fiskal mendorong orang non-Muslim memeluk agama Islam. Pajak yang dipungut dari orang Nasrani dikurangi. Jizyah atau pajak yang masih dipungut dari orang yang telah masuk Islam di antara mereka dihentikan. Dengan demikian, mereka berbondong-bondong masuk Islam. Selama masa pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, seperti perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur baru, pembangunan jalan, penyediaan tempat penginapan bagi para musafir, memperbanyak masjid, dan sebagainya[3].

C.      Kemajuan yang Dicapai Dimasa Pemerintahan Umayyah


Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi, sehingga menjadi negara islam yang  besar dan luas. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian pada kebudayaan arab[4] .


pada zaman pemerintahan Abdul Malik, Salih Ibn Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjaj, mencoba menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi di seluruh negeri. Meskipun, bahasa-bahasa asal tidak sepenuhnya dihilangkan. Orang-orang non Arab telah banyak memeluk Islam dan mulai pandai menggunakan bahasa arab. Perhatian bahasa arab mulai diberikan untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa arab.Hal inilah yang mendorong lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair arab jahiliyah pun muncul kembali sehingga bidang sastra Arab mengalami kemajuan.

Bidang pembangunan juga di perhatian para khalifah Bani Umayyah. Masjid-masjid di semenanjung Arabia dibangun, katedral st. John di Damaskus diubah menjadi masjid. Dan kadetral di Hims digunakan sekaligus sebagai masjid dan gereja. Selain itu, di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat. Pusat kegiatan ilmiyah ini adalah Kuffah dan Basrah di Iraq[5] .
Ekspansi ke barat dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa ini dikenal dengan masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya benua Eropa yaitu pada tahun 771 M. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Tariq bin Ziyad dengan menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dan benua Eropa. Mereka kemudian mendarat di suatu tempat yang dinamakan dengan Gibraltar (jabal tariq).Tariq berhasil mengalahkan tentara Spanyol dan dapat menguasai Kordova, Seville, Elvira, dan Toledo. Pasukan Islam dapat memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Dinasti Umayyah disamping telah berhasil dalam ekspansi teritorialnya sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam berbagai bidang, diantaranya adalah:
Dalam bidang  administrasi pemerintahan meliputi:
1.         Pemisahan kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik.

2.         Pembagian wilayah. Wilayah kekuasaan terbagi menjadi beberapa provinsi, yaitu: Syiria dan Palestina, Kuffah dan Irak, Basrah dan Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah, Arenia, Hijaz, Karman dan India, Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika Utara), Yaman dan ArabSelatan,serta Andalusia.


3.         Bidang administrasi pemerintahan. Organisasi tata usaha negara terpecah menjadi bentuk dewan. Departemen pajak dinamakan dengan dewan Al-Kharaj, departemen pos dinamakan dengan dewan Rasail, departemen yang menangani berbagi kepentingan umum dinamakan dengan dewanMusghilat, departemen dokumen negara dinamakan dengan dewan Al-Khatim.


4.         Organisasi keuangan. Terpusat pada baitul maal yang asetnya diperoleh dari pajak tanah, perorangan bagi non muslim. Percetakan uang dilakukan pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.


5.         Bidang arsitektur. Terlihat pada kubah Sakhra di Baitul Maqdis, yaitu kubah batu yang didirikan pada masa khalifah Abdul Malik Ibn Marwan pada tahun 691 M.6.         Bidang pendidikan. Pemerintah memberikan dorongan kuat dalam memajukan pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarana. Hal tersebut dilakukan agar para ilmuan, ulama’ dan seniman mau melakukan pengembangan dalam ilmu yang didalaminya serta dapat melakukan kadernisasi terhadap generasi setelahnya.




Pada masa ini telah dilakukan penyempurnaan penulisan al-Quran dengan memberikan baris dan titik pada huruf-hurufnya. Hal tersebut dilakuakn pada masa pemerintahan Abd Malik Ibn Marwan yang menjadi khalifah antara tahun 685-705M. Pada masa Dinasti ini juga telah dilakukan pembukuan hadist tepatnya pada waktu pemerintahan khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz (99-10 H), mulai saat itu ilmu hadist berkembang dengan sangat pesat. Khalifah-khalifah dinasti Umayyah juga menaruh perhatian pada perkembangan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu agama yang mencakup al-Qur’an, hadist,fikih,sejarah dan geografi. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat.Ubaid Ibn Syariyah Al Jurhumi telah berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa seperti nahwu, sharaf, dan lain-lain. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran. Khalifah Al-Walid mendirikan sekolah kedokteran, ia melarang para penderita kusta meminta-minta di jalan bahkan khalifah menyediakan dana khusus bagi para penderita kusta tersebut, pada masa ini sudah ada jaminan sosial bagi anak-anak yatim dan anak terlantar.


D.      Faktor-Faktor Penyebab Mundurnya Dinasti Umayyah

Kebesaran yang dibangun oleh Daulah Bani Umayyah ternyata tidak dapat menahan kemunduran dinasti yang berkuasa hampir satu abad ini, hal tersebut diakibatkan oleh beberapa factor  yang kemudian mengantarkan pada titik kehancuran. Diantara fakto-faktor tersebut adalah:

1.      Terjadinya pertentangan keras antara kelompok suku Arab Utara (Irak) yang disebut Mudariyah dan suku Arab Selatan (Suriah) Himyariyah,  pertentangan antara kedua kelompok tersebut mencapai puncaknya pada masa Dinasti Umayyah karena para khalifah cenderung berpihak pada satu etnis kelompok.


2.      Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu status yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa  Umayyah. Mereka bersama-sama orang Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan diatas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.


3.      Konfllik-konflik politik yang melatar belakangi terbentuknya Daulah Umayyah. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan  Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani  Umayyah dalam memimpin umat.



Dari penjelasan di atas dapat saya simpulkan bahwa faktor-faktor keruntuhan dinasti Bani Umayyah secara umum ada dua yaitu:

a.       Faktor Internal

Beberapa alasan mendasar yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti Umayah adalah karena kekuasaan wilayah yang sangat luas tidak dibaringi dengan komunikasi yang baik, sehingga menyebabkan suatu kejadian yang mengancam keamanan tidak segera diketahui oleh pusat.


Selanjutnya mengenai lemahnya para khalifah yang memimpin. Diantara khalifah-khalifah yang ada, hanya beberapa saja khalifah yang cakap, kuat, dan pandai dalam mengendalikan stabilitas negara. Selain itu, di antara mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana dengan hidup bersama gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya. Situasi semacam ini pun mengakibatkan munculnya konflik antar golongan, para wazir dan panglima yang sudah berani korup dan mengendalikan negara.


b.      Faktor Eksternal


Intervensi luar yang berpotensi meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal pada saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun Syiah tak ada yang memusuhinya. Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap keamanan pemerintahannya. Semasa pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas mampu berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan Syiah yang tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah Umar II wafat, barulah gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti Umayah. Gerakan yang dilancarkan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamasikan berdirinya pemerintah Abbasyiah, namun Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh, pemimpin gerakan diambil alih oleh seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya menuju Kuffah. Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu[6].


            As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan untuk menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin tentara tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur dengan begitu sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang sampai akhirnya pasukan Marwan pun kalah pada pertempuran itu.


Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah pun tertuju kepada Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat itu Yazid mengambil sikap damai setelah mendengar berita kematian Marwan. Di tengah pengambilan sikap damai itu lantas Yazid ditawari jaminan keselamatan oleh Abu Ja’far al-Mansur yang akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan disahkan oleh As-Saffah sebagai jaminannya. Namun, ketika Yazid dan pengikut-pengikutnya telah meletakkan senjata, Abu Muslim al-Khurasani menuliskan sesuatu kepada As-Saffah yang menyebabkan Khalifah Bani Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.

SUMBER: http://sejarahperadabanislam77.blogspot.com/2013/05/sejarah-dinasti-umayyah.html


Kekhalifahan Umayyah

Bani Umayyah (bahasa Arabبنو أميةBanu UmayyahDinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islampertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota diDamaskus) ; serta dari 756 sampai 1031 di KordobaSpanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepadaUmayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.

Masa Keemasan





Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affanpertempuran Shiffinperang Jamaldan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah,[butuh rujukan] dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerahKhurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota BizantiumKonstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkanBalkanabadBukharaKhwarezmiaFerghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan,Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota SpanyolCordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain sepertiSevilleElvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin olehAburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang BordeauxPoitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islampada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi SpanyolAfrika UtaraSyriaPalestinaJazirah ArabIrak, sebagian Asia Kecil,PersiaAfganistan, daerah yang sekarang disebut PakistanTurkmenistanUzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padahal tidak ada satu dalil pun dari al-Qur'an dan Hadits Nabi yang mendukung pendapatnya.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala[1], Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim keDamaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri, yang tertindas setelah kesyahidan pemimpin mereka Husain bin Ali, terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan di antaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari PersiaArmenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinahdan Mekkah secara biadab seperti yang diriwayatkan dalam sejarah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu, gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjutnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), di mana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, dimana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.

Penurunan





Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.
Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus.

Bani Umayyah di Andalus


Al-Andalus atau (kawasan Spanyol dan Portugis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam pada zaman khalifah Bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M), dimana tentara Islam yang sebelumnya telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah.

Dalam proses penaklukan ini dimulai dengan kemenangan pertama yang dicapai oleh Tariq bin Ziyad membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Kemudian pasukan Islam dibawah pimpinan Musa bin Nushair juga berhasil menaklukkan SidoniaKarmonaSeville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan GothTheodomir diOrihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Zaragoza sampaiNavarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz tahun 99 H/717 M, dimana sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pirenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota BordeauxPoitiers dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours, di kota ini ia ditahan oleh Charles Martel, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Tours, al-Ghafiqi terbunuh sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara muslim mundur kembali ke Spanyol.
Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Goth bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderic, Raja Goth terakhir yang dikalahkan pasukan Muslimin. Awal kehancuran kerajaan Visigoth adalah ketika Roderic memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderic. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Raja Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islamuntuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa.
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderic yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang, selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.
Sewaktu penaklukan itu para pemimpin penaklukan tersebut terdiri dari tokoh-tokoh yang kuat, yang mempunyai tentara yang kompak, dan penuh percaya diri. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.

Genealogi Bani Umayyah

Umayyah
pendiri Bani Umayyah
Harb
Abu al-'Ash
Abu Sufyan
kepala suku Mekkah
Affan
al-Hakam
Yazid
(Gub. Siria th. 639
1. MUAWIYAH I
(k. 661-680)
Ummu Habibah
UTSMAN
4. MARWAN I
(k. 684-685)
2. YAZID I
(k. 680-683)
3. MUAWIYAH II
(k. 683-684)
Muhammad
5. ABDUL-MALIK
(k. 685-705)
Abdul-Aziz
Gub. Mesir
14. MARWAN II
(k. 744-750)
6. AL-WALID I
(k. 705-715)
7. SULAIMAN
(k. 715-717)
9. YAZID II
(k.720-724)
10. HISYAM
(k. 724-743)
8. UMAR II
(k. 717-720)
12. YAZID III
(k. 744)
13. IBRAHIM
(k. 744)
11. AL-WALID II
(k. 743-744)
Muawiyah
Abd ar-Rahman I
Emir di Kordoba

[2] Catatan:

  • k. merupakan tahun kekuasaan

Kronologi Bani Ummayyah



Kekhalifahan Utama di Damaskus

  1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
  2. Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
  3. Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
  4. Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
  5. Abdullah bin Zubair bin Awwam, (peralihan pemerintahan, bukan Bani Umayyah).
  6. Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
  7. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
  8. Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
  9. Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
  10. Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
  11. Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
  12. Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
  13. Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
  14. Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
  15. Marwan II bin Muhammad (memerintah di HarranJazira), 127-133 H / 744-750 M

Keamiran di Kordoba

Kekhalifahan di Kordoba

Referensi

  1. ^ Britannica Encyclopedia, Battle of Karbalāʾ
  2. ^ HODGSON, Marshall G.S.THE VENTURE OF ISLAM, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan BaruJakarta:PARAMADINA1999ISBN 979-8321-32-4

Buku Pedoman

  1. Al-Bidaayah Wan Nihaayah, Ibn Katsir.
  2. Tarikh Khulafa', As-Suyuthi.
  3. Tarikh Bani Umayyah, Al-Mamlakah Su'udiyyah.
  4. Tarikh Islamy, Ibn Khaldun.
  5. Sejarah Bani Umayyah, Muhammad Syu'ub, Penerbit PT.Bulan Bintang.

SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Kekhalifahan_Umayyah

Sejarah Dinasti Umayah

Dinasti Umayah
(Kilas Pintas Pendirian, Para Khalifah, dan Keruntuhannya)
  1. Bermula Dari Perang Shiffin
11 Shafar tahun 37 H, berlangsung peperangan antara kaum muslimin. Pendukung Ali bin Thalib ra. versus Mu’aiwyah. Perang berlangsung beberapa hari dan tanda-tanda kemenangan mulai condong ke pihak Ali. Ketika kemenangan di depan mata kelompok Ali, tiba-tiba pihak Muawiyah menggunakan taktik tahkim. Akhirnya dipilihlah Musa al-As’ariy dari pihak Ali dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah untuk melakukan perundingan pada bulan Sya’ban 37 di Dumat al-Jandal.


Hasil perundingan ini memberikan kebebasan penuh kepada rakyat untuk memilih siapa yang memimpin mereka. Begitu Musa al-As’ariy berikrar melepaskan kepemimpinan Ali dan Muawiyah, Amr bin Ash tampil dan malah mengokohkan kepemimpinan Mu’ayiwah. Kecurangan pihak Mu’awiyah ini memperburuk posisi ‘Ali. Ditambah lagi, salah seorang dari kelompok Khawarij—pembelot dari kalangan Ali—bernama Ibn Muljam berhasil menebas Sayyidina ‘Ali di pagi buta saat beliau hendak salat berjamah subuh.

Posisi Muawiyah kian kuat. Memang Hasan bin Ali dibaiat di Kuffah untuk melanjutkan kepemimpinan ayahandanya, tapi pada akhirnya beliau malah memilih berdamai ketimbang disibukkan urusan kenegaraan. Alasan lain, sangat mungkin Hasan letih dengan peperangan antara kaum muslimin. Hasan menyerahkan daerah kekuasaannya dengan mengajukan beberapa syarat. Pertama, Muawiyah harus dalam menjalan kepemerintahannya harus berpegan teguh kepada Al-Quran, al-Sunnah, dan sirah Khalifah yang empat. Kedua, Mu’awiyah tidak boleh menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Ketiga, urusan kepemimpinan setelah Muawiyah harus diserahkan kepada kaum muslimin. Keempat, menjamin keselamatan jiwa pendukung ‘Ali.
Kini mantaplah posisi Mu’awiyah. Ibu kota berpindah ke Damaskus.
  1. Dari Demokratis Ke Kerajaan
Di masa Khalifah yang empat, sistem pemilihan pemimpin ditetapkan dengan permusyawaratan. Mu’awiyah memilih bentuk kerajaan dengan pertimbangan untuk menghindari kekisruhan dan perpecahan. Boleh jadi ada muatan politisnya, misalnya ambisi untuk menguasai dunia Islam dengan dinastinya sendiri atau mempermudah jalan putranya, demikian dugaan segelintir sejarawan. Kemungkinan nuansa politis ini disanggah beberapa sejarawan terkemuka, diantaranya adalah Ibn Khaldun yang mengatakan: tidak ada motif lain bagi Muawiyah dalam peristiwa ini (mengangkat putranya sendiri) sebab integritas dan statusnya sebagai sahabat Nabi terkemuka dan penulis wahyu menghalanginya untuk melakukan yang demikian (mengangkat putranya karena motif kekuasaan misalnya).
Sebagaian besar peralihan kepemimpin dalam Dinasti Umayyah ini adalah penunjukkan secara individual. Pemimpin yang merasakan ajalnya mendekat, mulai menunjuk penggantinya, yang biasanya itu adalah putranya sendiri.
  1. Pencapaian-Pencapaian Dinasti Umayyah
Sepintas kilas dinasti ini dibagun setidaknya dengan dua pondasi kecurangan. Pertama, Amr bin Ash yang malah mengokohkan kepemimpinan Muawiyah setelah sebelumnya Musa al-As’ayri melepaskan posisi Ali. Kedua, tidak dipenuhinya perjanjian mereka dengan Hasan, yaitu dengan penunjukkan Yazid oleh Mu’awiyah untuk menggantikan posisinya.
Memang perang Shiffin menyisakan kenangan pahit. Ali adalah sahabat, sepupu, bahkan menantu Rasulullah saw. Mu’awiyyah adalah sahabat Rasul dan penulis wahyu. Siapa diantara mereka yang salah? Pertanyaan ini sukar dijawab; bukan hanya karena keduanya adalah figur saleh, tapi juga menentukan siapa yang salah kurang penting. Lalu mengapa mereka bertikai? Pertanyaan inilah yang banyak dijawab oleh sejarawan. Perbedaan pendapat di antara mereka yang berujung pada peristiwa peperangan dan saling bunuh, tidak keluar dari masalah ijtihad. Telah disepakati, seorang mujtahid, tak peduli salah atau benar, tetap mendapatkan pahala atas usahanya mencari kebenaran. Yang salah dapat satu, dan yang benar dapat dua. Jadi baik pihak Ali maupun Muawiyyah berhak mendapatkan pahala. Soal siapa yang dapat satu atau dua, tidaklah penting atau fakta sejarah tidak mendukung untuk menjawab hal tersebut.
Oleh karena itu, melihat dan mencontoh pencapaian dan prestasi dinasti ini lebih penting. Kemudian berpindah kepada masa kemunduran dan robohnya dinasti ini berikut faktor-faktornya. Mengambil pelajaran mengapa suatu peradaban akhirnya hancur adalah pokok utama dari pembahasan sejarah manapun.
Berikut ini adalah beberapa pencapaian dinasti Umayyah dalam beberapa bidang dengan deskripsi singkat dalam masing-masing khalifahnya.
  1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman pos. Pemerintah Muawiyah dikenal dengan pemerintahan yang agresif. Di zamanya, Uqbah bin Nafi dengan dukungan orang-orang Barbar mengalahkan tentara Bizantium di Afrika. Pada tahun 670 M, ia mendirikan biarawan sebagai tempat perkemahan permanen. Serangannya telah sampai ke Atlantik, tetapi dalam perjalanan pulang ia dibunuh oleh seorang kepala suku Barbar. Di sebelah timur, Muawiyah berhasil menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkataan lautnya menyerang ibu kota Bizantium, Constantinopel.
Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
  1. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45).
Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam sepanjang sejarah Islam. Pertama, Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad. Kedua, Pelaksanaan Al-ibahat terhadap kota suci Madinah al-Munawarah. Ketiga, Penggempuran terhadap baiat Allah. Keempat, Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang yang dikebiri untuk barisan pelayan rumah tangga khalif di dalam istana. Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah 3 tahun 6 bulan.
  1. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya, terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya selama enam bulan.
  1. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelumnya menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan, ia berhasil memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap dan memberikan berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan jabatan Khalifah yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid. Selama masa pemerintahannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
  1. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Di bawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya. Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karya-karya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan khalif Abdullah ibn Zubair.
  1. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada dan Toledo.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah tersebut.
  1. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat sendiri. Menjelang saat terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan memegang jabatan wazir besar.
Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan ibu kota Constantinople gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
  1. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun. Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah.
Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil menjalin hubungan baik dengan Syi’ah. Ia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disetarakan dengan Muslim Arab. Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat. Umar bin Abdul Aziz yang terkenal sebagai pemimpin negara yang zuhud, sering mengundang ulama dan ahli fikih untuk mengkaji ilmu di majlisnya. Pada masanya, ada larangan mencaci lawan politik dalam khotbah. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
  1. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid. Pemerintahan Yazid yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani Abas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun 1 bulan.
  1. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbas. Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sicilia pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah-Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
  1. Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri benci padanya. Dan ia mati terbunuh.
Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan olehWalid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing-masing orang. Dia sempat meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun 2 bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
  1. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa pemerintahannya penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
  1. Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Armenia menuju Syiria. Ia dengan suka rela mengundurkan diri dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
  1. Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang semakin kuat. Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh Bani Abbasiyah.
  1. Sebab-sebab hancurnya dinasti Umayah
Kita saksikan bahwa berdirinya dinasti Umayah tidak terlepas dari konflik dan intrik politik yang membekaskan kenangan buruk bagi musuhnya. Akibatnya, kelompok Khawarij dan Syiah untuk masa selanjutnya menetapkan diri sebagai oposisi dan merongrong kedaulatan dinasti Umayah.
Dua kelompok ini dan lainnya hanya bisa diatasi oleh pemimpin yang pandai dan tidak licik, serta berkepribadian baik di samping soliditas bani Umayah sendiri. Sayangnya, di masa-masa belakangan puak-puak Bani Umayah sibuk menebarkan konflik demi singgasana kekuasaan. Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah tidak siap memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan (Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah, juga pelengkap bagi faktor hancurnya Dinasti ini. Di zaman Dinasti Bani Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah cenderung kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali, 1981:169-170).
Di banyak pemerintahan dari dinasti Umyah ada ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab, yakni pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab (Watt, 1990:28).
Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah hal baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Kriterianya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini, bukan hanya ditolak oleh oposisi, bahkan menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti, 1970:281).
Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi oposisi yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abdul al- Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim, golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang dikelasduakan. Hal ini menjadi penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. (Yatim, 2003:48-49 dan Hasymy, 1993:210).
Akhirnya imperium dengan daerah kekuasan terluas keenam (13.2 juta km²) di sepanjang sejarah (Bruce R. Gordon: 2005) ini menemukan ajalnya di tangan musuh-musuhnya dan di tangan diri mereka sendiri. Waalahu a’lam bisshawab! (Author: Abdul Wahid S.Sy)
SUMBER: http://cyberdakwah.com/2013/04/sejarah-dinasti-umayah/

Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah

Sajadah Muslim ~ Assalamu Alaikum wr wb. Pada dasarnya Daulah Bani Umayyahmerupakan lanjutan dari Daulah Khulafaur Rasyidin. Muawiyah adalah pendiri daulah ini. Daulah ini berdiri ketika terjadi krisis politik dalam tubuh umat Islam. Perang siffin merupakan bagian tengah dari episode krisis umat Islam pada masa itu. Sebab, sebelumnya terjadi pula perang yaitu perang antara pemerintah Ali melawan pendukung Aisyah, Zubair, dan Talhah. Perang yang dikenal sebagai perang Jamal (Perang Unta) tersebut terjadi karena peristiwa sebelumnya, yaitu terbunuhnya Khalifah Ustman. Tetapi sebenarnya pangkal dari krisis tersebut sudah ada pada masa Khalifah Ustman menjabat. Umat Islam resah ketika Khalifah dipandang telah membiarkan praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam pemerintahannya. Keresahan umat itu terus berkembang hingga terjadinya aksi demonstrasi di depan kediaman Khalifah Ustman di Madinah. Sayang, aksi yang awalnya hanya gerakan moral anti KKN itu berakhir beringas dan tak terkendali sampai akhirnya menyebabkan Khalifah Ustman terbunuh dan istri beliau terluka.

Karena kehilangan Khalifah, umat Islam mengangkat Khalifah baru. Pada waktu itu Ali bin Abi Thalib dianggap sosok yang paling tepat menjadi Khalifah. Masyarakat Madinah dan para demonstran ramai-ramai membaiat Ali menjadi Khalifah. Dengan naiknya Ali tersebut, keadaan menjadi lebih tenang. Masyarakat Madinah tenang dan para demonstran yang kebanyakan dari daerah luar Madinah, seperti Mesir, Kuffah, dan Basra, juga tenang dan kembali ke daerah masing-masing. Namun, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah serta Aisyah (istri Rasulullah SAW) menolak pembaiatan Ali menjadi Khalifah. Mereka menuntut agar para pembunuh Ustman ditangkap dan diadili dahulu sebelum pemilihan Khalifah. Akibat dari ketidaksetujuan itu pecahlah Perang Unta. Di sisi lain, Muawiyah yang bertempat tinggal di Damaskus juga menyatakan hal yang sama dengan kelompok Zubair, Talhah, Aisyah. Akibat dari penolakan itu, pecahlah perang Siffin.

Asal Usul Bani Umayyah

Nama Umayyah merujuk pada seorang Quraisy di masa Jahiliyah. Dia adalah Umayyah bin Abdus Syam bin Abdi Manaf. Masih terhitung saudara dari Bani Hasyim (keluarga besar Rasulullah SAW), karena Hasyim (ayah Abdul Muthalib) juga salah satu Putra Abdi Manaf. Jadi, Abdi Manaf adalah kakek moyang kedua Bani tersebut. Tetapi, sekalipun satu kakek moyangnya, sejak zaman Jahiliyah Bani Umayyah juga tidak jarang mengganggu keberhasilan Bani Hasyim. Abdul Muthalib, pemimpin Ka’bah saat itu, diganggu oleh Abdus Syam dan Umayyah. Ketika menemukan kembali mata air zamzam, Umayyah dan bapaknya meminta bagian agar dapat mengurusi mata air itu. Tetapi karena penduduk Mekkah tidak berkenan dengan tindakan mereka itu, maka keluarga Abdus Syam tersebut meninggalkan Mekkah menuju Damaskus karena merasa malu.

Pada masa Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah, Bani Umayyah merupakan keluarga kaya, terdidik dan berpengaruh. Salah satu dari mereka adalah pemimpin Kaum Quraisy Mekkah. Dia adalah Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah. Kecintaannya kepada harta dan kekuasaan membuat dia dan keluarganya tidak mau mengakui kebenaran Islam sebagai ajaran yang mulia. Oleh karena itu, Abu Sufyan tidak mau tunduk terhadap ajakan Rasulullah SAW, bahkan terus memusuhi. Aktivitas dakwah Rasulullah SAW yang dianggapnya akan mengubah keadaan sosial, ekonomi, dan politik Mekkah, tentu merugikan para orang kaya, termasuk Bani Umayyah. Untuk itu, berbagai cara dilakukan guna menggagalkan gerakan reformasi yang dibangun Rasulullah SAW tersebut. Sampai-sampai, cara-cara kekerasan (perang) pun mereka lakukan. Tercatat beberapa perang besar (Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq) pasca hijrah, melibatkan kepemimpinan Abu Sufyan.

Abu Sufyan dan keluarga, akhirnya masuk Islam dengan terpaksa pada saat berpuluh-puluh ribu kaum Muslimin mengepung Mekkah dari segala penjuru. Walapun banyak sahabat tidak suka terhadap masuk Islamnya keluarga Abu Sufyan, Rasulullah SAW tetap menghormati perubahan sikapnya. Kesalahan-kesalahannya diampuni, bahkan Muawiyah putra Abu Sufyan diangkat sebagai sekretaris beliau dan saudara perempuannya, Ummu Habibah diperistri oleh Beliau. Setelah beberapa tahun bergabung sebagai kaum Muslimin, keluarga terdidik dan berpengaruh ini ikut membesarkan Islam. Di masa Abu Bakar Sidiq, keluarga Abu Sufyan dan Bani Umayyah merasa rendah diri karena kelas mereka berada di bawah kaum Muhajirin dan Ansar. Mereka tahu diri bahwa perjuangan mereka belum apa-apa dibanding dengan kedua kaum di atas. Apalagi di masa dahulu, mereka memusuhi perjuangan Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka maklum ketika Khalifah Abu Bakar menyatakan di depan umum bahwa keluarga besar Bani Umayyah harus ikut berjuang membela Islam termasuk di medan perang, bila ingin setingkat dengan kaum Muhajirin dan Ansar. Beberapa peperangan yang terjadi di masa Abu Bakar ini anggota Bani Umayyah ikut serta dibarisan kaum Muslimin. Bahkan, Yazid bin Abu Sufyan menjadi salah satu panglima untuk memimpin pasukan ke Syiria melawan Bizantium.

Pada masa Umar, ketika wilayah Islam semakin meluas dan membutuhkan banyak tenaga administratif, sang Khalifah memanfaatkan tenaga-tenaga Bani Umayyah yang umumnya terdidik untuk membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, Yazid dan Muawiyah dipercaya untuk mengelolah wilayah Syiria. Kepercayaan Khalifah Umar ini tidak disia-siakan oleh Bani Umayyah. Mereka bekerja dengan tekun dan dikenal sukses dalam mengerjakan tugas-tugas administratif. Periode Umar inilah awal mula Bani Umayyah menduduki posisi-posisi penting. Namun karena kewibawaan sang Khalifah yang bersih dan berwibawa, mereka tidak berani bertindak macam-macam, seperti korupsi dan sejenisnya.

Pada masa Ustman, kebijakan mempekerjakan tenaga-tenaga Bani Umayyah seperti masa Umar, tetap dilanjutkan. Bahkan Ustman mempercayai mereka untuk jabatan-jabatan strategis. Enam tahun pertama, Ustman sukses membangun Negara. Namun, pada enam tahun berikutnya, karena usia Ustman yang semakin uzur, maka posisi Bani Umayyah semakin kuat. Melalui sekretaris Negara Marwan bin Hakam yang juga salah satu anggota Bani Umayyah, mereka menempatkan kroni-kroninya pada posisi strategis. Praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dijalankan dengan penuh kesungguhan. Hal inilah yang menjadi awal bencana hingga terbunuhnya Khalifah Ustman.

Pada era Ali, keluarga Umayyah yang menjabat posisi-posisi penting pada pemerintahan Ustman, semuanya dicopot. Kebijakan Ali yang keras inilah yang mendorong mereka menentang pengangkatan Ali sampai membuat pecahnya Perang Siffin. Namun, keberuntungan memang ada dipihak mereka pada saat Perang Siffin mengangkat Muawiyah menjadi Khalifah tandingan. Bahkan lebih beruntung lagi ketika Hasan bin Ali yang menggantikan kepemimpinan ayahnya mengakui Muawiyah sebagai Khalifah yang sah di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Sejak itulah mereka mulai membangun pemerintahan Islam warisan Rasulullah SAW dan para sahabat tersebut menjadi pemerintahan milik keluarga besar Bani Umayyah.

Corak Khas Pemerintahan Bani Umayyah

Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah adalah sosok pemimpin yang alim dalam ilmu agama, sederhana dalam hidup, dan tanggung jawab kepada rakyatnya. Dia menjadi imam di Masjid, sekaligus komandan di medan perang. Dia hidup sederhana dan jauh dari sikap mewah. Bahkan, sebagai kepala Negara tidak ada pengawal yang menjaga di sekitarnya. Karena baginya, hidup mati adalah urusan Allah. Adapun untuk mengetahui denyut nadi keadaaan rakyatnya, hampir setiap malam seorang Khalifah mengunjungi kehidupan rakyatnya. Keinginan dan kebutuhan rakyat harus disaksikan dan dirasakan sendiri dengan cara seperti itu. Khalifah sadar bahwa tanggung jawab sebagai pemimpin umat sangatlah berat.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, sikap hidup seperti itu tidak akan ditemukan. Sejak Muawiyah memegang kekuasaan, gaya hidup seorang Khalifah sudah berubah drastis. Muawiyah hidup di dalam benteng dengan pengawalan ketat dan bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II). Hal lain yang berubah pada masa Bani Umayyah adalah fungsi dan kedudukan Baitul Mal. Ketika era Khulafaur Rasyidin. Baitul Mal adalah harta Negara yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun pada masa Bani Umayyah, fungsi dan kedudukan Baitul Mal telah bergeser, sebab Khalifah memiliki wewenang yang besar untuk menggunakan harta Baitul Mal sesuai keinginannya. Kewenangannya, khalifah menggunakan harta tersebut untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya. Kecuali Khalifah Umar II, semua Khalifah memperlakukan Baitul Mal seperti itu. Khalifah Umar II berusaha mengembalikan fungsi dan kedudukan Baitul Mal sebagaimana yang dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin.

Bani Umayyah juga meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang dirintis oleh pendahulunya. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah didampingi oleh sebuah Dewan penasehat yang ikut berperan dalam setiap kebijakan-kebijakan penting Negara. Lebih dari itu, seorang rakyat biasa pun dapat menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan Khalifah secara terbuka. Tradisi positif itu tidak dilanjutkan oleh Muawiyah dan para penerusnya. Walapun lagi-lagi, Umar II berusaha menghidupkan kembali tradisi tersebut, namun penguasa setelahnya segera mengembalikan pada cara-cara kerajaan yang menempatkan sang raja di atas segala-galanya. Satu hal yang memprihatinkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah diabaikannya nilai-nilai ajaran Islam oleh para pejabat Negara dan keluarganya. Mereka lebih suka hidup mewah, mengembangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu direstui oleh sang Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru menikmati kondisi seperti itu.

Namun demikian, ada pula kemajuan positif yang terjadi pada masa Bani Umayyah. Di antaranya adalah bertambah luasnya daerah kekuasaan pemerintahan Islam yang membentang dari Afganistan sampai Andalusia. Suksesnya politik ekspansi ini menempatkan Islam menjadi kekuatan Internasional yang paling disegani di Timur dan di Barat. Imbas positifnya, dakwah Islam cepat tersebar ke berbagai penjuru dunia. Islam dapat tersebar dengan cepat dan meluas. Bahasa Arab menjadi bahasa dunia, Masjid-masjid dibangun di setiap kota besar serta kegiatan pendalaman agama dan pengembangan ilmu pengetahuan Islam semarak di mana-mana. Saat itu, Daulah Bani Umayyah adalah sebuah Negara adikuasa di dunia. Sebagai Negara besar, Daulah Bani Umayyah memiliki militer yang sangat kuat. Tidak seperti para pejabat istana, kaum militer ini umumnya terdiri atas orang-orang yang sederhana dan taat beribadah. Mereka berjuang bukan demi Khalifah, melainkan demi tersiarnya Islam diseluruh penjuru bumi. Bagi mereka, mati di medan perang adalah persembahan terbaik kepada Tuhan. Gugur di medan laga adalah syahid di jalan Allah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemenangan pasukan Islam di berbagai wilayah disebabkan oleh semangat seperti ini. Karena itu, Bani Umayyahsangat terkenal dalam suksesnya politik ekspansi. Salah satu kesuksesannya adalah mampu menembus hingga wilayah Spanyol.

Kemajuan Islam Pada Masa Bani Umayyah

Kemajuan Islam di masa Daulah Umayyah meliputi berbagai bidang, yaitu politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Di antaranya yang paling spektakuler adalah bertambahnya pemeluk Agama Islam secara cepat dan meluas. Semakin banyaknya jumlah kaum Muslimin ini terkait erat dengan makin luasnya wilayah pemerintahan Islam pada waktu itu. Pemerintah memang tidak memaksakan penduduk setempat untuk masuk Islam, melainkan mereka sendiri yang dengan rela hati tertarik masuk Islam. Akibat dari makin banyaknya orang masuk agama Islam tersebut maka pemerintah dengan gencar membuat program pembangunan Masjid di berbagai tempat sebagai pusat kegiatan kaum Muslimin. Pada masa Khalifah Abdul Malik, masjid-masjid didirikan di berbagai kota besar. Selain itu, beliau juga memperbaiki kembali tiga Masjid utama umat Islam, yaitu Masjidil Haram (Mekkah), Masjidil Aqsa (Yerusalem) dan Masjid Nabawi (Madinah). Al-Walid, Khalifah setelah Abdul Malik yang ahli Arsitektur, mengembangkan Masjid sebagai sebuah bangunan yang indah. Menara Masjid yang sekarang ada dimana-mana itu pada mulanya merupakan gagasan Al-Walid ini. Perhatian pada Masjid ini juga dilakukan oleh Khalifah-Khalifah Bani Umayyah setelahnya.

Perkembangan lain yang menggembirakan adalah makin meluasnya pendidikan Agama Islam. Sebagai ajaran baru, Islam sungguh menarik minat penduduk untuk mempelajarinya. Masjid dan tempat tinggal ulama merupakan tempat yang utama untuk belajar agama. Bagi orang dewasa, biasanya mereka belajar tafsir Al-Quran, hadist, dan sejarah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, filsafat juga memiliki penggemar yang tidak sedikit. Adapun untuk anak-anak, diajarkan baca tulis Arab dan hafalan Al-Quran dan Hadist. Pada masa itu masyarakat sangat antusias dalam usahanya untuk memahami Islam secara sempurna. Jika pelajaran Al-Quran, hadist, dan sejarah dipelajari karena memang ilmu yang pokok untuk memahami ajaran Islam, maka filsafat dipelajari sebagai alat berdebat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang waktu itu suka berdebat menggunakan ilmu filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu lain seperti ilmu alam, matematika, dan ilmu social belum berkembang. Ilmu-ilmu yang terakhir ini muncul dan berkembang denga baik pada masa dinasti Bani Abbasiyah maupun Bani Umayyah Spanyol.

Bidang seni dan budaya pada masa itu juga mengalami perkembangan yang maju. Karena ajaran Islam lahir untuk menghapuskan perbuatan syirik yang menyembah berhala, maka seni patung dan seni lukis binatang maupun lukis manusia tidak berkembang. Akan tetapi, seni kaligrafi, seni sastra, seni suara, seni bangunan, dan seni ukir berkembang cukup baik. Di masa ini sudah banyak bangunan bergaya kombinasi, seperti kombinasi Romawi-Arab maupun Persia-Arab. Apalagi, bangsa Romawi dan Persia sudah memiliki tradisi berkesenian yang tinggi. Khususnya dalam bidang seni lukis, seni patung maupun seni arsitektur bangunan. Contoh dari perkembangan seni bangunan ini, antara lain adalah berdirinya Masjid Damaskus yang dindingnya penuh dengan ukiran halus dan dihiasi dengan aneka warna-warni batu-batuan yang sangat indah. Perlu diketahui bahwa untuk membangun Masjid ini, Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang ahli bangunan dari Romawi. Tetapi di antara kemajuan-kemajuan yang terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah tersebut, prestasi yang paling penting dan berpengaruh hingga zaman sekarang adalah luasnya wilayah Islam. Dengan wilayah yang sedemikian luas itu ajaran Islam menjadi cepat dikenal oleh bangsa-bangsa lain, tidak saja bangsa Arab.

Masa Kemunduran Bani Umayyah

Daulah Bani Umayyah yang megah akhirnya runtuh juga. Namun keruntuhannya tidaklah datang secara tiba-tiba. Melainkan melalui sebuah proses yang panjang. Setelah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah-Khalifah sesudahnya bukanlah orang-orang yang cakap dalam memimpin pemerintahan. Namun, lebih dari itu sistem sosial dan politik yang berkembang oleh pemerintahan Bani Umayyah memang mengandung banyak kelemahan. Di antara kelemahan-kelemahan sistem itu sebagai berikut :
  1. Ketidakjelasan Sistem Suksesi, sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab. Tradisi asli Arab adalah masyarakat terbentuk atas kabilah-kabilah. Dan kepemimpinan masyarakat yang terdiri dari kabilah-kabilah tersebut dilakukan dengan sistem perwakilan tiap pimpinan kabilah. Adapun tradisi kepemimpinan yang turun-temurun merupakan tradisi kerajaan Romawi dan kerajaan Persia. Tampaknya, Muawiyah meniru kedua kerajaan besar tersebut. Kelemahan dari tradisi kepemimpinan turun-temurun adalah adanya ketidakjelasan sistem pergantian. Ketidakjelasan tersebut menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga Istana. Akibatnya, ketidakkompakkan anggota keluarga Istana memperlemah kekuatan kekhalifahan. 
  2. Sistem Sosial yang Diskriminatif, Bani Umayyah menerapkan sistem diskriminasi sosial. Padahal ajaran Islam menganggap bahwa semua manusia itu sederajat. Namun, Bani Umayyah memperlakukan orang-orang Islam non-Arab (kaum mawali) sebagai warna kelas dua. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan. Apalagi para pemeluk Islam non-Arab makin hari makin besar jumlahnya. Tampaknya, pemerintah Bani Umayyah tidak mempertimbangkan persoalan ini sejak awal. Selain itu, Bani Umayyah juga bersikap buruk kepada Bani Hasyim, lebih-lebih keturunan Ali. Kecuali Khalifah Umar II, semua Khalifah Bani Umayyah melakukan kezaliman tersebut.
  3. Sikap Mewah Kalangan Istana, lemahnya pemerintahan daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana. Kemewahan itu membuat anak-anak Khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Selain itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
Selain persoalan-persoalan sistem tersebut. Daulah Bani Umayyah juga mengalami persoalan dengan adanya kaum oposisi maupun kaum pemberontak. Golongan Syiah (pengikut Ali) dan kaum Khawarij merupakan gerakan oposisi utama sejak Daulah Bani Umayyah berdiri. Mereka melakukan oposisi secara terbuka maupun bersembunyi. Penumpasan terhadap gerakan kedua oposisi itu banyak menyedot kekuatan pemerintah. Adapun gerakan oposisi yang paling kuat adalah oposisi yang dilakukan Bani Abbasiyah. Gerakan ini merupakan gerakan gabungan antara keluarga (Orang-orang Muslim Non-Arab) dan orang-orang Khurasan pimpinan Abu Muslim. Gerakan ini menggelembung menjadi besar, dan pada tahun 750 M mampu menggulingkan Daulah Bani Umayyah. Sekian dan Semoga dapat menjadi pembelajaran buat kita. Wassalamu Alaikum wr wb.
Terima Kasih Sudah Membaca: Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah
SUMBER: http://sajadahmuslimku.blogspot.com/2014/05/sejarah-perkembangan-islam-di-masa-bani-umayyah.html
  Asal usul Bani Umayyah
Bani umayyah merupakan salah satu kabilah dalam masyarakat Arab Quraisy. Kabilah ini memegang tampuk kekuasaan politik dan ekonomi pada masyarakat Arab. Pada saat kekuasaannya tengah memuncak, kabilah ini berhadapaan dengan misi kerasulan Muhammad saw. Karenan ya mereka menolak ajakan Nabi Muhammad saw. untuk memeluk agama Islam.
Sebenarnya, Bani Umayyah memiliki hubangan darah dengan Nabi Muhammad saw. karena keduanya merupakan keturunan Abdi Manaf. Anak Abdi Manaf yaitu Abdi Syam dan Hasyim menjadi tokoh dalam dan memimpin pada dua kabilah dari suku Quraisy. Anak Abdi Syam yang bernama Umayyah termasuk salah seorang dari pemimpin dari kabilah Quraisy di jaman Jahiliyah. Keduanya senantiasa bersaing untuk merebut pengaruh dan kehormatan dari masyarakat kota Mekah.
Dalam setiap persaingan, ternyata Umayyah selalu berada pada pihak yang unggul. Hal ini disebabkan karena Umayyah memiliki unsure-unsur yang diperlukan untuku menjadi seorang pemimpin saat itu, yaitu Umayyah berasal dri keturunan keluarga bangsawan yang mempunyai harta kekayaan yang cukup. Di antara keturunan Umayyah yang menjadi khalifah umat islam setelah Ali bin Abi Thalib adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan.


2.       Proses dan sebab-sebab berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Berdirinya dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa penting di dalam perjalan sejarah umat Islam, yaitu peristiwa Am’ al-Jamaah (rekonsiliasi umat Islam) di Maskin, dekat Madain, Kufah, pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Peristiwa ini di tandai dengan prosesi penyerahan kekuasaan (khalifah) dari tangan Hasan bin bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah berkuasa lebih kurang 6 bulan. Hasan bin Ali melakukan sumpah setia dan mengskui Muawiyah bin Abi Sufyan  sebagai pemimpin umat Islam. Pengakuan itu kemudian diikutio oleh para pendukungnya di kota Kufah, Irak.
Meskipun kekuasaan Hasan bin Ali sangat singkat, peristiwa itu mengundang makna yang sangat penting di dalam proses perjalanan panjang sejarah politik umat Islam, karena masa-masa itu merupakan masa peralihan dari pemerintahan kahlifah yang bersifat demokratis.Menjadi pemerintahan khalifah yang monarchi heridities, yaitu masa pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M). Model atau system seperti ini kemudian dipakai oleh pemerintahan Islam pada masa pada masa-masa sesudahnya, seperti bani Abbas, Bani Fathiniyah, Bani Umayyah di Spanyol dan sebagainya.
Walaupun masa-masa pemerintahan khalifah Hasan bin Ali sangat singkat dan prosesi penyerahan kekuasaan diwarnai gejolak politik, peristiwa-peristiwa yang mengawali prosesi dan yang memiliki benang merah dengan prosesi penyerahan kekuasaan itu harus di bahas sebagai bagian penting dalam mencermati pergolakan social politik umat Islam. Pergolakan social politik itu di awali setelah kematian khalifah Usman bin Affan pada 656 M.
Setelah kahlifah Usman bin Affan tewas terbunuh di tangan para pemberontak yang tidak puas terhadap kekhalifahannya yang di anggap nepotis pada 35 H/656 M, masyarakat Madinah, khusunya para sahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Usman bin Affan. Permintaan itu dipertimbangkan dengan matang, yang pada akhirnya Ali bin Albi Thalib mau menerima tawaran tersebut.
Pernyataan tersebut membuat para tokoh besar di atas merasa tenang yang kemudian mereka dan para sahabat lain serta para pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada 17 Juni 656 M/18 Dzulhijjah 35 H. Pembaiatan ini mengindikasikan pengakuan umat atas kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang dianggap paling layak untuk diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan kedudukan Usman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat pendukungnya dari Kufah, ternyata di tentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan, misalnya Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syiria dan Marwan bin Hakam yang ketika Usman bin Affan menjabat sebagai khalifah, ia menduduki jabatan sebagai sekretaris khalifah. Ia menduduki jabatan sebagai sekretaris khalifah. Kedua tokoh Bani Umayyah ini berusaha mempengaruhi massa untuk tidak memberikan dukungan kepada pemimpin umat Islam yang tidak mendapatkan dukungan dari seluruh umat Islam saat itu. Bahkan ketika terjadi pemberontakan yang menyebabkan khalifah Usman bin Affan terbunuh, Marwan tampaknya tidak berusaha untuk memberikan perlindungan atau pertolongan kepada khalifah yang sedang di kepung itu. Ia tidak tampak di tempat pada saat itu. Hanya saja ketika khalifah sudah terbunuh dan jari istri khalifah terputus, ia berusaha menemukan jari dan jubah itu untuk dijadikan barang siapa orang pertama yang menemukan barang bukti berupa jubah dan jari Nailah, istri khalifah Usman bin Affan.
Dalam catatan yang diperoleh dari khalifah dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah Usman yang berlumuran darah dengan jari Nailah, istri Usman yang terputus, kemudian ia bergabung dengan Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan para sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib, menimbulkan konflik politik berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin pada 38 H/657 M. di pihak Muawiyah muncul keinginan untuk menolak kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, selain karena situasinya kurang cocok, juga karena adanya keinginan untuk menuntut balas atas kematian khalifah Usman bin Affan. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan pemimpin umat Islam yang baru, sebelum kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan terungkap jelas. Akan tetapi, realitas politik berbeda dengan apa yang diinginkan Muawiyah dan para sekutunya. Karena beberapa saat setelah kematian khalifah Usman bin Affan, masyarakat muslim, baik yang ada di Madinah, Kufah, Basrah dan Mesir, telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, pengganti khalifah Usman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Namun, Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut, dengan alasan selain seperti disebutkan sebelumnya, juga karena ada berita yang didengarnya bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat atau yang berkuasa pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Bahkan Muawiyah mengancan untuk tidak mengakuai (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkap tragedi pembunuhan khalifah Usman bin Affan, dan menyerahkan orang yang ditengarai terlibat pembunuhan atas khalifah Usman bin Affan untuk di hukum.
Keinginan beberapa orang sahabat, seperti Muawiyah bin Abi Sufyan, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, untuk melakukan pengusutan secara tuntas tragedi pembunuhan khalifah Usman bin Affan, bukan tidak ingin dipenuhi oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Tapi, mengingat situasinya saat itu tidak memungkinkan, karena masih dalam suasana duka dan keadaan masih kacau dan sebagainya, maka tuntutan itu tidak dikabulkan. Namun khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikannya setelah ia berhasil mengamankan situasi dan kondisi di dalam negeri. Sebab, menurut analisis khalifah Ali, pengusutan tindakan terhadap yang terlibat dalam pembunuhan khalifah Usman, sama artinya dengan memperkeruh kondisi politik dalam negeri. Karena kasus ini tidak hanya melibatkan sejumlah kecil individu, juga melibatkan banyak pihak dari beberapa daerah, seperti Kufah, Basrah dan Mesir. Di sinilah letak kepiawaian politik Ali dalam menyikapi situasi politik yang sedang kacau. Ia tidak mau terlalu banyak mengambil resiko dalam menangani persoalan yang tengah terjadi saat itu.
Permohonan menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, ternyata tidak hanya datang dari para sahabat yang telah disebutkan di atas, juga datang dari Aisyah, istri nabi Muhammad. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bertemu dengan Aisyah ketika mereka berdua kembali ke Basrah. Mereka menjelaskan situasi politik yang tengah terjadi di Madinah, sehingga Aisyah pun menginkan hal yang sama, yaitu agar kasus pembunuhan khalifah Usman segera dituntaskan khalifah Ali bin Abi Thalib.  Namun, keinginan tersebut tidak dapat dipenuhi khalifah Ali bin Abi Thalib pada saat itu. Khalifah Ali bi Abi Thalib tetap berkeinginan agar kasus itu diselesaikan dalam situasi yang tepat, yaitu pada saat situasi politik dalam negeri telah aman dan terkendali, demi menghindari konflik horizontal yang lebih luas lagi.
Akibat lambannya penanganan kasus tebunuhnya khalifah Usman bin Affan, muncul isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena ia punya kepentingan politis untuk mengerut keuntungan dalam situasi kritis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh khalifah Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tampaknya tidak beralasan, karena pada saat itu, massa yang begitu banyak dan tidak mampu mengendalikan emosi menyerbu masuk ke rumah khalifah. Bahkan kedua putra Ali, Hasan dan Husein dengan para mengikutnya, membantu menjaga kediaman khalifah dari serangan massa yang sedang marah. Namun, sebuan massa tersebut tidak dapa dibendung. Mereka menerobos rumah khalifah Usman bin Affan dan memanjat dinding rumah khalifah. Kenyataan ini tidak dapat di atasi oleh Ali dan para sahabatnya. Akibatnya, khalifah Usman meninggal mengenaskan di dalam rumah dan di hadapan keluarganya di tangan orang yang tidak diketahui identitasnya.
Hal yang patut dipertanyakan atau lebih tepatnya dicurigai dalam konteks ini adalah keberadaan para pembesar istana yang berasal dari keluarga Usman dan Bani Umaiyah, misalnya Marwan bin Hakam dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat pemborantakan terjadi, tak seorang pun dari mereka berada di dekat  khalifah Usman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah tersebut. Muawiyah baru datang ke “istana” khalifah Usman bin Affan agak terlambat dan tanpa bala tentara, sesuai surat yang dikirim khalifah kepadanya. Padahal, surat yang dikirim lewat kurir bernama al-Musawwir bin Makhramah berisikan perintah agar Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim bantuan pasukan secepatnya untuk mengatasi situasi tersebut. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia malah pergi dikawal oleh orang kepercayaannya yaitu; Muawiyah bin Khudaij, dan Muslim bin ‘Uqbah. Muawiyah tidak membawa bala bantuan karena ia takut khalifah terbunuh sebelum bala bantuan itu tiba. Untuk mengatasi persoalan itu, Muawiyah mengusulkan agar khalifah pindah ke Syam karena di sana ia akan aman di kelilingi orang-orang Muawiyah yang setia.
Tapi usulan itu di tolak khalifah, karena Madinah adalah tempat Hijrahnya, dekat dengan para sahabat dan makam Nabi Muhammad saw. setelah ia mengambil bantuan dan meninggalkan khalifah Usman bin Affan menghadapi para pemberontak sendirian, tanpa di bantu oleh orang-orang terdekatnya.
Di antara factor penyebab kedatangan para pemberontak yang berasal dari Kufah, Basrah dan Mesir adalah karena ketidaksetujuan mereka atas kebijakan yang dikeluarkan khalifah tersebut, terutama perilaku politik gubernur Mesir, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah yang dianggap arogan oleh masyarakat Mesir dan berkuasa sewenang-wenang. Para pemberontak ini menuntut agar ia di ganti. Kemarahan mereka semakin menjadi ketika di ketahui ada seseorang berkulit hitam semakin menjadi utusan istana sedang menuju Mesir, ditangkap.
Utusan itu membawa sepucuk surat resmi yang distempel khalifah, yang isinya memerintahkan gubernur Mesir, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, sepupu khalifah Usman bin Affan, untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar, gubernur Mesir baru yang diangkat atas permintaan masyarakat Mesir, menggantikan posisi Abdullah bin Sa’ad dan para demonstran setibanya mereka di Mesir. Isi surat itu tentunya mereka semakin marah dan menuduh khalifah Usman bin Affan sengaja mau mencari masalah baru. Akhirnya mereka tidak jadi kembali ke Mesir, tapi berbalik arah menuju ke pusat kekuasaan di Madinah untuk mengancam nyawa para sahabat.
Pembawa surat itu di tangkap dan dihakimi massa, sementara surat yang di bawanya dijadikan sebagai barang bukti kesewenangan khalifah Usman bin Affan yang mengeluarkan kebijakan untuk menghilangkan nyawa orang lain tanpa sebab yang jelas dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah usman bin Affan. Amuk massa dan ketidakpantian penjelasan khalifah mengenai penulis surat tersebut, serta keangganan khalifah untuk menyerahkan pemegang stempel surat resmi, di tambah dengan ketidaksenangan masyarakat atas system pemerintahan yang sarat kolusi dan nepotisme, menjadi pemicu utama timbulnya demonstrasi besar-besaran yang menuntut khalifah Usman bin Affan mundur dari jabatan khalifah. Akumulasi persoalan yang dihadapi pemerintahan khalifah Usman bin Affan, merupakan problem rumit yang tidak mudah diselesaikan secepatnya, sesuai tuntutan para pemberontak. Akibatnya, masyarakat tidak lagi percaya terhadap pemerintah yang dianggap telah melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang telah diamanatkan masyarakat muslim kepadanya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk ke dalam rumah khalifah, sehingga khalifah Usman terbunuh dengan cara yang sangat mengenaskan.
Meninggalnya khalifah Usman bin Affan (35/656 M) dan terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah baru, sangat mengguncang keluarga bani Umaiyah. Kelompok ini merasa kehilangan orang yang selama ini melindungi kepentingan mereka. Karena itu, mereka berusaha mencari informasi siapa pembunuh khalifah Usman sebenarnya dan mereka akan menuntut kematiannya dengan cara melakukan balas dendam. Untuk itu, Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelurganya melakukan provokasi kepada massa pendukung Bani Umaiyah untuk tidak mengakui kepemimpinan khalifah Ali b in Abi Thalib yang telah disumpah sebagai seorang khalifah baru.
Mereka terus melakukan pelacakan ke berbagai anggota masyarakat mengenai pembunuh Usman sebenarnya. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi bahwa orang yang terlibat dalam pembunuhan adalah Muhammad bin Abu Bakar. Karena ketika peristiwa itu terjadi, Muhammad ada di dalam, di dekat khalifah Usman. Karena itu, mereka menuntut kepada Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat menjadi khalifah, agar Muhammad bin Abu Bakar diserahkan untuk diadili. Namun, permintaan tersebut ditolak khalifah Ali bin Abi Thalib, karena segala bukti yang dituduhkan kepada anak angkatnya itu tidak berdasar sama sekali. Justru keberadaan Muhammad bin Abu Bakar saat itu semata untuk melindungi khalifah Usman dari kemungkinan terburuk yang akan terjadi saat itu. Hal itu dilakukan karena massa yang mengamuk tidak dapat dibendung, sehingga mereka akan dengan mudah masuk ke rumah khalifah Usman dan membunuhnya.
Tuduhan yang diarahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar dan khalifah Ali bin Abi Thalib, sebenarnya bertujuan untuk menjatuhkan kekuasaan khalifah yang sah. Karena, Muawiyah bin Abu Sufyan dan para pendukungnya tidak menginginkan mereka berada di bawah kekuasaan khalifah yang dikenal tegas itu. Sebab selama ini mereka telah mendapatkan hak-hak istimewa pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan yang dikenal lemah lembut, sehingga mereka dapat memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingan mereka masing-masing.
Kekhawatiran mereka ternyata ada benarnya. Sebab, tak lam setelah Ali bin Abi Thalib menjabat khalifah, pertama yang dilakukannya adalah memecat para pemimpin pemerintahan dan gubernur yang diangkat pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan, sekaligus mengirim penggantinya, misalnya Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam yang digantikan oleh Sahal bin hunaif. Pengiriman gubernur baru ini ditolak Muawiyah dan masyarakat Syam, karena mereka telah mempunyai seorang gubernur, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur lama yang diangkat pada masa khalifah Umar bin Al-Khattab.
Pemecatan itu dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib karena menurut pengamatan khalifah sendiri, penyebab terjadinya berbagai kekacauan dan pemberontakan adalah akibat ulah muawiyah dan para gubernur lainnya yang  bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Begitu juga mengenai peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, juga karena kelalaian mereka. Buktinya, massa melakukan pemberontakan, orang-orang dekat khalifah, seperti Muawiyah bin Abu Sufyan dan Marwan bin Hakam, tidak dapat berbuat banyak, meskipun orang seperti Muawiyah memiliki pengikut dan kekuatan yang bisa diandalkan untuk menghalau kekuatan massa saat itu. Inilah yang menjadi dasar kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib untuk melakukan pemecatan para pejabat yang pernah dibentuk usman bin Affan.
Sebenarnya, para kerabat dan sahabat khalifah Ali bin Abi Thalib, seperti Mughirah bin Syu’bah dan Abdullah bin Abbas, telah menasihatinya agar menunda rencana penggantian para gubernur, karena dikhawatirkan akan memperkeruh situasi politik dan menambah persoalan baru dalam masa pemerintahannya kelak, misalnya pemecatan gubernur Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan. Menurut mereka, kalau bisa pemberhentian itu ditunda hingga menunggu waktu yang tepat dan situasi poltik telah mereda. Sebab, Muawiyah bukan orang sembarangan dan dia bukan diangkat oleh khalifah Usman bin Affan, melainkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Ia tetap dipertahankan oleh khlaifah Usman pada masa pemerintahannya bukan karena nepotisme, yaitu pengangkatan seorang pejabat berdasarkan kedekatan hubungan keluarga, melainkan berdasarkan keahlian yang dimiliki para pejabat tersebut.
Oleh karena itu, Muawiyah dianggap mampu melaksanakan tugasnya sebagai gubernur Syam dan telah menunjukkan prestasi yang baik dengan hasil-hasil yang memuaskan menurut khalifah Usman bin Affan.
Dalam perkembangannya kemuadian, ternyata kekhawatiran para sahabat itu mengenai pemecatan para pejabat yang diangkat sebelumnya, seperti pemecatan muawiyah bin Abu Sufyan yang dilakukan oleh khlaifah terbukti menimbulkan reaksi menolak pemberhentiannya dan memerintahkan utusan khalifah kembali ke Madinah. Muawiyah kemudian mengutus seorang kurir dari bani Absin membawa surat penolakan tersebut, yang sebenarnya isi surat itu hanya bacaan Basmalah. Dalam perjalanan menuju Madinah, si kurir itu diperintahkan Muawiyah untuk mempengaruhi masyarakat di sepanjang jalan yang dilaluinya dengan membawa jubah khalifah Usman yang berlumur darah. Muawiyah dan penduduk Syam menuduh Ali bin Abi Thalib terlibat dalm kasus pembunuhan khalifah Usman.
Kebijakan lain yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib yang dapat memancing reaksi dari para mantan penguasa pada orde khalifah Usman adalah soal penarikan kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan khalifah Usman secara tidak sah kepada kerabat dekatnya. Di samping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib mengeluarkan kebijakan ekonomi dengan memberikan tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari baitul mal.
Kebijakan ini dilakukan secara merata, tanpa mempertimbangkan senioritas dan junioritas dalam Islam. Hal ini yang membuat kegusaran para penduduk dan sahabat yang masih tinggal di Madinah adalah keinginannya untuk memindahkan pusat pemerintahan sementara ke Kufah pada 656 M/36 H. Meskipun kebijakan untuk memindahkan pusat pemerintahan ini tidak berlaku permanen, tetap menimbulkan masalah pada masa kepemimpinannya.
Kemungkinan alasan pemindahan pusat pemerintahan sangat politis sifatnya. Sebab Ali tidak banyak mendapatkan dukungan kuat dari para sahabat yang masih tinggal di Madinah, seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, yang ternyata kemudian mereka membuat satu kesepakatan dengan Aisyah untuk menentang kekuasaan khalifah. Selain itu, Kufah letaknya sangat strategis untuk melakukan serangkaian serangan terhadap para pemberontak, baik di Basrah maupun di Syam, Damaskus. Serangan itu dilakukan karena antara lain, masyarakat kedua kota tersebut kurang menyukai kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Langkah-langkah “revolusioner” yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib menimbulkan reaksi keras dari banyak kalangan masyarakat, terutama mereka yang terkena langsung akibat kebijakan tersebut. Maka tak heran kalau kemudian khalifah menghadapi oposisi yang sangat kuat dari berbagai tokoh terkenal, misalnya dari Thalhah, Zubair dan Aisyah serta Muawiyah bin Abu Sufyan. Meskipun Thalhah dan Zubair merupakan sahabat besar yang menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.
Namun, karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dianggap revolusioner dan dalam pegmatan mereka berdua tidak akan mampu menyelesaikan masalah, maka keduanya meminta agar penggantian para gubernur, terutama Muawiyah bin Abi Sufyan, ditunda terlebih dahulu dan melihat situasi yang memungkinkan untuk melakukan berbagai kebijakan lainnya.
Sikap dan perasaan tidak suka yang dilakukan Thalhah, Zubair dan Aisyah kepada khalifah Ali bin Abi Thalib disebabkan oleh berbagai alasan, antara lain ketidakmampuan khalifah mengatasi kritis politik berkepanjangan dan penyelidikan kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan yang tidak kunjung usai, karena tidak dilakukan khalifah Ali. Bahkan kelompok ini menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan balas dendam atas kematian Usman bin Affan dan menyerang khalifah Ali bin Abi Thalib karena tidak menghukum para pemberontak sebagai pembunuh. Selain itu, kedua sahabat besar tersebut, sejak awal memperlihatkan keangganan untuk menentukan sikap mereka, apakah mengangkat atau mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah atau tidak. Mereka baru mau mengakui kekhalifahan itu setelah mendapat desakan dari para pemberontak.
Menurut sejarawan muslim bernama Ibnu Atsir, pengakuan mereka terhadap kekuasaan Ali bin Abi Thalib bukan tanpa pamrih. Mereka tampaknya menginginkan kedudukan sebagai gubernur, misalnya Thalhah bin Ubaidillah menginginkan jabatan gubernur di Yaman dan Zubair di Iraq.
Namun keinginan mereka ditolak khlaifah Ali bin Abi Thalib dengan alasan mereka berdua adalah sahabat besar yang harus membantu khalifah dalam mengatasi berbagai persoalan yang sedang terjadi di dalam pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Selain itu, khalifah juga menginginkan agar mereka berdua tidak meninggalkannya, karena ia memerlukan dukungan dan nasihat kedua sahabat besar tersebut. Penolakan ini tentu saja sangat mengecewakan kedua sahabat besar itu. Bahkan mereka kemudian  melakukan aksi untuk mempengaruhi masyarakat sebagai pelampiasan kekecewaan tersebut dengan mengatakan Ali bin Abi Thalib tidak mampu menjalankan pemerintahan dan gagal menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman. Tindakan ini dilakukan semata bertujuan untuk menjatuhkan citra kepemimpinan dan pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Banyaknya persoalan yanh dihadapi kedua sahabat besar itu, akhirnya melahirkan sebuah kenangan pahit bagi mereka. Untuk menghindari terjadinya konflik fisik, kedua tokoh itu meminta kepada khalifah agar diberikan izin meninggalkan Madinahnuntuk melaksanakan ibadah Umrah ke Mekkah.
Mendengar permintaan ini, khalifah Ali bin Abi Thalib hanya mengatakan bahwa kuizinkan untuk melaksanakan Umrah. Namun, demi Allah, bukan itu sebenranya tujuan utama kalian. Kalian hanya ingin menghindar dari persoalan yang tengah terjadi. Karena itu, laksanakanlah. Jelasnya, sebenarnya kepergian mereka ke Mekkah tidak hanya sekedar untuk melaksanakan ibadah Umrah, juga melakukan sesuatu yang dapat merusak citra kepemimpinan khalifah Alii bin Abi Thalib dengan cara membuat kekacauan dengan mempengaruhi massa agar tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, ssebelum khalifah Ali berhasil mengungkap kasus tragedy pembunuhan khalifah Usman bin Affan secara tuntas.
Di luar kota Madinah, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam bertemu dengan Aisyah yang baru saja melaksanakan Umrah. Dalam pertemuan itu, Aisyah menanyakan tentang situasi kota Madinah. Thalhah bin Ubaidillah menjawab, Madinah rusuh dan Usman di bunuh, kemudian rakyat memba’iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Mendengar berita itu, Aisyah terkejut dan marah. Kemudian ia bersumpah, demi Allah, meskipun langit akan runtuh, aku tidak akan peduli. Aku akan menuntut balas atas kematian khalifah Usman bin Affan. Setelah itu, Aisyah tidak jadi pulang ke Madinah, tapi kembali lagi ke Mekkah.
Di kota mekkah, Thalhah, Zubair dan Aisyah, merencanakan sesuatu untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Selain mereka, dalam kelompok ini bergabung pula dua orang mantan gubernur yang baru saja dipecat dari jabatannya oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah Ya’ali bin Umayah, mantan gubernur yaman, dan Abdullah bin Amir, mantan gubernur Basrah. Mereka bersekutu untuk menghadapi khalifah Ali bin Abi Thalib dan menuntutnya untuk segera menyelidiki kasus terbunuhnya Usman bin Affan. Kelompok ini kemudian menuju Basrah untuk menghimpun kekuatan.
Namun, tidak semua penduduk kota itu mendukung ajakan Aisyah untuk memerangi khalifah. Meskipun begitu, mereka berhasil menawan gubernur Basrah, Usman bin hanief, yang diangkat khalifah Ali. Peristiwa itu memicu gerakan konflik baru diantara khalifah Ali dengan para penantangnya, termasuk Sitti Aisyah. Pertentangn ini berujung pada pertempuran yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan Perang Jamal (Unta). Dinamakan Perang Jamal, karena Sitti Aisyah mengendarai Unta ketika pergi ke medan perang untuk menentang khalifah Ali.
Ada hal penting yang patut dicatat alam konteks ini adalah bahwa Aisyah dipengaruhi oleh Abdullah bin Zubair yang katanya berambisi untuk menjadi khalifah, agar Aisyah bersedia bergabung dengan mereka untuk melakukan tindakan menentang khalifah Ali. Ajakan mereka disambut baikoleh Aisyah, sehingga ia mau terjun ke dalam dunia politik praktis guna meminta pertanggungjawaban Ali bin Abi Thalib atas terjadinya kekacauan politik yang melanda umat Islam.
Sebenarnya, pihak khalifah telah mempersiapkan pasukan-pasukan untuk menggempur kekuatan Muawiyah, seorang gubernur Syam yang membangkang dan tidak mengakui kekhalifahannya. Namun, setelah mendengar berita dari saudaranya, Aqil bin Abi Thalib dari Basrah bahwa Aisyah telah mempersiapkan diri untuk memeragi khalifah Ali bin Abi Thalib, Ali membelokkan pasukannya menuju Basrah untuk mengatasi pemberontakan tersebut. Akhirnya kedua kekuatan itu bertemu di Kharaibah, dekat Basrah pada tanggal 4 Desember 656 M/ 10 jumadil Akhir 36 H.
Menghadapi situasi seperti itu, khalifah Ali bin Abi Thalibmencoba bersikap tegar dengan berupaya menyelesaikan lewat cara-cara damai. Hal itu dilakukannya smata untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara kedua belah pihak. Untuk itu, Ali mencoba berbicara dengan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pada intinya, kedua sahabat besar itu sepakat bahwa persoalan itu harus diselesaikan lewat perundingan, demi menghindari konflik fisik.
Namun, ternyata para pendukung mereka tidak menginginkan perdamaian. Mereka terus mendesak agar pertempuran terus dilanjutkan. Akhirnya tidak ada pilihan lain lagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan tersebut, kecuali melalui pertempuran. Dalam pertempuran itu, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam tewas terbunuh. Sementara Aisyah selamat dan diperlakukan dengan baik oleh khalifah dan dikembalikan ke Madinah yang ditemani oleh saudara laki-lakinya, yaitu Muhammad bin Abu bakar.
Peristiwa peperangan unta ini tentu saja merupakan masalah politik tersendiri dalam masa pemerintahan khalifah Ali, sehingga harus ekstra hati-hati dalm menangani setiap kasus kritis politik yang terjadi. Karena itu, dalam setiap tindakannya kemudian, Ali sangat kritis dan berhati-hati dalam menghadapi segala bentuk tantangan, meskipun kemudian sikapnya ini banyak merugikan dirinya karena dimanfaatkan oleh para pendukungnya, misalnya dalam Perang Shiffin. Peperangan yang terjadi antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 657 M. dampak politis dan mungkin juga teologis dari peperangan tersebut adalah terpecahnya kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib menjadi bebrapa kelompok antara lain pendukung setia Ali (Syi’atu Ali) dan kelompok sempalan (Khawarij).
Peperangan tersebut dipicu oleh ketidaksukaan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Bahkan ia menolak melakukan sumpah setia (bai’at) sebagai pengakuan dirinya atas kepemimpinan khalifah Ali. Hal itu antara lsin disebabkan karena Ali dianggap ingin menggeser atau mencopot kedudukan Muawiyah dari jabatan gubernur Syiria yang telah diperolehnya sejak masa pemerintahan khalifah Umar bin Al-Khattab. Selain itu Ali juga dianggap orang yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Kelambanannya dalam menangani kasus tersebut, juga menjadi salah satu pemicu terjadinya perang Shiffin.
Untuk memancing kemarahan dan emosi massa terhadap ketidakberhasilan Ali bin Abi Thalib dalam menyelesaikan kasus yang tengah terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti pengungkapan kasus tragedy pembunuhan khalifah Usman bin Affan, Muawiyah melakukan provokasi dengan membawa baju khalifah Usman yang berlumuran darah. Lewat orasinya yang hebat dan kelicikannya, Muawiyah berhasil mempengaruhi massa yang kemudian mereka  berpendapat bahwa Ali tidak mampu menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman, dan bahkan Ali dianggap gagal mengatasi kasus tersebut. Dalam hal ini, Ahmad Amin berpendapat bahwa Muawiyah berpendapat bahwa dialah yang paling berhak menuntu atas kematian khalifah Usman, karena dia adalah saudaranya.
Akhirnya Muawiyah mengumpulkan pendukungnya dan segera mempersiapkan dii untuk memerangi Ali bin Abi Thalib. Dukungan masyarakat dan tentara Syiria sangat dimungkinkan, karena sejak masa kekuasaannya di Syiria, Muawiyah telah mampu membangun basis kuat militer, di samping berhasil menarik simpati dari penduduk kota tersebut. Sehingga ketika Muawiyah melakukan mobilisasi massa untuk menyerang pasukan khalifah, masyarakat Syiria memberikan dukungan penuh.
Selain berhasil menarik simpati penduduk Syiria, Muawiyah juga berhasil mempengaruhi ‘Amr bin Al-‘Ash, dengan tawaran jabatan strategis, seperti gubernur, sehingga ia menyatakan bergabung dengan pasukan Muawiyah.
Melihat keseriusan Muawiyah menolak perintah khalifah dan berusaha membuat maker dengan menggalang kekuatan massa, khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim jarir bin Abdullah Al-Bujali ke damaskus untuk memperingatkan keseriusan khalifah menggempur pasukan Muawiyah, bila ia tetap pada pendiriannya semula, yakni tidak akan melakukan sumpah setia (bai’at) kepada khalifah Ali. Akan tetapi, utusan khalifah, Jarir bin Ibnu Qutaybah, segaja dilakukan Muawiyah agar ia dapat melakukan konsolidasi kekuatan dan konsultasi dengan para pembantunya. Di antara mereka yang terlibat dalm konsultasi itu adalah ‘Amr bin ‘Ash, politik yang telah dikenal kelicikannya dalam berdiplomasi, selain Utbah bin Abi Sufyan.
Dalam musyawarah yang dilakukan di kediaman Muawiyah bin Abu Sufyan itu ‘Amr bin ‘Ash berpendapat bahwa bai’at belum dapat dilakukan oleh Muawiyah dan masyarakat Syiria, sebelum khalifah Ali bin Abi Thalib menuntaskan tragedy pembunuhan khalifah usman bin Affan. Bila tidak dapat diselesaikan, maka bukan bai’at yang terjadi, melainkan perang.
Untuk kepentingan tersebut, dilakukan koordinasi antara Muawiyah dengan ‘Amr bin ‘Ash. Namun, sebelum persetujuan kerja sama itu disepakati, ada sebuah tuntutan sebagai bagian dari kompensasi persetujuan tersebut yang diminta ‘Amr bin ‘Ash, yaitu jabatan gubernur Mesir. Persoalan inilah yang menbuat negosiasi berjalan sangat lamban. Kelambanan ini terjadi karena muawiyah sendiri belum dapat mengeluarkan kebijakan seperti itu, sebab ia sendiri masih menjabat gubernur Syiria. Persoalan itu akan sangat mungkin diselesaikan segera, bila Muawiyah berada pada posisi pengambil kebijakan.
Dalam situasi seperti itu, Utbah bin Abu Sufyan, berpendapat bahwa sebaiknya permintaan ‘Amr bin ‘Ash dipenuhi, agar persoalan dalam negeri Syiria segera selesai dan upaya untuk pelacakan terhadap pelaku pembunuhan khalifah Usman bin Affan segera berjalan. Selain itu, kerja sama dengan ‘Amr bin ‘Ash akan menguntungkan pihak Muawiyah, karena akan menambah kekuatan barisan penentang khalifah Ali. Permintaan tersebut akhirnya disetujui Muawiyah dengan catatan bahwa ‘Amr bin ‘Ash harus membantunya upaya mencapai tujuan politisnya, yaitu keinginan muawiyah untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syiria dan menentang kebijakan khalifah Ali yang ingin mencopot kedudukannya tersebut.
Usai bermusyawarah, jarir bin Abdullah Al-Bajali, utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang ditahan, diizinkan kembali ke Kufah dengan membawa informasi mengenai penegasan kembali Muawiyah yang menolak mengakui kekhalifahan Ali, sebelum ia menuntaskan penyelidikan atas tragedy pembunuhan khalifah usman bin Affan.
Keputusan dari Syiria disampaikan jarir bin Abdullah Al-Bujali kepada khalifah Ali bin Abi Thalib di Kufah. Ia menjelaskan situasi kota Damaskus yang tengah mengadakan konsolidasi kekuatan untuk menghadapi kemungkinan pahit yang akan terjadi, misalnya perang. Mendengar informasi itu, Ali bin Abi Thalib berkesimpulan bahwa gendering perang tampaknya dibunyikan oleh Muawiyah, sehingga konflik fisik antara kedua kekuatan tidak dapat dihindari lagi.
Dalam menghadapi situasi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi khalifah, kecuali menyelesaikan persoalan tersebut secara langsung dengan memerangi para pembangkang yang diprakarsai muawiyah bin Abi Sufyan. Dengan persiapan sekitar 90.000 orang pasukan, khalifah Ali bin Abi thalib pergi menuju Syiria untuk memerangi Muawiyah. Tampaknya Muawiyah pun tidak kalah sigap. Ia telah mempersiapkan sekitar 85.000 orang pasukan untuk menghadang kekuatan khalifah Ali.
Akhirnya kedua pasukan bertemu pada suatu tempat di lembah sungai Eufrat, bernama Shiffin. Di tempat inilah kedua pasukan mengadu kekuatan dengan berusaha mengalahkan lawan masing-masing.
Pertempuran berlangsung secara sengit, karena kedua pasukan mencoba mengerahkan kekuatan masing-masing untuk mengalahkan lawan tempurnya. Pada hari pertama jalannya pertempuran, kedua pasukan saling mengintai kelemahan masing-masing. Namun, pada hari kedua, tampaknya pasukan Muawiyah mulai terdesak, dan tanda-tanda kekakahan berada pada pihaknya. Menghindari situasi kritis ini, ‘Amr bin ‘Ash, tokoh politik yang dikenal licik, melakukan tipu muslihat. Di tengah berkecamuk perang, ‘Amr bin ‘Ash pada 28 Juli 675 M mengusulkan agar Al-Qur’an di ujung tombak, sebagai isyarat penghentian perang.
Tindakan ‘Amr bin ‘Ash ini diikuti pasukan Muawiyah, dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an ini akan menjadi hakim yang akan menyelesaikan persoalan ini. Mengetahui hal itu, sebagian tentara khalifah Ali bin Abi Thalib menghentikan pertempuran. Perbuatan itu tentu saja mengecewakan khalifah dan sebagian tentaranya yang mengetahui bahwa pengangkatan Al-Qur’an itu hanya sebagai tipu daya saja. Padahal kemenangan telah menghampiri pasukan khalifah. Untuk itu, Ali bin Abi Thalib mengajak kembali pasukannya agar meneruskan pertempuran karena apa yang dilakukan ‘Amr bin ‘Ash dan pasukannya hanya merupakan tipuan agar pasukan Ali bin Abi Thalib terpecah belah.
Namun usaha yang dilakukan khalifah tidak berhasil, bahkan mereka menuntut agar pertempuran dihentikan dan diselesaikan dengan cara damai melalui proses Tahkim atau Arbitrase. Karena itu, pertempuran di hentikan untuk membicarakan cara terbaik dalam menyelesaikan kritis politik militer yang tengah terjadi. Jeda waktu ini dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk memberi keselamatan kepada masyarakat muslim mengenai langkah-langkah terbaik yang akan diambil dalam mengatasi persoalan ini.
Desakan untuk menyelesaikan pertikaian melalui tahkim semakin kuat, sehingga tidak ada pilihan lain bagi khalifah Ali bin Abi Thalib kecuali menuruti keinginan orang banyak. Oleh karena itu, kedua belah pihak merundingkan utusan masing-masing. Dari pihak khalifah, pada awalnya Abdullah bin Abbas yang si tunjuk, tapi di tolak oleh pengikut Ali karena ia di anggap lemah dalam berdiplomasi melawan utusan Muawiyah. Kemuadian atas kesepakatanbersama antara para sahabat dengan khalifah Ali, akhirnya posisi itu ditempati oleh Abu Musa Al-Asy’ari yang di tunjuk menjadi delegasi. Awalnya khalifah Ali kurang setuju atas terpilihnya Abu musa Al-Asyi’ari sebagai utusan perundingan, karena ia tahu bahwa ia bukan termasuk ke dalam kategori politisi dan militer yang memiliki kemampuan kuat untuk beradu argumentasi dalam berdiplomasi. Abumusa dikenal sebagai salah satu sahabat besar yang tingkat keimanan dan ketawaannnya tidak dapat diragukan.
Akan tetapi karena para pendukung Ali telah memilihnya dan Abu Musa sendirimenyetujui, maka tidak ada pilihan lain bagi Ali kecuali memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi utusan dalam perundingan tersebut.
Sementara dari pihak Muawiyah bin Abi Sufyan, ‘Amr bin Al-‘Ash yang menjadi utusan. Alasan pilihan itu jatuh kepada ‘Amr karena ia dianggap orang yang memiliki kemampuan diplomatis yang sangat kuat dan mempunyai keahlian dalam bidang strategi politik diplomasi, sehingga dipercaya oleh Muawiyah untuk mrnjadi utusan dalam perundingan tersebut. Untuk kelancaran jalannya perundingan, maka masing-masing utusan, baik dari pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib maupun pihak Muawiyah Bin Abi Sufyan, mengirim utusan lain sebagai saksi, masing-masing 400 orang saksi.
Pertemuan untuk menyelesaikan krisis politik militer antara kekuatan khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan itu, dilakukan di suatu tempat bernama Daumatul Jandal (sekarang al-Jawf), sebelah Selatan Syiria pada 657 M/38 H.
Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sependapat bahwa pangkal persoalan yang kini tengah melanda umat Islam terletak pada kedua pemimpin itu, yakni Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah menurunkan keduanya dari jabatan masing-masing dan membentuk lembaga syura untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam. Dengan lembaga itu, diharapkan masyarakat akan mampu menentukan pemimpin mereka. Karena itu, ketika mereka memulai melaksanakan Tahkim/arbitrase, ada kesepakatan di antara kedua utusan itu, yakni baik Ali bin Abi Thalib mau pun Muawiyah, diminta untuk meletakkan jabatan masing-masing dan melepaskan klaim bahwa masing-masing sebagai pemimpin yang sah.
Dalam kesepakatan pertama, Abu Musa al-Asy’ari tampil ke depan dan memutuskan untuk mengembalikan suasana kedamaian, Ali bin Abi Thalib diminta untuk meletakkan jabatannya sebagai khalifah, dan menyerahkannnya kepada umat Islam lewat lembaga syura untuk memilih khalifah. Sementara Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatannya, agar suasana menjadi aman dan damai. Ketik tiba giliran ‘Amr bin ‘Ash tampil ke muka umum, dengan sangat percaya diri ia meminta Ali bin Abi Thalib turun dari jabatannya sebagai khalifah,  sementara Muawiyah tetap pada posisi semula, yaitu gubernur Syiria.
Hasil perundingan itu di tolak Ali bin Abi Thalib, karena keputusan tersebut berarti menurunkan Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah. Sebuah jabatan yang sah menurut versu para pendukungnya.
Hasil kesepakatan ini dalam pandangan para pendukung Ali bin Abi Thalib dipandang sangat tidak adil, karena merugikan posisi Ali dan menguntungkan posisi Muawiyah yang tetap menjadi penguasa Syiria . Di sadari sepenuhnya bahwa para pengikut setia Ali, bahwa perundingan itu hanyalah tipu daya yang dilakukan oleh utusan Muawiyah, ‘Amr bin ‘Ash, sehingga mereka menuntut keadilan. Mereka yang kecewa atas hasilTahkim ini, terutama dari pihak Ali bin Abi Thalib, menyatakan keluar dari barisan khalifah dan menyatakan sebagai oposisi. Kelompok ini kemudian dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan khawarij.
Kelompok yang keluar dari Ali bin Abi Thalib in berjumlah lebih kurang 4.000 orang. Keluarnya kelompok ini dari barisan Ali tentu saja memperlemah kekuatan barisan militer Ali bin Abi thalib dan semakin memperkuat posisi dan kekuatan militer Muawiyah. Ternyata, tidak hanya kelompok Khawarij yang tidak setuju dan kecewa atas hasil tahkim, juga Abu Musa Al-Asy’ari. Setelah terpecahnya kelompok pendukung Ali, ia kemudian menyadari kekeliruannya karena dengan secara terbuka menyatakan Ali bin Abi Thalib harus meletakkan jabatan khalifahannya dan menghilangkan klaim-klaimnya sebagai khalifah. Sementara piha Muawiyah tetap mempertahankan Muawiyah sebagai pejabat yang mendapat dukungan kuat dari mereka dan menurunkan Ali dari jabatannya.
Kekecewaannya itu di dasari atas sebuah kenyataan bahwa kelompok Muawiyah telah memanfaatkan moment itu untuk kepentingan mereka sendiri, dan tidak didasari atas hasil kesepakatan bersama bahwa masalah kepemimpinan akan diserahkan kepada dewan syura yang akan memilih pengganti mereka. Karena begitu kecewanya Abu Musa, hingga ia tidak berani melaporkan hasil tahkim kepada khalifah Ali bin Abi Thalib dan ia pergi entah ke mana. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya baik khalifah Ali, Abu Musa dan kelompok kahwarij, tidak setuju atas hasil Tahkim yang telah dilakukan.
Oleh karena begitu kecewanya kelompok khawarij atas hasil keputusan di Daumatul Jandal, mereka kemudian menyusun rencana untuk merelisasikan tujuan tersebut, kelompok khawarij yang berjumlah 4.000 orang melancarkan demonstrasi besar-besaran menentang penguasa dan orang-orang yang dianggap paling bertanggung jawab dalam peristiwa Tahkim. Mereka rusuhan di setiap tempat yang kunjungi. Perjalanan mereka akhirnya sampai di Nahrawan, dan di tempat inilah khalifah Ali bin Abi Thalib menumpas pemberontakan.
Meskipun kelompok ini dapat dikalahkan, namun sebagian yang dapat menyelamatkan diri mencoba menyusun kekuatan kembali untuk mengadakan kerusuhan di Mesir. Wilayah ini menjadi sasaran mereka karena menurut pandangan mereka bahwa gubernur Qays tidak tanggap atas krisis yang tengah melanda umat Islam. Mengetahui ancaman ini, khalifah Ali bin Abi Thalib segera mengganti gubernur Qays dengan Muhammad bin Abu Bakar.
Dalam situasi seperti itu, Muawiyah mencoba mengambil kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan mengirim pasukan di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash untuk menyerang wilayah Mesir. Upaya penyerangan ini berhasil gemilang, bahkan gubernur Mesir tewas tebunuh dalam serangan tersebut. Terampasnya wilayah Mesir oleh pasukan Muawiyah dan tewasnya gubernur wilayah itu, sekali lagi menandai kekalahan khalifah Ali bin Abi Thalib dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Situasi semakintidak teratasi.kekacauan terjadi di mana-mana, sehingga khalifah Ali bin Abi Thalib tidak dapat melanjutkan pembangunan negeri Islam, sesuatu yang pernah dilakukan para pemimpin sebelumnya.
Keluarnya kelompok khawarij dari barisan Ali, secara politis tentu saja memperlemah kekuatan khalifah Ali, dan di sisi lain munculnya kelompok sempalan ini membuat pasukan Muawiyah semakin solid. Realitas politik inilah yang kurang disadari sepenuhnya oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Kenyataan pahit mendengarkan nasihat para pendukung setianya, agar tidak tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan politiknya, karena situasinya sedang rawan dan tidak kondusif.
Setelah peristiwa tahkim dan penyerangan Mesir, kelompok khawarij, yang merasa tidak puas atas hasil perundingan tersebut, semakin menyebar ke berbagai pelosok wilayah Islam. Mereka terus melancarkan kerusuhan di mana-mana untuk mengacaukan situasi politik dan melemahkan kekuatan khalifah Ali bin Abi Thalib. Bahkan mereka telah menyusun rencana untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin ‘Ash. Mereka adalah orang yang dianggap paling bertanggung jawab dalam krisis politik yang terjadi. Abdurrahman bin Muljam dikirim ke Kufah untuk membunuh khalifah Ali bin Abi Thalib, ‘Amr bin bakr dikirim ke Mesir untuk menghabisi nyawa ‘Amr bin ‘Ash, dan Al-Hajjaj bin Abdillah Al-Tamimi untuk membunuh Muawiyah.
Dari ketiga orang yang ditugasi membunuh para pelaku tahkim, hanya Abdurrahman bin Muljam yang berhasil melakukan tugasnya, dengan membunuh khalifah Ali bin Abi Thalib ketika sedang melaksanakan shalat shubuh pada 24 januari 661 M/15 Ramadhan 40 H. Terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib menambah catatan hitam dalam sejarah Islam, sebab peristiwa pembunuhan itu dilakukan oleh mantan para pengikutnya yang tidak setuju atas hasil tahkim. Sehingga situasi politik umat Islam pasca kekhalifahan Ali bin Abi Thalib semakin tidak menentu.
SUMBER: http://story-of-muslim.blogspot.com/2013/07/latar-belakang-dan-sebab-terbentuknya.html
 Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1.1  Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[2] ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu  dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[3]. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam  agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan  tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra[4] dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman  bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.

1.2  Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun  40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij[5] yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur  dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk  itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
  1. Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
  2. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
  3. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
  4. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
  5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.

Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya  seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[6]
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.[7]
B.     Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).[8]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun  peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut[9]. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.[10]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik  intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
  1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
  2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
  3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
  4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
  5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
  6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
  7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
  8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
  9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
  10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
  11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
  12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
  13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
  14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[11]

C.    Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.[12] Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.[13]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.

D.    Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[14]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[15]. Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).

E.     Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
·         Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
·         Menertibkan angkatan bersenjata.
·         Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
·         Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri .
·         Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
·         Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
·         Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
·         Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
·         Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan Al-sunnah).
·         Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan Sirah/Tarikh.


Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah wa at-Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah kitab yang lain.
SUMBER: http://akbarbarka.blogspot.com/








Tidak ada komentar:

Posting Komentar